Jumat, 28 Desember 2012

Manajemen Perikanan



BAB I

PENDAHULUAN

Perikanan menyediakan sumber penting bagi pemenuhan sumber makanan, pendapatan, pekerjaan dan rekreasi.  Jutaan manusia bergantung kepada perikanan sebagai mata pencaharian, sehingga perlu keterlibatan semua stakeholder  untuk mengelola perikanan dunia guna menjamin kecukupan ikan untuk generasi mendatang

Seiring dengan meningkatnya jumlah populasi, konsumsi ikan pun dari tahun ke tahunpun semakin meningkat. Ditambah lagi tahun tahun terakhir ini, ekspor ikan Indonesia ke luar negeri juga berjalan lancar dengan grafik meningkat. Tak pelak lagi dunia usaha perikanan di negara kita menjanjikan masa depan yang cerah bagi para pengusaha.Beberapa jenis ikan seperti ikan mas, lele dumbo, jenis – jenis ikan hias, udang, dan tuna menjadi primadona perikanan. Untuk mendapatkannya, sebagian jenis ikan diperoleh dari hasil budidaya, baik secara intensif maupun non-intensif, sedangkan jenis yang lainnya diperoleh dari hasil tangkapan dari alam. Banyak orang mulai melirik dunia bisnis perikanan, akan tetapi tidak sedikit takut akan resiko kegagalan ditambah dengan minimnya pengetahuan bisnis tentang perikanan dan kemudian banyak yang ragu untuk terjun ke bisnis ini

Manajemen perikanan merupakan tantangan sekaligus kewajiban mengingat secara alamiah Indonesia sebagai negara kepulauan dikaruniai potensi sumber daya perikanan yang cukup. Manajemen dimaksud mencakup manajemen komponen biofisik ekosistem dan manajemen kegiatan perikanan. Manajemen dapat berupa jumlah  dan ukuran ikan yang ditangkap serta waktu melakukan penangkapan. Beberapa pendekatan yang dilaksanakan antara lain penutupan daerah atau musim penangkapan, pemberlakuan kuota penangkapan, pembatasan jumlah kapal dan alat perikanan tangkap.

Secara umum opsi tindakan manajemen merupakan aturan-aturan yang bersifat teknis, bersifat pengendalian upaya penangkapan, bersifat pengendalian hasil tangkapan, pengendalian ekosistem dan pendekatan manajemen basis hak. Opsi dan kombinasi opsi dari hal tersebut disesuaikan dengan kondisi perikanan dan kepentingan pemangku kepentingan.

Sejalan dengan semua ini lingkungan bisnis pun berubah begitu cepat, perkembangan teknologi informasi memungkinkan kita berkomunikasi yang cenderung berbeda dengan masa lampau. Adanya globalisasi memaksa kita mengubah bentuk pola pikir menjadi fleksibel, ramping dan tanggap terhadap perubahan lingkungan. Persaingan bisnis yang semakin tajam mengharuskan kita mempunyai konsep organisasi belajar. Menurut Ki Hajar Dewantoro, jika organisasi ingin berkembang maju maka semua anggota organisasi harus mempunyai 3 N, yaitu Niteni, Niroake dan Nambahi. Kemempuan niteni adalah kemampuan untuk menemukan hal-hal yang paling penting dan mengutamakan hal yang paling penting tersebut. Dalam manajemen modernhal tersebut dikenal sebagai Information scanning, termasuk technological information. Niroke adalah kemampuan untuk menemukan hal yang terbaik untuk ditiru, dalam manajemen modern dikenal sebagai benchmarking. Nambahi adalah kemampuan untuk selalu melakukan tambahan agar organisasi tidak berada dibelakang, tidak terjebak dalam flying geese formation tetapi menjadi organisasi yang unggul di depan. Untuk itu sangat dibutuhkan manajemen yang mempunyai filosofi Total Quality Management, yaitu filosofi bahwa seluruh anggota dalam suatu perusahaan ataupun organisasi berusaha menerapkan semua konsep manajemen yang mengarah pada perbaikan terus menerus.

BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1 Kajian teori

2.1.1Pengertian dan fungsi manajemen

Secara umum , manajemen adalah sebuah proses yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan melalui rangkaian kegiatan berupa perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian sumber daya manusia dan juga sumber daya alam. Dalam melakukan kehidupan sehari hari kita sebenarnya tidak akan pernah lepas dari suatu manajemen, baik itu dunia pekerjaan, pendidikan, kesehatan, penelitian dan lain lain. Sebaik apapun potensi yang kita miliki tetapi jika tidak di ikuti oleh manajemen yang baik maka hasilnya kurang baik, sebaliknya jika potensi kita biasa biasa saja tetapi jika di atur oleh manajemen yang baik maka hasilnya akan lebih baik.

Demikian pula dalam dunia tata kelola bisnis perikanan, manajemen diperlukan agar bisnis dapat berjalan lancar dan mendapatkan hasil yang diharapkan tentunya. Pada manajemen itu sendiri terdapat beberapa fungsi sebagai bagian dari proses manajemen. Fungsi fungsi itu antara lain sebagai berikut.

    Perencanaan (planning)

Perencanaan ini berfungsi sebagai tindakan untuk menentukan sasaran dan arah yang akan dituju. Di dalam perencanaan ini dituntut adanya kemampuan untuk meramalkan, mewujudkan, dan melihat ke depan dengan dilandasi dengan penuh perhitungan dan kecermatan yang akurat. Menurut stoner dibagi menjadi 4 tahap yaitu, menetapkan serangkaian tujuan, merumuskan keadaan sekarang, identifikasi segala kemudahan dan hambatan, mengembangkan serangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan

    Pengorganisasian (organization)

Pengorganisasian ini merupakan suatu tindakan membagi-bagi bidang pekerjaan antara kelompok yang ada serta menetapkan dan merinci hubungan hubungan yang diperlukan. Ernest Dalemenguraikan pengorganisasian sebagai suatu proses multi langkah, yaitu: pemerincian pekerjaan, pembagian pekerjaan, pemisahan pekerjaan (pendepartemenan), koordinasi pekerjaan, monitoring dan reorganisasi

    Pergerakan (actuating)

Pergerakan merupakan suatu tindakan untuk memotivasi anggota anggota kelompok agar melaksanakan tugas tugas yang telah dibebankan dengan baik dan penuh dengan tanggung jawab

    Pengawasan (controlling)

Fungsi ini merupakan tindakan untuk mengawasi atau mengontrol segala aktifitas agar dapat berjalan sesuai dengan rencana rencana yang telah ditetapkan

2.1.2Aspek-aspek yang perlu manajemen

Terdapat tiga aspek utama yang sangat penting diketahui dan dipahami dalam dunia bisnis apapun, termasuk juga bisnis perikanan yaitu :

    Aspek produksi

Manajemen produksi mencakup perencanaan produksi dan pengendalian proses produksi. Di dalamnya terdapat juga pengambilan keputusan dalam bidang persiapan dan proses produksi jangka pendek, menengah, atau jangka panjang. Dengan demikian diharapkan bahwa pengusaha dapat berproduksi secara lebih efektif dan efisien.

    Aspek pemasaran

Manajemen pemasaran mencakup kegiatan untuk mendistribusikan hasil produksi ke tangan konsumen. Kegiatan tersebut seperti menentukan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran pemasaran, melihat ada tidaknya persaingan, dan menentukan strategi pemasaran yang harus dijalankan.

    Aspek keuangan

Manajemen keuangan meliputi kegiatan mengelola keuangan dalam suatu usaha. Di dalamnya sudah termasuk pula cara mendapatkan dan mengalokasikan dana untuk suatu rangkaian usaha atau bisnis

2.2 Studi Empiris

Di banyak wilayah Asia Tenggara, keadaan sumber-sumber daya yang dapat diperbaharui, termasuk penangkapan ikan dan budidaya ikan, tetapi hal ini mengalami kemunduran karena kekurangan pengelolaan dan pengendalian dalam pemanfaatannya. Sebernarnya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ada krisis kebijaksanaan perikanan yang sangat memprihatinkan. Sifat bebas ikut serta dari kebanyakan perikanan, semuanya mengabadikan kemiskinan dalam masyarakat masyarakat nelayan. Karena persaingan, baik didalam sektor perikanan kecil maupun antara sektor kecil dengan sektor perikanan besar

Pemanfaatan berlebih pada sumber daya yang terbatas, pengoperasian alat tangkap yang merusak, konflik dan sistem regulasi yang tidak memadai merupakan kontributor dalam menunjang kerusakan sumber daya perikanan. Manajemen perikanan tangkap saat ini tidak cukup hanya dengan mempertimbangkan spesies target atau populasi yang berkelanjutan, namun pemanfaatan sumber daya hayati yang berkelanjutan dapat dicapai jika dampak ekosistem terhadap sumber daya hayati dan dampak perikanan terhadap ekosistem dapat diidentifikasi secara jelas. Dengan kata lain, hal ini disebut sebagai pendekatan ekosistem terhadap manajemen perikanan tangkap Ecosystem Approach to fisheries atau juga yang biasa disingkat dengan EAF.

Manajemen perikanan merupakan proses yang mempunyai cakupan kompleks yang bermuara pada pencapaian manfaat optimal sumber daya yang berkelanjutan, dan sangat beralasan jika manajemen perikanan juga berorientasi pada kosistem.Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam manajemen perikanan adalah efek ekosistem akibat kegiatan penangkapan maupun budidaya ikan.  Hal ini terkait aspek pengaturan dalam konteks manajemen perikanan, serta sebagai prinsip kehati-hatian dan  dampak sosial-ekonomi dalam perspektif prinsip manajemen perikanan.  Pengembangan alat tangkap tidak difokuskan hanya pada efisiensi penangkapan dan pembudidayaan, namun mempertimbangkan efek ekosistem dan   kriteria alat tangkap dan pembudidayaan yang selektif, efektif, dan orientasi kualitas.

Pengendalian perikanan tangkap dan pembudidayaan masih diabaikan sehingga pada daerah dengan tren hasil tangkapan rata atau menurun, dibarengi dengan hasil tangkapan per nelayan dan ukuran ikan yang menurun pula. Selain itu juga menurunnya quantitas tambak akibat kurangnya pengelolaan dan pengeahuan yang cukup sehingga menyebabkan lahan tambak untuk budidaya ikan tersebut menjadi tandus.

Manajemen menentukan keefektifan dan efisiensi kegiatan kegiatan organisasi. Menurut Peter Drucker, efisiensi ditekankan pada melakukan pekerjaan dengan benar (doing things right) sedangkan efektif adalah melakukan pekerjaan yang benar (doing the right things)

Efektif mengacu pada pencapaian tujuan sedangkan efisien mengacu pada sumber daya minimum untuk menghailkan keluaran (output) yang telah ditentukan. Bagi manajemen diutamakan efektif dahulu baru efisien. Jadi, organisasi termasuk juga dunia perikanan membutuhkan manajemen terutama untuk tiga hal yang terpenting, yaitu :

    Pencapaian tujuan secara efektif dan efisien

    Menyeimbangkan tujuan-tujuan yang saling bertentangan dan menentukan sekala prioritas

    Mempunyai keunggulan daya saing (competitive advantages) dalam menghadapi persaingan global

.

.

BAB III

PEMBAHASAN

Secara garis besar dunia perikanan dibagi menjadi dua kelompok yaitu perikanan budidaya dan perikanan tangkap, dan mempunyai keunikan tersendiri dalam manajemen perikanan itu sendiri. Di bawah ini ada sedikit pembahasan mengenai peran manajemen dalam pengembangan usaha perikanan.
3.1Manajemen Perikanan Budidaya

3.1.1Aspek Produksi Perikanan

Bisnis perikanan yang cukup kompleks sifatnya memerlukan pemikiran yang cermat agar terhindar dari resiko yang tidak diharapkan. Aspek produksi ini mencakup hal-hal mengenai persiapan dan proses produksi

    Persiapan Produksi

hal hal yang harus menjadi perhatian dalam persiapan produksi perikanan meliputi:

-Perencanaan produk, jenis ikan apa yang hendak diproduksi? Apakah mempunyai pasaran yang baik? Apakah sesuai dengan lahan yang tersedia? Pertanyaan pertanyaan seperti ini perlu dipikirkan dalam mengambil keputusan.

-Perencanaan lokasi usaha, lokasi yang tepat akan mempunyai pengaruh positif bagi kelangsungan usaha.oleh karena itu, dalam penentuan lokasi juga di pertimbangkan hal hal yang berdampak positif ataupun negatif dan faktor faktor yang berpengaruh (aspek teknis ekonomis, aspek iklim, aspek agronomis)

-Perencanaan standar produksi, pengusaha yang berpikir maju tidak hanya sekedar mementingkan jumlah produksi saja, tetapi juga mengutamakan kualitas produksinya, hal ini sangat berperan dalam menentukan segmen pasar

-Pengadaan tenaga kerja, bisnis perikanan mencakup beberapa bidang pekerjaan, secara mudahmya dibagi menjadi bidang budi daya dan manajemen (administrasi). Kedua bidang ini terdiri dari bermacam macam pekerjaann dari yang sederhana sampai yang rumit. Banyak sedikitnya jumlah pekerja dan tinggi rendahnya suatu upah harus disesuaikan dengan kemampuan dan tanggung jawab yang diemban.

    Budidaya perikanan

Tujuan budi daya perikanan yaitu untuk mendapatkan produksi perikanan yang lebih baik atau lebih banyak dibandingkan dengan hasil dari ikan yang hidup di alam secara liar. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam budidaya perikanan antara lain:

-Penyediaan benih, benih yang baik dan berkualitas unggul sangat penting untuk memperoleh produksi yang tinggi

-Pembuatan tempat pemeliharaan, luas tempat yang disediakanuntuk pembudidayaan harus sesuai dengan jumlah populasi yang ditebar, tidak kalah penting yang harus dilakukan adalah untuk memahami karakteristik dan tingkah laku ikan

-Pengairan, tanpa sistem pengairan yang baik tidak mungkin usaha perikanan bisa berhasil. Oleh karena itu kebersihan air dan debit yang cukup, penting demi kelancaran pemeliharaan. Pintu saluran air perlu selalu diperiksa untuk mengatur pengeluaran dan pemasukan air

-Pakan dan Pemupukan, peranan pakan sangat penting untuk meningkatkan produksi. Kandungan gizi pakan lebih berperan dibandingkan dengan jumlah yang deberikan. Usahakan memberi pakan sesuai dengan kebutuhan, jangan kebanyakan atau kekurangan. Baru baru ini banyak di galakkan menggunakan pakan alami, karena ramah lingkungan

-Pengendalian hama dan penyakit, untuk membasmi hama yang hidup di air, dapat digunakan bahan beracun organik, seperti tepung biji teh yang mengandung racun saponin, akar tuba yang mengandung racun rotenon, atau tembakau yang mengandung racun nikotin. Hal yang penting untuk pengendalian hama dan penyakit ini yaitu perawatan dan pemeliharaan kesehatan air serta kebersihan lingkungan disekitar kolam.

    Pascapanen

Produksi ikan bersifat musiman, terutama ikan laut. Terkadang sangat melimpah, sedangkan pada suatu saat sangat rendah. Oleh karena itu untuk menjaga keseimbangan dan mencegah proses pembusukan perlu dikembangkan dengan berbagai cara pengawetan. Dalam hal ini mencakup:

- Penanganan ikan hidup, dalam penanganan ikan hidup ini yang terpenting yaitu cara mengusahakan agar ikan ikan tersebut sampai ke tangan konsumen masih dalam keadaan hidup, segar dan sehat. Hal hal yang harus diperhatikan antara lain adalah: kebutuhan oksigen, alat dan transportasi untuk mengangkut ikan, waktu pengangkutan, jumlah ikan dalam alat pengangkutan jangan terlalu padat

- Penanganan ikan segar, atau istilah lainnya adalah handling, merupakan salah satu bagian penting dalam mata rantai industri perikanan. Baik buruknya ikan segar akan mempengaruhi mutu ikan sebagai bahan makanan atau sebagai bahan mentah untuk proses pengolahan lebih lanjut.

- Pengawetan, dasar pengawetan ikan adalah untuk mempertahankan ikan selama mungkin dengan menghambat atau menghentikan proses pembusukan, baik dengan cara tradisional (pengeringan, pengasapan, penggaraman, fermentasi), cara modern (pendinginan, pembekuan, pengalengan ikan, tepung ikan)

- Packing, dilakukan terutama untuk konsumsi ikan segar, cara packing harus disesuaikan dengan jarak lokasi usaha ke konsumen. Yang terpengting yaitu mempertahankan keawetan ikan segar sampai ke konsumen agar harganya tidak turun.

3.1.2 Aspek pemasaran

Pasar sangat penting untuk kelangsungan produksi. Bila kemampuan pasar untuk menyerap produksi sangat tinggi maka tidak menjadi masalah. Dengan harga jual yang pas telah dapat menghasilkan keuntungan. Sebaliknya, nbila pasar tidak menyediakan kemungkinan menyerap produk, mau tidak mau usaha yang dirintis mengalami kerugian. Apabila manajemen produksi telah berjalan maka keberhasilan pengusaha perikanan ditentukan oleh kemampuannya dalam menganalisis dan mengantisipasi pasar.

Ada beberapa hal yang harus diketahui oleh seorang manajer atau pengusaha perikanan sebelum melangkah ke aspek pemasaran ini. Hal tersebut yaitu:

    Sasaran pemasaran, berkaitan dengan pemilihan jenis ikan yang akan diproduksi. Siapa konsumen yang ingin dituju? Berapa besar kira kira permintaannya? Semua itu tergantung pada keadaan sosial konsumen dan daya belinya.

    Persaingan, merupakan suatu hal yang wajar dlama bidang usaha, apalagi dibidang usaha perikanan karena pada umumnya bidang ini tidak mengenal monopoli. Jadi, semua produksi perikanan bersaing bebas di pasaran. Oleh karena itu, usah untuk menghadapi dan mengatasi persaingan harus dilakukan dengan manajemen yang baik, agar produk laku di pasaran

    Strategi pemasaran, suatu tindakan penyesuaian sebagai reaksi terhadap situasi pasar dengan berdasarkan pertimbangan yang matang. Tindakan tindakan yang di ambil itu merupakan pendekatan terhada berbagai faktor.

3.1.3Aspek Permodalan

-Pentingnya manajemen permodalan, Setiap orang atau suatu perusahaan yang bergerak dalam suatu bisnis, tak terkecuali bisnis di bidang perikanan, tentu mengharapkan laba atau keuntungan yang sesuai, tak seorangpun berniat merugi. Kerugian berarti kehilangan sebagian modal atau tenaga dan pikiran yang telah dicurahkan untuk kelangsungan bisnis itu. Sedangkan keuntungan berarti memperoleh kelebihan hasil dari modal yang telah ditanamkan (investasi), maka dari itu sangat diperlukan manajemen yang baik agar investasi terus meningkat.Persoalan modal dan keuangan merupakan aspek penting dalam kegiatan suatu bisnis. Tanpa memiliki modal, suatu usaha tidak akan dapat berjalan, walaupun syarat syarat lain untuk mendirikan suatu bisnis sudah dimiliki.

-Cara mendapatkan modal, Hal yang lumrah dalam bidang usaha bila seseorang mencari bantuan permodalan untuk memulai usaha atau meiningkatkan usaha. Salah satu lembaga yang dapat memberikan bantuan keuangan adalah bank, bantuan tersebut dalam bentuk kredit. Kita harus cermat memilih dan menentukan besaran pinjaman yang dibutuhkan secara realistis, agar tidak menjadi boomerang bagi kita. Hal ini dikarenakan jika pendapatan kita tidak lebih kecil daripada kewajiban untuk melunasi ke pihak bank. Alternatif lain selain meminjam kredit ke bank adalah kerjasama dengan pihak lain yang berminat dalam bisnis perikanan dengan prjanjian yang telah disepakati bersama. Atau juga dengan kerjasama dengan pihak asing ( joint venture) biasanya dengan skala skala besar.
3.2 Manajemen Perikanan Tangkap

Tindakan manajemen perikanan tangkap adalah mekanisme untuk mengatur, mengendalikan dan mempertahankan kondisi sumber daya ikan pada tingkat tertentu yang diinginkan.  Pengendalian perikanan tangkap dilakukan dengan aturan yang bersifat teknis, bersifat manajemen upaya penangkapan dan manajemen hasil tangkapan dan pengendalian ekosistem.

Pengaturan bersifat teknis mencakup pengaturan alat tangkap dan pembatasan daerah maupun musim perikanan tangkap.  Pembatasan alat tangkap lebih pada spesifikasi untuk menangkap ikan spesies tertentu atau meloloskan ikan bukan tujuan tangkap serta efek terhadap ekosistem. Guna melindungi komponen stok ikan diberlakukan pembatasan daerah dan musim perikanan tangkap sekaligus dibentuk fisheries refugia maupun daerah perlindungan laut bagi jenis ikan yangkehidupannya relatif menetap.

Manajemen upaya penangkapan umumnya dilakukan dengan pembatasan   jumlah dan ukuran kapal, jumlah waktu penangkapan atau upaya penangkapan. Pengendalian ini lebih mudah dan lebih murah dari sisi pemantauan dan penegakan aturan dibandingkan pengendalian hasil tangkapan.  Namun penentuan jumlah upaya masing-masing unit penangkapan merupakan hambatan dalam memakai aturan pengendalian ini.

Manajemen hasil tangkapan untuk membatasi jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan bagi suatu area dalam waktu tertentu dan selanjutnya menjadi pembatasan jumlah hasil tangkapan setiap unit penangkapan.  Hasil tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan jenis spesies tertentu menjadi kendala dalam perikanan multispesies seperti di Indonesia.  Era baru sektor perikanan dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan adalah diadosinya Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF).  Perikanan yang berkelanjutan bukan ditujukan semata hanya pada kelestarian perikanan dan ekonomi namun pada keberlanjutan komunitas perikanan yang ditunjang oleh keberlanjutan institusi.  Disini diperlukan pendekatan manajemen yang inovatif dan alternatif untuk mencapai tujuan tersebut.
Dengan demikian, beberapa hal perlu ditingkatan sesuai dengan kaidah perikanan berkelanjutan sebagai berikut:

    Paradima limited access harus ditingkatkan;

    Implementasi log-book penangkapan harus dibarengi dengan peraturan yang berkaitan dengan kerahasiaan;

    Perbaikan sistem statistik perikanan;

    Meningkatkan kemampuan diplomasi internasional;

    Penyusunan rencana manajemen perikanan diterapkan di setiap upaya manajemen perikanan;

    Partisipasi pemangku kepentingan diperlukan dalam penyusunan rencana manajemen perikanan;

    Meningkatkan efektifitas peradilan perikanan; dan

    Meningkatkan peran sebagai negara pelabuhan (port state) dan negara bendera (flag state).

Manajemen perikanan menjamin kegiatan penangkapan ikan dan pengolahan dilaksanakan sesuai dengan kaidah untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan, mengurangi limbah, dan menjaga mutu ikan hasil tangkap.  Nelayan wajib mencatat kegiatan operasi penangkapan mereka dan  pemerintah juga perlu menetapkan prosedur penegakan hukum. Negara perlu menggunakan informasi sains terbaik yang tersedia dalam menyiapkan kebijakan serta mempertimbangkan kegiatan penangkapan ikan tradisional.  Jika informasi yang tersedia terbatas, negara perlu bertindak sangat hati-hati dalam menetapkan batasan perikanan tangkap.

BAB IV

Kesimpulan

Dalam melakukan suatu uasaha apapun dibutuhkan manajemen termasuk juga dalam menggeluti dunia bisnis perikanan ini. Ilmu manajemen sangatlah vital dibutuhkan untuk mengatur segala sesuatu dari awal hingga akhir. Jika tanpa adanya manajemen yang baik sangatlah mustahil dapat memperoleh hasil yang maksimal dalam usaha tersebut

Dengan manajemen yang baik dapat mengubah suatu yang buruk menjadi lebih baik, sedangkan suatu yang baik tetapi tidak menerapkan manajemen yang baik maka akan memperoleh hasil yang buruk. Bagaimana jika sesuatu yang baik dikelola dengan baik pula pasti hasilnya akan luar biasa.

Implementasi manajemen perikanan budidaya maupun tangkap harus dibarengi dengan dukungan regulasi, sosialisasi aturan dan aksi.. Tentu saja semua ini perlu kontribusi semua pihak dalam suatu kerangka yang jelas. Berbagai pendekatan direncanakan dan diimplementasikan terhadap manajemen perikanan berkaitan dengan prioritas dan kondisi lokal maupun regional.  Hal yang tidak boleh dilupakan adalah manajemen kegiatan manusia sebagai kunci sukses manajemen perikanan. Di sisi lain, terdapat beberapa hal berperan sebagai faktor ketidakpastian seperti ketidakpastian aspek biologi, kelestarian dan sosial-ekonomi, dan keterlibatan pelaku kepentingan dalam manajemen.  Kendala ini sebagaimana umumnya dalam manajemen, mendorong untuk dilakukannya risk assessment  terhadap kondisi ketidakpastian tersebut sebagai bagian operasional manajemen perikanan.

BAB V

Daftar Pustaka

Rahardi,F dkk,Agribisnis perikanan, Jakarta: Penebar Swadaya,1993.

Sabardi,Agus, Pengantar Manajemen, Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Akademi Manajemen Perusahaan YKPN,1997.

Hannesson,Rognvaldur, Ekonomi Perikanan, Bergen: Universitas Indonesia Press, 1988.

FAO (Food and Agriculture Organization), Fisheries Management, Rome: United Nations, 2003.

Marahudin,Firial dan Smith, Ekonomi Perikanan ( Dari Teori Ekonomi ke Pengelolaan Perikanan), Jakarta: Gramedia,1986.

Sarjana Perikanan Didorong Untuk Kembangkan Potensi Perikanan Indonesia


Sebagai negara maritim, potensi perikanan di Indonesia sangat besar. Namun, potensi tersebut masih banyak yang belum tergarap. Di Jawa Barat misalnya, masih banyak perairan dan lahan-lahan yang bisa dijadikan budidaya perikanan. Perlu ada upaya untuk memaksimalkan potensi tersebut, salah satunya ialah dengan melakukan industrialisasi budidaya perikanan.
Ir. Alfida Ahda, MM., saat menjadi pembicara pada Seminar Nasional “Be the Engineering of Aquaculture”, Selasa (18/08) di FPIK Unpad.* (Foto: Tedi Yusup)
Menurut Ir. Alfida Ahda, MM., dari Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan, potensi lahan perairan di Indonesia yang bisa dimanfaatkan untuk sektor perikanan ialah sebesar 8,36 juta hektar. Sementara untuk potensi budidaya ikan air tawar dan payau sendiri mencapai 1,3 juta hektar, yang terdiri dari 775 ribu hektar potensial. Budidaya di laut sendiri baru dimanfaatkan sedikit, yakni baru 1,1 % berdasarkan data tahun 2007.
“Padahal, budidaya di laut pun bisa dikembangkan apa saja, seperti rumput laut, kerang ataupun mutiara,” jelas Alfida saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional “Be the Engineering of Aquaculture”, Selasa (18/08) di Aula Dekanat Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Unpad.
Menilik pada potensi keanekaragaman hayati, sekitar 45% spesies ikan di dunia ada di Indonesia. Dari jumlah tersebut, masih banyak ikan spesies kultivar yang belum banyak dibudidayakan. Apalagi ditunjang dengan iklim tropis yang dapat menunjang pertumbuhan ikan lebih cepat sehingga bagus untuk menjadi lahan budidaya.
“Dari segi Sumber Daya Manusianya pun sebenarnya cukup menunjang,” tambah Alfida.
Meskipun begitu, kendala yang harus dihadapi untuk menggalakkan program tersebut ialah kurang tersedianya sarana dan prasarana penunjang. Sektor upah bagi buruh budidaya pun masih relatif rendah. Alfida berharap hal tersebut bisa diantisipasi dengan baik, termasuk menaikkan upah buruh.
Senada dengan Alfida, Soni Husni Faried, petani ikan yang juga menjadi pembicara dalam seminar ini mengemukakan gagasannya. Alumnus FPIK Unpad ini juga mengimbau kepada mahasiswa FPIK agar mampu mengamalkan ilmunya dengan terjun langsung ke dunia usaha perikanan. Mengingat, usaha perikanan merupakan usaha yang butuh penanganan yang serius.
“Selama ini, pelaku usaha perikanan dimotori oleh kelompok menengah kebawah. Jumlah sarjana perikanan yang terjun ke dunia usaha perikanan pun sangat sedikit,” ungkap Soni.
Seminar Nasional ini digelar oleh Kelompok Kegiatan Mahasiswa (KKM) Komunitas Mahasiswa Budidaya (Karamba) FPIK Unpad. Diharapkan melalui seminar ini, mahasiswa FPIK dapat didorong untuk mengembangkan dan memajukan sektor perikanan di Indonesia.
“Semoga mahasiswa FPIK dapat ilmu tambahan agar bisa diterapkan di dunia usaha perikanan nantinya,” harap Reva Anjar, Ketua Pelaksana Seminar Nasional ini.*
Laporan oleh: Arief Maulana/mar*

Kamis, 27 Desember 2012

Beasiswa Yayasan Goodwill International – Institut Pertanian Bogor


Pembukaan Beasiswa Yayasan Goodwill International Tahun 2013-2014
Kepada seluruh Mahasiswa IPB formulir permohonan beasiswa Yayasan Goodwill International Tahun 2013-2014 sudah bisa di ambil di Loket Beasiswa IPB atau anda bisa langsung download disini
Mengisi Kuesioner, bisa di download disini
Daftar Online di: bit.ly/daftarbeasiswa
Berkas Persyaratan Bisa dilihat di formulirnya dan paling lambat berkas di berikan ke Direktorat Kemahasiswaan IPB tanggal 31 Desember 2012
Terima Kasih
Direktorat Kemahasiswaan
Institut Pertanian Bogor


Sejarah Budidaya Udang di Indonesia

 
Budidaya udang adalah kegiatan pemeliharaan/pembesaran udang secara khusus dengan penebaran benur ditambak air payau yang terdapat di hamparan pesisir. Sampai dengan tahun 60-an hanya ada 4 negara di dunia yang memiliki areal tambak cukup luaas, yaitu Filipina, Indonesia, Taiwan dan Thailand. Masing-masing dengan luas 166.000, 165.000, 27.600 dan 20.000 Ha (Ling, 1970). Di Indonesia sendiri sampai dengan tahun 60-an masih terpusat di Jawa, Sulawesi Selatan dan Aceh.
            Tambak tersebut dibangun di wilayah lahan pasang surut (Zona Internidal) karena untuk pengairannya tergantung penuh pada pergerakan air pasang surut. Komoditi budidaya hanyalah ikan banding (ditambah ikan belanak di Taiwan dan Ikan Kakap di Thailand). Adapun udang yang terdapat didalam tambak hanya berasal dari alam yang masuk sendiri kedalam tambak bersama arus air pasang tinggi.
            Hasil udang yang diperoleh pemilik tambak dianggap hanya sebagai hasil sampingan (hasil panen utama adalah bandengnya) dan menjadi hak pendega, yaitu karyawan yang mengurus tambak.
            Penebaran benur (benih udang) secara khusus kedalam tambak untuk dipelihara secara terkendali baru dimulai setelah petambak Sulawesi Selatan diajari untuk mengenal benur udang dan membudidayakannya didalam tambak.
            Guna menyimak perkembangna budidaya udang di Indonesia secara utuh, Bapak Alie Pornomo (Alm) telah memberikan catatan secara kronologis yang pernah disampaikan saat Simposium Akuakultur Tahun 2001 di Semarang. Berikut uraiannya:

Sejarah Budidaya Tambak Udang di Indonesia

s/d 1964       : Era Pra budidaya Udang di Tambak
                             Sampai dengan awal Tahun 1964 tambak di Indonesia hanya digunakan untuk budidaya ikan banding.
1964-1970           : Pengenalan Benur dan Budidaya Udang Teknologi Tradisional/Ekstensif
Pengenalan morofologi benur alam (terutama udang windu P. monodon dan udang putih P. marguiensis), teknik merawat dan pengangkutan serta pembesarannya didalam tambak (teknologi ekstensif secara mono atau polikultur dengan bandeng) di Sulawesi Selatan (Bulukumba, Jeneponto, pangkep dan Pinrang) (Poernomo, 1968).
Pendederan dan aklimatisasi benur didalam keramba jarring apung didalam tambak atau didalam bak-bak semen didarat berkembang pesat di daerah pertambakan di Sulawesi Selatan yang jauh dari sumber benur (Pangkep, Maros, Barru). Setelah tahun 70-an pembudidayaan udang windu teknologi ekstensif berkembang ke Jawa, Kalimantan (Balikpapan) dan Sumatera (Aceh). Khususnya di Banda Aceh, disamping budidaya udang windu juga dibudidayakan udang putih (P. indicus) karena kelimpahan benur alam jenis udang ini diperairan pantai aceh (Poernomo, 1979).
Budidaya udang windu teknologi ekstensif dengan kepdatan tebar 20.000-30.000 ekor benur/Ha (monokultur) tanpa pakan dapat menghasilkan 3-4 kwintal/Ha/siklus size 30 (hanya mengandalkan pakan alami dengan pemupukan. Disini masih banyak petani menerapkan polikultur dengan banding.
1970                             : Dibangun hatchery udang pertama dan RCU Jepara
Setelah penelitian berhasil memijahkan induk udang matang telur dari laut, dibangun hatchery pertama di Makassar (Berita Buana, 1970 Harian Kami, 1970) dan menyusul dibangunnya hatchery ke-2 di Jepara, Jawa Tengah akhir tahun 1970. Mengingat besarnya potensi budidaya udang di Indonesia pada masa mendatang maka penulis waktu itu menyarankan kepada Pemerintah untuk dibangun RCU (Reseacrh Center Udang) di lokasi yang sama di Jepara yang kemudian disebut BPAP (Balai Pengembangan Budidaya Air Payau) dan pada tahun 2003 berubah menjadi BBPBAP (Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau) untuk mendukung percepatan pembangunan budidaya udang di Indonesia.
1974                             : Perintisan Budidaya Udang Teknologi Intensif
Pengembangan budidaya udang teknologi intensif dan semi intensif dengan menggunakan kincir dan pakan pellet dimulai di RCU Jepara.
1974                             : Proyek Pengembangan Tambak USAID di Aceh
Terjadi malapetaka pertambakan di Aceh sebagai akibat dari gerakan pembatan jalur mangrove didalam areal pertambakan yang diinstruksikan oleh ahli-ahli (staf pengajar  Auburn University) dalam proyek bantuan USAID tersebut. Alasan utama para ahli tersebut adalah produktivitas tambak Aceh rendah disebabkan karena pohon bakau yang ditanam di sepanjang tanggul dan saluran menghabiskan unsur hara dari pupuk yang diaplikasikan untuk menumbuhkan makanan alami didalam tambak.
Rupanya staf ahli tersebut khilaf karena tidak menyimak 3 hal yang lebih penting yaitu:
·    Jalur mangrove tersebut sangat vital fungsinya sebagai wind breaker bagi wilayah pertambakan di Aceh karena anginnya sangat luar biasa besarnya.
·    Tidak menyadari bahwa mangrove bakau sebenarnya diperlukan untuk memperbaiki lingkungan wilayah tambak karena fungsinya antara lain menyerap zat-zat polutan dan mengandung bakteri yang bermanfaat bagi keseimbangan lingkungan.
·    Sebegitu jauh belum ada penelitian khusus tentang seberapa hebat akar bakau menyerap unsure hara dari pupuk yang diaplikasikan dibagian tengah atau pelataran tambak waktu air dangkal.
1975                                  : Teknologi Ablasi Mata untuk Pematangan Telur Induk Udang Diketemukan
Penelitian di RCU Jepara berhasil mematangkan telur induk udang dengan teknik ablasi mata (alikunki dkk, 2975 dan Poernomo, Hamami, 1983). Taiwan dan Filipina setalah membaca bulletin RCU, 1975 atau mengetahui keberhasilan Jepara tersebut langsung menanganinya dengan sangat intensif (di Tungkang Marine Laboratory (TML), Taiwan dan Seafdec, Filipina), sehingga mereka berhasil mengkomersilkan lebih dahulu teknologi tersebut. Dari perjalanan tersebut Alie Pornomo dimintai oleh Dr. Liao, Dir TML penulis yang pada waktu (1983) kebetulan berada di Taiwan, diminta untuk mengajarkan teknik ablasi pada staf peneliti Tungkang Marine Laboratory, Tungkang Taiwan.
1979-1980    : Dibangun Hatchery Swasta Pertama
Hathery udang swasta petama (PT Benur Unggul) dibangun di Desa Temporah/Banyuglugur Besuki, Jawa Timur disusul oleh hatchery swasta di Sinjai Sulawesi Selatan dan Kepulauan Seribu, Jakarta.
 1980          : Perbaikan Teknologi Ablasi Mata
Perbaikan teknologi ablasi mata induk dari laut untuk produksi benur udang windu dengan perbaikan mutu pakan, lingkungan di Suba Balai Penelitian Perikanan Laut Ancol (Poernomo, Hamami, 1983) dan BBAP Jepara.
1982-1983    : Teknologi Reklamasi Tanah Sulfat Masam
Teknologi perbaikan atau reklamasi tanah sulfat masam (pyrite) yang menjadi kendala tambak udang ditemukan dam dimasyarakatkan (Poernomo dan Singh, 1982; Singh dan Poernomo, 1983; Poernomo, 1983; Kompas, 1982; dan Suara Merdeka, 1982).
Tambak yang dibangun di lahan zona intertidal umumnya mengandungi senyawa pyrit antara 0,5-2% dan pada daerah tertentu dapat mencapai >5%. Lahan tambak dengan kandungan pyrit tinggi seperti di daerah Bone Palopo, Malili, Mamuju (Sulawesi Selatan) dan Kalimantan Timur yang belum direklamasi produktivitasnya sangat rendah.
1984-1985    : Komersialisasi Budidaya Udang Intensif
Pengembangan budidaya udang teknologi intensif dimulai di Jawa Timur yang terpusat di Banyuwangi dan Situbondo (Jawa Timur) di Tangerang dan Serang (Jawa Barat) serta Denpasar (Bali) yang mencapai puncaknya pada tahun 1987-1990. Diluar Jawa, kecuali Bali dan Lampung (DCD, 1989) pada waktu itu belum ada tambak udang intensif. 
1985           : Tambak TIR dibangun
Oleh pemerintah dibangun Tambak Pandu Inti Rakyat (TIR) krawang seluas 250 Ha di desa Cipucuk, Kab. Krawang, lengkap dengan cold storage, pabrik pakan dan pelatihan teknisi. Tambak pola TIR yang lain juga dibangun oleh swasta di Desa Jawai, Kab. Sambas (Kal Bar), di Teluk Waworada, Kab. Bima (NTB), Desa Pejarakan Buleleng (Bali), di Muara Sungai Bodri Kendal (Jateng), Takesung (Kal Sel), di Seram (Maluku), Tanjung Arus, Bulongan (Kal Tim). Tambak-tambak tersebut yang dibangun oleh pemerintah maupun swasta umumnya kurang berhasil karena masalah manajemen usaha dan manajemen budidaya.
Tambak TIR Raksasa (PT Dipasena Citra Darmaja/PT DCD) seluas >5.000 Ha mulai dibangun Th 1989 di Desa Mesuji/Rawa Jitu, Kab. Lampung Utara, kemudian menyusul tambak TIR.
PT Bratasena seluas 10.000 Ha dibangun di Muara Way Seputih, Kec. Seputih Surabaya Kab. Lampung Tengah.
Unit ke-3 tambak raksasa non TIR (PT Wahyuni Mandira) seluas >10.000 Ha mulai dibangun pada tahun 1999 disebelah utara sungai Mesuji, Propinsi Sumatera Selatan.
Ketiga unit tambak raksasa tersebut terletak dalam satu hamparan pantai yang bertetangga dalam lingkup garis pantai sekitar 100 km. Namun karena desain tata letak ruang dan konstruksinya sudah mengikuti prasyarat kaidah budidaya, maka secara teknis, produktivitas tambak-tambak tersebut cukup stabil.
Kasus yang menimpa PT Dipasena yang berakhir dengan penyerahan penuh tambak-tambak tersebut kepada plasma terletak pada masalah manajemen social. Tetapi dampak negative dari kuasainya penuh tambak-tambak tersebut oleh petambak mantan plasma, produktivitasnya menurun sangat drastis, penyebabnya antara lain karena tidak ada yang bertanggung jawab merawat saluran primer dan sekunder, kemampuan  permodalan, dan koordinasi antar petambak. Seharusnya paling tidak saluran primer harus bias di urus oleh pemerintah, karena petambak jelas tidak akan mampu merawatnya apalagi dalam kondisi hamparan tambak raksasa.
1986              : Diketemukan Virus MBV
Pada tahun 1986 pertama kali ditemukan virus MBV di tambak Desa Kedungpeluk, Sidoarjo Jawa Timur (Nash dkk, 1987). Penyakit virus menyebar dan mencapai puncaknya tahun 1990-1992 ditambak-tambak udanng intensif yang berakibat pada kegagalan masal tambak udang.
Puncak terjangkitnya MBV dan kegagaln panen terutama karena pengelolaan budidaya yang jauh menyimpang dari kaidah budidaya udang (obral penggunaan obat-obatan dari Taiwan yang merusak lingkungan), pembuangan limbah tambak tanpa aturan, dan kontruksi/tata letak tambak yang tumpang tindih, ditambah lagi oleh meningkatnya polusi eksternal (Poernomo, 1989). Setelah agak mereda beberapa waktu penyakit virus merambak/mencuat lagi pada tahun 1999.
1986              : Pakan Udang
Mulai diproduksi padakan udang (pellet) oleh PT. Comfeed Indonesia 1986-1987 untuk mendukung budidaya udang teknologi intensif di tambak. Setelah itu menyusul Charoen Pokphand (1989) dan beberapa perusahaan pakan udang yang lain seperti Bama, Karka, MAS, Bukaka, Mabar dll. Namun untuk memenuhi kebutuhan budidaya udang teknologi intensif yang berkembang begitu cepat waktu itu masih mengimpor pakan terutama dari Taiwan.
1986              : Pembenihan Bandeng di Hatchery
Penelitian berhasil mengembangkan teknologi pembenihan bandeng di Hatchery (Poernomo dkk, 1986). Keberhasilan pembenihan banding di hatchery di Indonesia patut dihargai karena Philipina yang jauh lebih dahulu merintis penelitian dibidang ini sampai sekarang belum berhasil. Pemijahan pertama induk banding yang dilakukan di Balai Penelitian Perikanan Pantai Gondol (Bali) berasal dari pembesaran nener alam yang dikerjakan di RCU Jepara. Induk-induk tersebut berumur ssekitar 6 Tahun. Teknologi ini berkembang sangat pesat dan mantap sehingga mendorong timbulnya di ratusan (500 pemilik/96 unit) backyard hatchery bandeng terutama  di Desa Gondol, Kec. Gerogak, Buleleng Bali, yang dimulai tahun 1994 dan mencapai puncaknya pada tahun 1999. Kecukupan suplly nener bandeng berperan sangat penting untuk mendukung usaha produksi banding umpan di tambak. Produsen banding umpan yang terpusat di daerah pertambakan Cemara dan Sungai Buntu, Kab. Kerawang (Jawa Barat) Desa Betoyo Guci, Manyar Kab. Gresik, Kec. Duduk, Deket Glagah di Kab. Lamongan Jawa Timur. Produksi bandeng umpan ini merupakan usaha yang sangat penting untuk mendukung usaha penangkapan tuna. Dari Gresik, Lamongan saja yang dipasarkan ke Benoa mencapai 12-15 truk per hari umpan hidup dan 3-4 kontainer 40 ft perbulan umpan beku.
1989-1995       : Backyard Hatchery Udang
Puncak perkembangan backyard hatchery yang dimulai di sekitar Jepara pada taun 1989 dan mencapai puncaknya tahun 1995 terus berkembang ke daerah-daerah lain seperti Pangandaran, Desa Batu Hiu (Jabar), Galesong (Kab Takalar), desa Kupa (Kab. Barru, Sulsel), Kuala Raja dan Ketapang Maneh (Aceh), Pantai Cermin (Sumatera Utara), Kalianda (Lampung Selatan) dan terakhir sekitar tahun 2000a di Tarakan.
1990              : Tambak Plastik Biocreet
Dibangun tambak plastik Biocreet di lahan pasir di Desa Citarate, Jampang Kulon, Kab Sukabumi (Widigdo, 1993). Dioperasikan secara bertahap yang mencapai 14 petak @2400 m2 pada tahun 1994 (PT Citarate).
Menyusul unit kedua tambak biocreet di lahan pasir Pantai Pandan Simo, Yogya Selatan yang pada tahun 2000 telah tersedia 40 petak @3600 m2 (PT Indokor). Remcana unit ketiga tambak biocreet dengan desain yang telah disempurnakan (tambak ramah lingkungan) seluas 40 Ha akan dibangun di Pantai Glagah, Desa Karang Wuni, Kec. Temon Kab. Kulon Progo. Namun tidak dteruskan karena Bupati mendadak akan membangun Pelabuhan umum ditempat yang sama (Poernomo, 2001).
Sebenarnya pembangunan tambak plastik biocreet ini sangat cocok dalam rangka pendayagunaan lahan kritis berpasir di hamparan pasir. Jadi tambak di lahan kritis ini untuk kedepan harus tetap dikembangkan mengingat makin terbatasnya lahan-lahan produktif.
1993-1994       : Cold Storage Udang Berguguran
Cold Storage udang berguguran (sisa 30%) yang masih bertahan, karena kekurangan bahan baku yang berbarengan dengan turunnya harga udang.
1993-1995       : Teknologi Resirkulasi dan Tandon Diperkenalkan
Teknologi ini berkembang sangat lambat karena banyak petani belum terlalu yakin, akan kegunaan teknologi ini. Disamping itu, pertimbangan yang lain adalah petani tidak mau mengorbankan lahan untuk kepentingan  pembuatan tandon, serta modal yang harus mulai dikeluarkan. Tetapi setelah mengalami kegagalan panen yang beruntun, barulah teknologi ini mulai diserap oleh petambak dan ternyata hasilnya meyakinkan kalau dilaksanakan secara benar.
1993-2004       : Teknologi Probiotik
Dengan banyaknya kegagalan budidaya udang yang bertubi-tubi sejak tahun 1990-an (Taiwan sudah collapsed sejak tahun 1986/87), penelitian dan percobaan lapang tentang penggunaan probiotik mulai ditangani secara intensif sejak tahun 1992. Sebenarnya penggunaan probiotik secara sporadis ditambak udang intensif di Indonesia sudah mulai sejak tahun 1988 (contoh ARGON), namun sejauh itu tidak ada kejelasan baik mengenai isi yang terkandung didalamnya maupun cara aplikasi yang benar, sehingga dampaknyapun tidak menentu dan hasil yang diharapkan masih belum meyakinkan dikalangan petambak.
Percobaan secara konsisten terhadap satu jenis produk yang mengandung mikroba Bacillus spp dan bakteri belerang fotosintetic ditambak udang intensif dengan memperhatikan serta menjaga habitat mikroba tersebut secara baik selama siklus pembesaran udang terbukti dapat memberikan hasil yang mantap dan menguntungkan.
Dengan hasil-hasil yang stabil mantap, teknologi probiotik ini meningkat terus aplikasinya di daerah Lampung dan bahkan mulai meluas ke Sumatera Utara sejak tahun 2001. Pada akhir tahun 2003 mulai diaplikasikan di Jawa Timur dan Bali kemudian ke Sulawesi Selatan dan bahkan Bengkulu.
Teknologi ini sangat baik untuk merevitalisasi budidaya udang intensif di tambak-tambak udang yang telah terbengkalai dengan keberhasilan >75%.
Dengan kepadatan tebar (udang windu) 40-50 PL/m2, dicapai hasil 3,5-4 ton/0,5 Ha/siklus dan untuk udang vanname dengan kepadatan tebar 170 PL/m2 menghasilkan 12 ton/0,5 Ha/siklus, size 65-70. Kasus percobaan size 50 dengan padat penebaran
Diberdayakan oleh Blogger.