Senin, 15 Juli 2013

Aquabisnis Ikan Hias

Ikan Hias / Ornamental Fish

Banyak harapan dan peluang yang dapat ditumbuh kembangkan di bidang aquabisnis salah satunya adalah pengembangan aquabisnis Ikan Hias. Kegiatan penanaman wawasan aquabisnis ikan hias ini dilakukan oleh Siswa Sekolah Usaha Perikanan Negeri Tegal jurusan Budidaya Perikanan dengan menggunakan pola Swakarya dan wirausaha.

 Pola ini bertujuan mengembangkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan dibidang usaha khususnya pembudidayaan ikan hias di kolam skala rumah tangga. Dalam kegiatan ini akan dilakukan secara kelompok, dimana setiap kelompok akan mempunyai tugas membudidayakan jenis ikan yang berbeda. Kegiatan dilakukan diluar jam pelajaran sekolah dan tidak menggunakan batasan waktu yang mengikat, mengingat dalam proses budidaya ikan hias ini kegiatannya dapat dilakukan pada pagi, siang, sore atau malam hari di bawah bimbingan guru kelompok Budidaya Perikanan.

Tujuan pelaksanaan Swakarya wirausaha ini adalah terbinanya dan berkembangnya pengetahuan di bidang usaha perikanan secara disiplin dan tanggung jawab, percaya diri, ulet serta disesuaikan oleh situasi dan kondisi iklim setempat. Pada hakekatnya tujuan pelaksanaan Swakarya dan Wira Usaha ini adalah :

1.Terbinanya dan berkembangnya pengetahuan, sikap dan ketrampilan siswa dalam berusaha khususnya Usaha aquabisnis ikan hias.
2.Siswa dapat mengembangkan disiplin, tanggung jawab, percaya diri dan ulet.
3.Terbinannya dan berkembangnya kemampuan siswa dalam menentukan pilihan usaha yang paling menguntungkan.
4.Terbinanya kemampuan siswa untuk mendapatkan dan memanfaatkan metode dalam pengembangan wira usaha.
5.Meningkatkan kegiatan belajar mengajar dan menyesesuaikan kegiatan pendidikan atas kebutuhan minat dan kemampuan siswa dan Mempererat hubungan antara siswa dan guru sesuai dengan bidang studi.

 Pengembangan wawasan aquabisnis ikan hias selalu memperhatikan beberapa aspek, antara lain meliputi (a) lingkungan strategis; (b) permintaan; (c) Sumberdaya dan (d) Teknologi.

Aspek Lingkungan Strategis

Banyak pengamat merasa yakin bahwa saat ini sedang terjadi perubahan di lingkungan bisnis global. Kawasan Asia Pasifik pada masa kini dan masa akan datang merupakan kawasan yang menjanjikan menggantikan kawasan Eropa. Dilihat dari pertumbuhan Real-GDP-nya, negara-negara kawasan Asia Timur menunjukan angka yang meyakinkan yaitu rata-rata sebesar 7,5% per tahun dan diproyeksikan akan mengalami pertumbuhan sebesar 7,6% sampai tahun 2005 nanti. Angka ini jauh melebihi angka pertumbuhan GDP negara-negara industri kaya sebesar 2,7%. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini diharapkan pula akan menambah peluang pasar bagi produk Ikan Hias. Dengan membaiknya perekonomian dan meningkatnya pendapatan suatu masyarakat disuatu sisi, diharapkan akan meningkatkan permintaan akan barang atau produk estetika sebagai upaya untuk rekreasi dan hubungan dari tekanan kehidupan sehari-hari. Hobby memelihara ikan hias disinyalir oleh beberapa pakar dapat menimbulkan efek relaksasi sehingga dengan semakin kompleksnya tingkat kehidupan akan dapat meningkatkan permintaan ikan hias baik di dalam maupun luar negeri.

Aspek Permintaan

Dari segi pemasaran, ikan hias mempunyai prospek yang sangat baik. Ekspor ikan hias Indonesia telah mencapai 37 negara sebanyak 3.323.307 Kg senilai US $9.139.531. Ekspor ikan hias ini meliputi ikan hias air tawar, air laut dan dalam bentuk benih. Adapun impornya seberat 13.863 Kg senilai US $ 131.023. Permintaan ikan hias cenderung naik, sejalan dengan membaiknya perekonomian dan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan terutama kesadaran tentang pentingnya relaksasi sebagai akibat meningkatnya tekanan hidup masa kini. Hal ini juga berlaku pada tanaman-tanaman hias sebagai pelengkap asesoris akuarium atau kolam. Peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan pangsa pasarnya masih cukup besar. Perminataan akan Exotic Ornamental Fish di pasar Internasional cukup tinggi. Pangsa pasar yang masih terbuka cukup lebar yaitu meliputi negara Jepang, Korea, Taiwan, Hongkong dan Singapura. Disamping itu pasar yang tidak kalah besarnya yaitu pasar dalam negeri sendiri (pasar domestik).

Aspek Sumberdaya

Secara potensial Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan sumberdaya terutama potensi kekayaan sumberdaya yang terkandung pada perairan yang sangat luas. Masalah yang dihadapi adalah bagaimana mengelola sumberdaya alam tersebut termasuk didalamnya memperluas “resource base” dan memanfaatkannya secara optimal. Namun demikian, menyadari besarnya potensi sumberdaya alam saja tidak cukup tanpa memahami potensi uasahanya, terlebih lagi dalam pengembangan aquabisnis ikan hias yang mempunyai kekhasan tersendiri sehingga perlu adanya penanaman wawasan dan pengembangan yang benar terutama dikalangan calon-calon usahawan ikan hias (siswa-siswa) SUPM Negeri Tegal.

Potensi yang tidak kalah besar dan pentingnya adalah sektor manusianya (si pelaku usaha). Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) khususnya jurusan Budidaya Perikanan yang merupakan penyedia sumberdaya manusia sudah saatnya mulai diberdayakan dalam rangka mencetak pelaku-pelaku usaha perikanan yang tengguh dan ulet terutama di bidang perikanan ikan hias. Di sisi lain pengembangan wawasan kewirausahaan dapat menimbulkan ketertarikan siswa/masyarakat terhadap usaha sendiri (swa karya) sehingga dapat mengurangi tingkat pengangguran, tanpa harus mengharapkan untuk bekerja di suatu perusahaan atau instansi pemerintah.

Aspek Teknologi

Pengembangan teknologi merupakan salah satu syarat keharusan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi dan diversifikasi produk dalam menumbuh kembangkan aquabisnis ikan hias di kalangan calon peternak/usahawan ikan hias (siswa SUPM). Pengembangan teknologi ini juga harus mempertimbangkan beberapa faktor yang penting terutama lahan, agroklimat, wilayah dan tingkat pendidikan pelaku usaha ikan hias itu sendiri.

Akhirnya dengan mengembangkan aquabisnis dikalangan siswa diharapkan para lulusan akan siap menghadapi tantangan yang berat di masa yang akan datang. Pada masa datang, dukungan sumberdaya manusia (lulusan SUPM) khususnya insan pembudidaya ikan yang mampu mengaktualisasikan dan mengadaptasi peranannya dalam setiap perubahan perkembangan akan menjadi tulang punggung pembangunan sektor perikanan budidaya. Semakin kuat dan tangguh kemampuan pembudidaya ikan dalam mengelola sumberdaya alam secara rasional dan efisien, menjadikan pembudidaya ikan dapat berperan sebagai Manager Aquabisnis yang berjiwa mandiri, berpengetahuan luas, trampil, cakap menilai peluang usaha dan dapat mengambil keputusan sendiri terhadap perubahan teknologi.

Guru saya: Khaerudin HS, SPi

Aplikasi Frekuensi Pemberian Pakan Buatan Secara Optimal Pada Budidaya Udang Windu Intensif Berkelanjutan

Abstrak Perkembangan teknologi dan usaha budidaya udang di tambak sejak beberapa tahun yang lalu membuat kebutuhan akan pakan buatan menjadi sangat esensial bagi kelangsungan dan peningkatan produksi udang. Program pemberian pakan pada budidaya udang windu merupakan langkah awal yang harus diperhatikan untuk menentukan baik jenis, ukuran frekuensi dan total kebutuhan pakan selama masa pemeliharaan. Salah satu faktor pengelolaan pakan pada kegiatan usaha budidaya udang windu adalah teknik dan aplikasi frekuensi pemberian pakan.ga Metoda yang diaplikasikan pada kegiatan perekaysaan ini adalah perlakuan frekuensi pemberian pada pada budidaya udang windu yang malsimal dan minimal dalam pemberian per hari. Tujuannya adalah : untuk mengetahui efektifitas dan efisiensi pemeberian pakan buatan pada usaha budidaya udang, mengetahui efisiensi penggunaan pakan selama pemeliharaan dan mengetahui nilai ekonomis udang hasil panen. Hasil yang diperoleh dari kegiatan ini, bahwa perlakuan frekuensi pemberian pakan yang menggunakan standar minimal dapat memberikan berat rata-rata sekitar 23,8 gram, SR 75,4% dan FCR 1,53 : 1 serta biomass 287,1 kg, sedangkan pada petak kontrol dengan frekuensi pemberian pakan yang menggunakan standar maksimal memberikan berat rata-rata 22,3 gram, SR 70,2 % dan FCR 1,76 : 1 serta biomass 250,5 kg. Frekuensi pemberian pakan yang tepat pada budidaya udang windu intensif dapat memberikan hasil yang cukup efektif, efisien, ekonomis dan berkelanjutan. Kata kunci : aplikasi, frekuensi, pakan buatan, optimal, windu, berkelanjutan I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan teknologi dan usaha budidaya udang di tambak sejak beberapa tahun yang lalu membuat kebutuhan akan pakan buatan (tambahan) menjadi sangat esensial bagi kelangsungan dan peningkatan produksi udang. Banyak pabrikan pakan buatan yang komersial bagi keperluan budidaya ikan/udang yang memproduksi secara besar-besaran. Hal ini sangat wajar, karena penerapan teknolgi budidaya ikan/udang akan survive dan eksis dalam usahanya apabila dalam proses produksinya sudah menggunakan pakan tambahan sepenuhnya dan diaplikasikan secara kontinyu. Kegiatan usaha budidaya air payau, khususnya tambak udang merupakan usaha yang proses produksinya hampir mencapai 60% menggunakan pakan formulasi buatan terutama pada teknolgi semi-intensif hingga superintensif. Namun dalam perkembangannya pada saat sekarang pemberian pakan pada teknologi budidaya udang sudah harus mempertimbangkan berbagai aspek yang bersifat efisiensi, efektif, ramah lingkungan dan udang yang diproduksi aman bagi konsumen. Keamanan pangan sudah merupakan suatu tuntutan dan tantangan agar udang yang dihasilkan dari kegiatan budidaya di tambak betul-betul bebas dari kandungan logam berat, antibiotik dan bakteri pathogen. Dengan sederet masalah yang menyertai budidaya udang, pada akhirnya yang menyangsikan keberlanjutan usaha ini. Bisnis ini telah memberikan banyak keuntungan dan manfaat yang signifikan, ternyata keberadaannya seringkali berkaitan dengan isu perusakan lingkungan, konflik kepentingan, isu penggunaan obat-oabatan, dan faktor sosial yang melibatkan berbagai unsur masyarakat (multi-sektoral). Berbagai faktor telah mendorong berkembangnya usaha budidaya udang, antara lain potensi keuntungan yang cukup besar, tingginya permintaan akan produk seafood, dan semakin berkurangnya produksi perikanan tangkap. Usaha ini telah menciptakan “multiplier effects” pada berbagai aktivitas produktif di masyarakat, misalnya usaha penangkapan/produksi induk, pembenihan, produksi pakan, pengolahan (cold-storage), mesin dan mekanik (machinery), dan berbagai jasa yang berkaitan dengan proses produksi. Sekarang ini, tidak kurang dari 30% produksi udang dunia dihasilkan dari budidaya tambak, dan angka ini cenderung terus meningkat dengan semakin banyaknya negara produsen yang berkecimpung dalam bisnis budidaya udang. Alternatif untuk meningkatkan produkstivitas udang nasional yang berwawasan lingkungan dan aman dikonsumsi serta diterima oleh pasar intensional adalah dengan cara budidaya ikan/udang yang baik. Tingkatan teknologi budidaya yang diterapkan tidak menjadi ukuran dalam menghasilkan udang untuk diterima di pasar internsional. Dalam proses peningkatan produksi tambak ini akan dilihat dari cara penerapan budidaya yang baik dan benar dalam hal ini manajemen dan pengelolaan pakan serta penggunaan pakan buatan yang aman dari kandungan logam berat dan antibiotik pada daging udang. Untuk itu, BBPBAP Jepara akan dan terus menigkatan kemampuan dan menghasilkan paket-paket teknologi budidaya udang yang ramah lingkungan dan keamanan pangan, salah satunya adalah rekayasa teknik aplikasi frekuensi pemberian pakan buatan secara optimal pada budidaya udang windu intensif yang berkelanjutan. Parameter frekuensi pemberian pakan buatan pada budidaya udang windu intensif yang akan diamati adalah : pertumbuhan, SR, FCR dan bakteri pathogen. Kerangka Pikir Komoditas perikanan budidaya tambak, terutama jenis udang masih merupakan komoditas unggulan dalam program eksport perikanan Indonesia (Anonim, 2007). Namun dalam perkembangannya bahwa komponen terbesar pada proses produksi terletak pada pakan tambahan(buatan) yang hampir mencapai 60% dari biaya produksi udang di tambak. Dalam upaya peningkatan produksi udang terdapat kendala, yaitu selain penyakit, lingkungan, kualitas benih, dan juga kualitas pakan. Pakan menempati porsi terbesar (60%) dari seluruh input produksi, hal ini menjadi kendala tersendiri bagi kelangsungan usaha budidaya. Pakan merupakan salah satu sumber bahan organik terbesar di tambak. Namun jumlah pakan yang dapat diasimilasikan dalam tubuh udang sangat rendah yaitu 13% karbon, 29% nitrogen, dan 16% posfor (Briggs et al. 2004) Rendahnya retensi nutrien pakan dalam bentuk biomas udang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : formulasi kurang optimal dan kualitas bahan baku yang digunakan, adanya kelebihan pakan serta rendahnya kestabilan pakan di air (Burford et al, 2001). Program pemberian pakan pada budidaya udang windu merupakan langkah awal yang harus diperhatikan untuk menentukan baik jenis, ukuran frekuensi dan total kebutuhan pakan selama masa pemeliharaan (Adiwidjaya et al, 2005). Nutrisi dan pemberian pakan memegang peranan penting untuk kelangsungan usaha budidaya hewan akuatik. Penggunaan pakan yang efisien dalam usaha budidaya sangat penting kerena pakan merupakan faktor produksi yang paling mahal (Andrews, et al. 1972). Oleh karena itu, upaya perbaikan komposisi nutrisi dan perbaikan efisiensi penggunaan pakan tambahan perlu dilakukan guna menigkatkan produksi hasil perikanan budidaya dan mengurangi biaya pengadaan pakan, serta meminimalkan produksi limbah pada media budidaya, sehingga dapat tercipta budidaya udang yang berkelanjutan (Adiwidjaya et al, 2005). Pengelolaan pakan harus dilakukan sebaik mungkin dengan memperhatikan apa, berapa banyak, kapan, berapa kali, dimana ikan/udang diberi pakan. Penerapan feeding ragim hendaknya disesuikan dengan tingkah laku kultivan, serta siklus alat pencernaan guna memaksimalkan penggunaan pakan (Tacon, A. 1987). Untuk mencapai sasaran dalam penggunaan pakan pada budidaya udang windu di tambak diperlukan pemahaman tentang nutrisi, kebutuhan nutrien dari kultivan, teknologi pembutan pakan, kemampuan pengelolaan pakan untuk setiap komoditas budidaya dan teknik aplikasi pemberian pakan (New, N.B., 1987). Salah satu faktor pengelolaan pakan pada kegiatan usaha budidaya udang windu adalah teknik dan aplikasi frekuensi pemberian pakan selama masa pemeliharaan. Untuk itu, para pembudidaya selalu berusaha menekan biaya produksi yang seefisien mungkin dari berbagai komponen produksi, salah satunya adalah dengan berbagai aplikasi dan teknik pemberian pakan tambahan/buatan pada budidaya udang.

Bahan Bakar Bernama Mikroalga

Peneliti Indonesia menemukan mikroalga yang melimpah di laut mengandung senyawa dasar pembentuk bahan bakar. Blue energy yang sebenarnya. Belakangan ini Mujizat Kawaroe sibuk bukan main. Sejak menemukan potensi sumber energi dalam mikroalga, ia punya setumpuk jadwal. Seminar dan presentasi berderet menanti. Telepon rumah dan se-lulernya tak henti berdering, baik dari pengusaha yang ingin mengajak be-kerja sama maupun dari kolega sesama peneliti yang ingin berbagi ilmu. Pada pertengahan bulan lalu, peneliti wanita dari Surfactant and Bioenergy Research Center Institut Pertanian Bogor ini terbang ke New Delhi, India, untuk mengikuti Algae Biofuel Summit 2008, yang dihadiri peneliti dari 13 negara. Pada November ini ia diundang ke Singapura, lalu ke Guangzhou, Cina, Desember mendatang, dan ke Malaysia pada awal tahun depan untuk memaparkan hasil penelitiannya. Apa yang diteliti Mujizat memang hal baru. Ia menemukan potensi sumber energi dalam mikroalga atau ganggang mikro, yang selama ini dikenal sebagai salah satu bahan dasar produk kosmetik atau farmasi. Namun, di tangan Mujizat, tumbuhan paling primitif berukuran renik ini baik sel tunggal maupun koloni disulap menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi, yakni sebagai sumber energi terbarukan. "Sebagai tumbuhan yang memiliki penyerapan fotosintesis, mikroalga ternyata bisa menghasilkan bioenergi," ucap Mujizat beberapa waktu lalu. Agar tak diserobot orang, dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, ini langsung mematenkan hasil risetnya di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual atas namanya pada April lalu. Ketertarikan Mujizat untuk melakukan riset terhadap mikroalga dimulai dua tahun lalu, tatkala pemerintah sedang giat-giatnya meneari energi alternatif. Sebagai seorang yang berkecim-pung di bidang kelautan, Mujizat lantas tergerak untuk menyumbangkan pemikirannya. Menara mikroalga di London. Melalui penelusuran literatur, diketahui bahwa bahan bakar minyak dan gas yang ada di dalam perut bumi juga berasal dari tumbuhan yang telah memfosil. Sebagai dosen mata ajaran tumbuhan laut, Mujizat lantas mencoba meneliti mikroalga, yang banyak mengandung lipid atau minyak organik. Mujizat menemukan bahwa dalam salah satu lipid mikroalga ini ternyata terdapat hidrokarbon, senyawa dasar pembentuk bahan bakar. Kandungan lipid dalam mikroalga diketahui 20 persen. Jumlah lipid dalam mikroalga me-mang masih bisa ditingkatkan dengan cara rekayasa genetis. Dalam beberapa penelitian terhadap mikroalga sebelumnya, rekayasa genetis bisa mening-katkan lipid hingga 50 persen. "Tapi penelitian itu bukan bertujuan mencari bioenergi," ucap Mujizat. Mikroalga merupakan tanaman yang paling efisien dalam menangkap dan memanfaatkan energi matahari dan C02 untuk keperluan fotosintesis. Selain itu, C02 dimanfaatkan untuk me-ningkatkan produktivitas. Keberadaan mikroalga sangat membantu dalam pencegahan terjadinya pemanasan global. "C02 dari industri daripada terbuang begitu saja lebih baik ditampung dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroalga ini." Terdapat empat kelompok mikroalga yang sejauh ini dikenal di dunia, yakni diatom (Bacillariophyceae), gang-gang hijau (Chlorophyceae), ganggang emas (Chrysophyceae), dan ganggang biru (Cyanophyceae). Keempat kelom¬pok mikroalga tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku bioenergi. Di Indonesia sendiri ada ratusan jenis mikroalga. Mujizat melakukan penelitian kandungan senyawa bioaktif mikroalga yang ideal sebagai bahan baku bioenergi, antara lain dari jenis chlorella dan dunaliella. Keduanya memiliki kan-dungan lemak tinggi, adaptif terhadap perubahan lingkungan, dan cepat laju pertumbuhannya. Chlorella memiliki kandungan lemak 14 hingga 22 persen dan karbohidrat 17 persen. Dunaliella memiliki kandungan lemak 6 persen dan karbohidrat 32 persen. Dalam penelitian lain diketahui bahwa minyak mentah mikroalga (crude alga oil) ternyata mengandung isochrysis galbana (20-35 persen) dan nanno-chloropsis oculata (31-68 persen). "Jadi, yang besar adalah jenis nano, ka-rena memiliki kandungan lemak yang tinggi. Ini sangat menggembirakan," ujar Mujizat. Proses pembuatan mikroalga menjadi bioenergi tak terlalu sulit. Langkah awal yang dilakukan adalah identifi-kasi dan isolasi mikroalga. Kemudian mikroalga dikembangbiakkan (kultivasi), yang hanya memerlukan waktu 7 sampai 10 hari. Setelah itu, mikroalga ini bisa dipanen. Proses selanjutnya, mikroalga disaring, dikeringkan, dan diekstraksi (pemisahan) menggunakan pelarut hexan atau diethyl ether untuk menghasilkan natan. Metode ekstraksi juga bisa dipilih menurut kebutuhan. Tahap berikutnya dilakukan pemurnian dan esterifi-kasi untuk mengurai lemak menjadi hi-drokarbon. Sebagai contoh, dalam 1 ton air kul-tivasi dapat dipanen 1 liter natan. Dari 1 liter ini bisa dihasilkan 150 gram alga bioenergi, atau jika digunakan untuk proses pembuatan ekstrak akan didapat 22 mililiter minyak. Jika diproses lagi, hasil ekstrak minyak ini setara dengan 200 mililiter. Biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan proses pembuatan bioener¬gi ini pun tak mahal. Ketika melakukan penelitian di Situbondo, Jawa Timur, Mujizat hanya menghabiskan uang Rp 2.000 untuk mendapatkan 1 liter air na¬tan guna menghasilkan air reaksi da¬lam penelitiannya. Setiap satu hektare mikroalga bisa menghasilkan 2 barel air yang mengandung mikroalga. Bayangkan bila pantai Indonesia yang panjangnya mencapai ribuan kilometer dimanfaatkan, tentu akan didapat jutaan barel air yang mengandung mikroalga sebagai bahan baku bioenergi. "Itu pun bisa ditingkatkan 5 sampai 6 kali dari kondisi sekarang, tentunya melalui beberapa proses," ujarnya. Inilah harapan baru bagaimana mikroalga bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku bioenergi terbarukan dan bahan bakar alternatif pengganti minyak, yang keberadaannya semakin tipis. "Saya akan terus melakukan penelitian sampai mendapatkan high performance alga oil," ujar Mujizat optimistis. Prospek mikroalga sebagai sumber energi masa depan diakui oleh para pengusaha kelas kakap dunia. Pendiri perusahaan peranti lunak Microsoft, Bill Gates, bahkan tertarik melakukan investasi dalam industri ini. Melalui Cascade Investment, manusia terkaya di dunia itu menanamkan investasinya di Sapphire Energy, perusahaan pembuat bioenergi dari mikroalga yang bermar-kas di San Diego, Amerika Serikat. Selain dari Bill Gates, Sapphire Energy mendapat suntikan dana dari Arch Venture Partners, Wellcome Trust, dan Venrock. Total investasi yang mereka benamkan mencapai US$ 100 juta. Dengan tambahan modal sebesar itu, Sapphire berencana membuat bioenergi 10 ribu barel per hari dalam tiga atau lima tahun mendatang. Bila para pengusaha dunia melihat pengembangan mikroalga sebagai bahan bioenergi sangat menjanjikan, su-dah saatnya pemerintah melalui De-partemen Kelautan dan Perikanan se-cara serius menggarap peluang ini. Inilah blue energy yang jelas lebih menjanjikan. Bukan blue energy jadi-jadian seperti kemarin dulu.

PEMATANGAN GONAD INDUK KERAPU BEBEK DENGAN PEMBERIAN VITAMIN C DAN E.

Abstrak Kerapu_BEBEKKecukupan dan mutu pakan bagi induk ikan merupakan faktor penting untuk memproduksi induk yang berkualitas baik, defisiensi nutrien esensial terutama asam amino, vitamin dan mineral dapat mengakibatkan perkembangan telur terhambat dan akhirnya tidak terjadi ovulasi. Vitamin C merupakan nutrien esensial bagi ikan. Vitamin ini berperan pada metabolisme asam lemak dalam tubuh yang selanjutnya akan menentukan kualitas telur dan larva ikan. Penambahan vitamin C dalam pakan induk ikan dapat meningkatkan kualitas telur dan larva. Selain vitamin C, vitamin E juga dibutuhkan untuk meningkatkan kesuburan dan meningkatkan waktu reproduk si induk ikan. Ujicoba pemberian vitamin C dan E pada pakan induk kerapu bebek berlang sung sejak bulan Pebruari hingga September 2010, kegiatan produksi telur dilakukan pada bak beton bulat volume 200 m3. Induk ikan kerapu bebek yang digunakan ber jumlah 24 ekor dengan berat antara 1.5 – 4 kg. Pakan harian induk berupa ikan ku niran, cumi-cumi dan ikan layang diberikan setiap minggu bersamaan dengan pem berian vitamin C dan E dengan cara dimasukkan ke dalam tubuh cumi atau mulut ikan Penggantian air dilakukan antara 100-200 % / hari. Dari hasil ujicoba pemberian vitamin tersebut, induk kerapu bebek mulai memi jah mulai bulan Maret 2010, telur yang dihasilkan berjumlah 3.547.00.000 butir. Selan jutnya mulai terjadi penurunan jumlah telur sejak bulan April sampai Agustus 2010 demikian pula jumlah hari pemijahan hanya 5 – 6 hari, mulai bulan September tidak terjadi peneluran lagi.

Perkembangan Perekayasaan Pemuliaan Induk Udang Windu di BBPBAP - Jepara

Kegiatan produksi calon induk udang windu merupakan rangkaian proses domestikasi dan pemuliaan untuk menghasilkan induk unggul.  Program domestikasi adalah langkah atraktif yang harus ditempuh untuk menghasilkan benih unggul yang berasal dari induk unggul setelah perbaikan system budidaya tidak mampu menjadi solusi dalam mengatasi masalah penyakit.  Meski lambat dimulai dibandingkan dengan vaname, proses domestikasi telah menghasilkan beberapa acuan baik dari sisi genetic engineering maupun pola seleksi konvensional untuk membuat sebuah broodstock center udang windu.  Pada saat sekarang program seleksi telah mengasilkan generasi ke – 4, dengan masing – masing masa pemeliharaan selama 18 bulan untuk setiap generasi.  Perbaikan kualitas utamanya kemampuan bereproduksi menjadi target perekayasaan untuk tahun – tahun mendatang.  Perekayasan akan lebih difokuskan pada perbaikan nutrisi maupun kesesuaian media pemeliharaan termasuk penerapan biosekuriti yang lebih sempurna.  Tujuan akhir dari proses domestikasi adalah induk bebas penyakit yang  dapat mengasilkan benih yang dapat tumbuh cepat. Guna mengakselerasi pencapaian hasil telah terbentuk sebuah jaringan yang beranggotakan beberapa UPT Pusat DJPB (BBPBAP Jepara, BBAP Takalar, BBAP Ujung bate) yang didukung oleh Balai Riset Perikanan Budidaya (Gondol, Maros).  Balai riset akan lebih banyak mendukung pada porsi engineering genetic termasuk mendapatkan gen marker untuk sifat tumbuh cepat serta trans genik untuk sifat WSSV resisten.  Pada akhirnya hasil dari kegiaatan seleksi konvensional dan genetic engineering akan dipadukan untuk mendapatkan sebuah produk dengan kategori unggul.

Strategi pemuliaan


Calon induk windu F-4 yang dihasilkan saat ini berasal dari seleksi induvidu yang dimulai dari generasi I, II dan III.  Populasi dasar yang digunakan adalah populasi yang berasal dari beberapa daerah penangkapan dengan keragaman genetik lebih tinggi.  Dari beberapa populasi itulah, kemudian di”blending” untuk mendapatkan populasi dasar.  Sejumlah proses termasuk kegiatan koleksi induk, karakterisasi dan inventarisasi sumber daya genetik dan koleksi kandidat terpilih dipertimbangkan untuk mendapatkan populasi dasar. Setidaknya terdapat lima sistem seleksi yang disepakati yakni seleksi individu, famili, super Health, Survivor dan Hibridisasi, namun baru seleksi individu yang dilaksanakan karena ketersediaan fasilitas yang masih dalam pembenahan.  

Hasil Kegiatan

Pembesaran calon induk dari generasi pertama hingga ke 4 dilakukan di tambak dengan sistem berpindah.  Secara keseluruhan lingkungan tambak yang digunakan dengan penerapan “farm level biosecurity” mampu mendukung sistem pemeliharaan terututama dalam hal mengeleminasi peluang masuknya organisme pathogen.  Dari sisi pertumbuhan calon induk, sistem yang digunakan dapat mendorong tingkat pertumbuhan dengan rata – rata ADG sekitar 0.3 pada setiap generasi.  Kualitas induk yang dihasilkan lewat proses domestikasi masih lebih rendah dari induk alam bila dibandingkan dengan tolok ukur respon terhadap ablasi, fekunditas serta daya tetas telurnya.   Respon terhadap ablasi lebih lambat, terlihat dari jumlah hari yang dibutuhkan untuk matang gonad setelah ablasi.   Fekunditas rata-rata per ekor induk berkisar 300.000 butir untuk ukuran induk 150 gram pada setiap generasi.  



Gambar 1.  Penampilan induk windu hasil domestikasi

Tidak adanya perbedaan fekunditas lebih disebabkan oleh penggunaan calon induk dengan berat tubuh sepadan.  Daya tetas telur pada generasi ke dua dan ke tiga  jauh lebih tingi dibandingkan  dengan generasi pertama.  Belum diketahui secara pasti apakah terdapat pengaruh generasi atau efek dari pengelolaan pakan ataupun lingkungan yang lebih baik.


    
Gambar 1.  Daya tetas telur windu hasil domestikasi pada setiap generasi.
   
Terlihat hal yang berbeda cukup nyata pada hasil pemeliharaan larva hingga stadia PL-12.  Peningkatan kelangsungan hidup larva dari telur yang dihasilkan terjadi pada setiap generasi.  Pada penggunaan induk generasi I kelangsungan hidup larva tercatat hanya sekitar 10 %, dan meningkat menjadi 25% dan 55% pada penggunaan induk generasi ke dua dan tiga.  Pengaruh seleksi juga terlihat dari pertumbuhan benih yang dhasilkan bila dibandingkan dengan benih non-seleksi.
   
       

Gambar 2.  Kelangsungan hidup larva dari induk hasil domestikasi yang terlihat meningkat setiap generasi (a);  Perbandingan pertumbuhan benih dari induk non seleksi (NS) dan induk hasil domestikasi serta seleksi (S) pada 3 bulam pertama masa pemeliharaan di tambak (b).

Sumber : Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau - Jepara

Pengaruh Dosis Ekstrak Daun Sirih (Piper Betle L.) dan Padat Tebar Terhadap Kelulusan Hidup Benur Udang Windu (Penaeus Monodon) Yang Diinfeksi Penyakit Kunang-Kunang (Vibrio Harveyi)

Udang windu (Penaeus monodon fab.) merupakan komoditas perikanan yang telah berkembang. Upaya untuk meningkatkan produksi serta penanganan penyakit masih terus dilakukan.

Kendala yang dihadapi dalam usaha pembenihan udang adalah penyakit yangg ditimbulkan oleh kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan kehidupan udang. Kepadatan yang tinggi tanpa diiringi dengan suplai oksigen yang cukup akan menyebabkan stress pada udang sehingga memudahkan udang terserang penyakit. Pada tambak intensif dengan kepadatan tinggi biasanya menggunakan kincir sebagai suplai oksigen. Hal ini dapat menanggulangi stress pada udang.

Penyakit infeksi pada udang dapat disebabkan oleh virus dan bakteri. Bakteri yang sering menimbulkan penyakit di panti pembenihan udang adalah Aeromonas sp., Vibrio sp., Pseudomonas sp., dan Mycobacterium sp. Jenis bakteri dari golongan Vibrio harveyi merupakan bakteri yang paling sering menimbulkan kematian massal dalam waktu yang relatif singkat. Bakteri ini menyerang larva udang di panti-panti pembenihan maupun udang yang dibudidayakan di tambak dan dikenal dengan nama penyakit kunang-kunang atau penyakit udang menyala. Udang yang terinfeksi bakteri ini akan bercahaya dalam keadaan gelap dan biasanya menyerang larva pada stadium zoea, mysis dan post larva.

Upaya penanggulangan penyakit kunang-kunang ini telah dilakukan dengan pemberian berbagai macam antibotik. Pemberian antibiotik secara terus menerus memberikan dampak negatif pada larva udang karena akan meninggalkan residu dalam tubuh dan menyebabkan resistensi terhadap V. Harveyi.

Alternatif pemecahan untuk mengatasi permasalahan penyakit kunang-kunang selain dengan penggunaan antibiotik adalah dengan pemanfaatan bahan-bahan dari alam berupa tanaman obat yang memiliki khasiat bakterisida dan tidak membahayakan manusia.

Sirih (Piper bettle L) merupakan tanaman yang berkhasiat sebagai bahan obat. Penggunaan sirih untuk mengobati berbagai macam jenis penyakit telah dilakukan beberapa puluh tahun yang lalu secara tradisional. Penggunaan sirih sebagai bahan obat mempunyai dasar yang kuat karena adanya kandungan minyak atsiri dengan komponen phenol alam yang mempunyai daya anti septik yang kuat.

Daun sirih berkhasiat sebagai penahan pendarahan, obat luka pada kulit, memperbaiki selera makan dan rasa, juga berfungsi sebagai antiseptik, bakterisida dan fungisida. Kandungan kimia yang terdapat dalam daun sirih yatiu saponin yang berguna sebagai anti radang, flavonoida dan polifenol sebagai antiseptik dan anti radang, serta minyak atsiri yang berguna sebagai anti radang dan bersifat bakterisida yang sangat kuat.

Pakan yang diberikan sebanyak 25% dari bobot benur udang. Sehingga untuk menentukan jumlah pakan yang diberikan , benur udang ditimbang terlebih dahulu. Pada setiap kg pakan yang akan diberikan kepada udang dicampurkan dengan 20 mg, 30 mg dan 40 mg ekstrak daun sirih.

Benur udang dipelihara selama 14 hari dengan diberi pakan yang telah dicampur dengan ekstrak daun sirih. Pemberian pakan dilakukan tiga kali yaitu pada pukul 06.00, 12.00 dan 18.00 WIB. Pemberian pakan dilakukan dengan cara menaburkan pakan dengan pakan.

Pada pemeliharaan hari ke-7, pada setiap wadah penelitian dimasukkan bakteri V.Harveyi dengan kepadatan 109 sel/ml. Pengamatan kelulusan hidup dilakukan sejak benur udang diinfeksi V.harveyi yaitu dengan mecatat jumlah benur udangyang hidup.

Permasalahan yang dihadapi sekarang dalam penggunaan daun sirih yaitu belum diketahuinya dosis dan kepadatan yang terbaik untuk meningkatkan kelulusan hidup benur udang windu yang terinfeksi V.harveyi.

Dari uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian tentang penggunaan ekstrak daun sirih dan padat tebar yang berbeda terhadap kelulusan hidup benur udang windu (P.monodon Fab) yang terserang penyakit kunang-kunang (V.harveyi).

Metoda yang digunakan dalam percobaan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan faktor A (Ekstrak daun sirih) terdiri dari 4 taraf perlakuan yaitu A1(kontrol), A2 (20mg/kg) dan faktor B (padat tebar benih) terdiri dari 3 taraf perlakuan yaitu B1 (10 ekor/wadah), B2 (15 ekor/wadah), B3 (20 ekor/wadah) dengan masing-masing 3 ulangan, maka diperoleh kombinasi perlakuan kombinasi perlakuan A x B (4x3) 12 Perlakuan dan 3 kali ulangan sehingga wadah yang digunakan dalam percobaan (12 x 3) sebanyak 36 wadah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun sirih mempunyai daya anti bakteri terhadap Vibrio Harveyi dan perlakuan dosis ekstrak daun sirihyang terbaik adalah pada dosis 40 mg/kg Pakan dengan rata-rata Kelulusan hidup 73,148%. Saran dari Penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang jenis benur udang, Frekuensi pemberian pakan, sumber benur udang dan yang mempengaruhi penyakit.

STRATEGI MUSIM TANAM KOMODITAS BUDIDAYA TAMBAK

PENDAHULUAN
Strategi musim tanam yang tepat pada usaha komoditas budidaya di tambak, khususnya udang merupakan salah satu keberhasilan dalam produksi lencapai ketingkat yang optimal. Kegagalan (panen premateur) tersebut, selain akibat penyakit yang bersifat massal dan mematikan in pula para petambak salah dalam memilih waktu tanam.

Periode musim dalam satu tahun di Indonesia dikenal 2 musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Kaitannya dengan musim tanam ini, ia usaha budidaya udang diperlukan kecermatan untuk memprediksi peluang keberhasilan yang maksimal. Dengan demikian, informasi ini diharapkan akan memberi gambaran secara umum tentang musim tanam yang tepat untuk kegiatan usaha budidaya di tambak.

Tujuan dari infornasi ini adalah : 1) Petambak agar memperoleh informasi musim tanam yang tepat untuk kegiatan usaha komoditas budidaya di tambak; 2) Sebagai pedoman dan petunjuk bagi petambak dalam melakukan proses produksi budidaya komoditas tambak; dan 3) Membantu petambak agar mampu memprediksi musim tanam yang tepat. Sedangkan yang dicapai sebagai berikut :1) mengoptimalkan lahan dalam musim tanam yang tepat; 2)Memperoleh hasil (produksi) yang optimal; dan 3) dapat memperoleh keuntungan yang pasti setiap mengoperasionalkan tambaknya (jaminan > 80 %).

MUSIM
Indoesia mempunyai dua musim, yaitu penghujan dan kemarau. Kedua musim ini secara langsung mikroklimat yang berbeda, dalam hal ini mikroklimat tambak untuk kegiatan usaha budidaya. Kedua musim tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan bagi organisma (biota) air idayakan (Tabel 1). Maka   dengan    kondisi demikian petambak secara cermat harus mewaspadai dan memilih musim tanam yang tepat sesuai komoditas budidaya tambak yang akan diusahakan.


DAMPAK BEBERAPA PARAMETER KUNCI
KUALITAS AIR
Salinitas
Untuk tumbuh dan berkembangnya organisme yang dibudidayakan mempunyai toleransi optimal. Kandungan salinitas air terdiri dari garam-garam mineral yang banyak manfaatnya untuk kehidupan organisme air laut atau payau. Sebagai contoh kandungan calcium yang ada berfungsi membantu proses mempercepat pengerasan kulit udang setelah moulting. Salinitas air media pemeliharaan yang tinggi (> 30 ppt) kurang begitu menguntungkan untuk kegiatan budidaya udang windu. Karena jenis udang windu akan lebih cocok untuk pertumbuhan optimal berkisar   antara 5-25 ppt.

Tingginya salinitas untuk kegiatan usaha budidaya udang windu akan mempunyai efek yang kurang menguntungkan, diantaranya : 1) agak sulit untuk ganti kulit (kulit cenderung keras) pada saat proses biologis bagi pertumbuhan dan perkembangan; 2) kebutuhan untuk beradaptasi terhadap salinitas tinggi bagi udang windu memerlukan energi (kalori) yang melebihi dari nutrisi yang diberikan; 3) bakteri atau vibrio cenderung tinggi; 4) udang windu lebih sensitif terhadap goncangan parameter kualitas air yang lainnya dan mudah stres; dan 5) umumnya udang windu sering mengalami lumutan. Selain itu, pada saat puncak musim kemarau jenis udang umumnya akan lebih mudah terserang oleh penyakit SEMBV (White spot).
Suhu air
Suhu pada air media pemeliharaan udang umumnya sangat berperan dalam keterkaitan dengan nafsu makan dan proses metabolisme udang. Apabila suatu lokasi tambak yang mikroklimatnya berfluktuatif, secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap air media pemeliharaan. Sebagai contoh pada musim kemarau yang puncaknya mulai bulan Juli hingga September sering terjadi adanya suhu udara dan air media pemeliharaan udang yang sangat rendah (< 24° C). Rendahnya suhu tersebut akibat dari pengaruh angin selatan (musim bediding), pada musim seperti ini biasanya suhu air berkisar antara 22 - 26° C. Suhu < 26° C bagi udang windu akan sangat berpengaruh terhadap nafsu makan (bisa berkurang 50 % dari kondisi normal). Sedangkan bagi jenis udang putih pada umumnya, nafsu makan masih normal pada suhu air antara 24- 31°C.

Tinqkat kekeruhan air
Tingkat kekeruhan air, baik air sumber maupun air media pemeliharaan mempunyai dampak yang positif dan negatif terhadap organisme yang dibudidayakan, dan setiap organisme mempunyai toleransi tingkat kekeruhan yang berbeda pula. Sebagai contoh bagi jenis kerang hijau masih dapat hidup normal dan tumbuh baik pada tingkat kekeruhan yang tinggi, sementara rumput laut pada umumnya memerlukan tingkat kekeruhan yang rendah. Bahan organik yang menumpuk dalam jumlah yang banyak (tebal) termasuk tempat bakteri dan vibrio yang merugikan bagi udang.
Bila air sumber yang digunakan untuk kegiatan budidaya banyak membawa material organik akibat limbah kiriman dari darat, maka secara tidak langsung akan berpengaruh negatif terhadap biota air yang dipelihara di tambak. Tingkat kekeruhan yang tinggi (limbah dari darat) sering terjadi pada musim penghujan, dimana material yang terbawa berupa cair, padat dan gas. Namun untuk mengendalikan air keruh akibat limbah bawaan tersebut masih dapat digunakan untuk kegiatan budidaya tambak, khususnya udang.
Jenis dan kemelimpahan plankton
Keberadaan plankton dalam air media pemeliharaan organisme, khususnya jenis fitoplankton yang menguntungkan dan persentase dominanasi (keseimbangan) sangatlah dibutuhkan, baik dari segi keanekaragaman maupun kemelimpahannya. Fungsi dan peran plankton pada air media pemeliharaan diantaranya adalah : 1) sebagai pakan alami untuk pertumbuhan organisme yang dipelihara; 2) sebagai penyangga (buffer) terhadap intensitas cahaya matahari; dan 3) sebagai bio-indikator kestabilan lingkungan air media pemeliharaan.


Kaitannya dengan kedua musim yang ada ini, keanekaragaman (jenis) maupun kemelimpahan plankton akan sangat berbeda antara musim kemarau dan musim penghujan. Pada musim kemarau yang salinitasnya relatif tinggi (>35 ppt) penumbuhan plankton pada saat persiapan air media hingga umur pemeliharaan satu bulan pada umumnya sangat sulit untuktumbuh dan dalam kondisi populasi yang stabil.

Kemelimpahan bakteri, vibrio dan virus
Kemelimpahan berbagai jenis baketri, vibrio dan virus pada musim kemarau akan lebih membahayakan bagi udang (organisme) yang dipelihara bila dibandingkan pada musim penghujan. Pada salinitas tinggi, penampakan secara visual di lapangan lebih sulit untuk dilihat dan diketahui secara pasti terserang oleh jenis virus atau bukan. Sedangkan pada musim penghujan (salinitas cukup optimalberkisar antara 5 - 25 ppt) kemelimpahan virus relatif berkurang. Hal yang pasti dari kasus ini adalah bahwa bukan tidak adanya virus yang berbahaya melainkan kondisi udang realtif lebih tahan terhadap serangan penyakit, namun tetap petambak harus waspada.

JADWAL MUSIM TANAM SESUAI KOMODITAS BUDIDAYA DI TAMBAK
Gambaran jadual musim tanam bagi para petambak tercantum pada Tabel 2


Informasi Selanjutnya Hubungi:Divisi Pembesaran UdangBBPBAP Jepara, PO. Box 1Telp. (0291)591125,Fax:(0291)591724Jepara.

Rabu, 10 Juli 2013

Peran Teknologi Nuklir Menunjang Ketahanan Pangan Nasional

Jakarta-Ketersediaan  pangan di Indonesia selalu menjadi masalah krusial setiap tahunnya. Beberapa komoditi pangan seperti beras, daging dan kedelai memaksa pemerintah harus melakukan impor disebabkan produksi nasional tidak mencukupi. Bahkan untuk gandum ketersediaannya 100 persen impor. Gandum, bahan pembuat roti dan mie,sangat digemari oleh masyarakat Indonesia akhir-akhir ini.
Khusus untuk kebutuhan beras pada tahun 2014 sebesar 33.013.214 ton. Dengan kebutuhan beras sebesar 33 juta ton pada tahun 2014, maka apabila harus ada surplus 10 juta ton sebagai cadangan, berarti harus ada produksi beras minimal 43 juta ton. Bila produksi beras tidak memenuhi kebutuhan pangan nasional, maka pemerintah terpaksa impor.
Tidak terpenuhinya ketersediaan pangan di Indonesia oleh produksi nasional, penyebabnya antara lain meningkatnya jumlah penduduk, alih fungsi lahan dari pertanian menjadi lahan non pertanian, seperti jalan, perumahan, pabrik dan lain sebagainya. Kondisi cuaca yang tidak menentu juga mempunyai pengaruh terhadap turunnya produksi hasil pertanian  pangan nasional.
Dalam kondisi seperti ini tentunya pemerintah tidak tinggal diam dan terus berupaya agar kebutuhan pangan nasional tercukupi dengan cara berswasembada pangan dari hasil produksi dalam negeri. Kalau pun harus impor itu ditekan seminimal mungkin kuantitasnya.
Untuk mengurangi impor serta untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, produksi beras dalam negeri harus ditingkatkan. Demikian pula dalam memenuhi kebutuhan akan tanaman penghasil karbohidrat lain yang dapat dikembangkan menjadi bahan diversifikasi pangan di Indonesia.
Upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, satu di antaranya dengan memperhitungkan pemanfaatan teknologi nuklir, seperti yang dilakukan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Teknik yang digunakan adalah melakukan pemuliaan tanaman dengan teknologi mutasi radiasi.
Inovasi teknologi nuklir di bidang pertanian telah terbukti mampu membantu pemerintah dalam penyediaan benih berkualitas. Benih tersebut antara lain padi, kedelai, sorgum, kacang hijau,dan gandum. Benih berkualitas harus memiliki keunggulan, antara lain daya hasil yang tinggi atau berlimpah, berumur pendek, tahan terhadap hama penyakit dan kekeringan.
Tingkat produktivitas padi varietas hasil pemuliaan mutasi radiasi rata-rata menghasilkan 7 ton per hektar, bahkan potensinya diatas 9 ton per hektar. Sedangkan rata-rata produksi padi nasional hanya sebesar 5,01 ton per hektar. Varietas hasil litbang BATAN telah mencapai 10 persen jumlah varietas unggul tanaman pangan dan telah ditanam di lahan seluas 3 juta hektar sejak tahun 2000. Sampai saat ini, BATAN telah menghasilkan 20 varietas unggul padi, 6 varietas kedelai, 1 varietas kacang hijau. “Selain itu juga sudah direkomendasikan untuk dilepas 2 varietas kedelai sangat genjah, 1 varietas sorgum dan gandum, kita tinggal menantikan SK Menteri Pertanian saja”, kata Dr. Sobrizal, peneliti pertanian BATAN. Diharapkan sorgum bisa menggantikan posisi gandum sebagai bahan pembuat mie instan,
BATAN dengan teknologi nuklir tidak saja meningkatkan potensi pangan utama, seperti beras, tetapi juga menggali potensi sumber-sumber pangan  baru yang selama ini terabaikan, seperti sorgum yang sudah dikenal sebagai bahan pangan pokok sejak ratusan tahun lalu di kawasan Indonesia Timur.
Untuk menggali dan mengembangkan potensi sumber-sumber pangan baru di Indonesia yang luas ini, BATAN memperhatikan  kondisi tanah yang sangat beragam dan disesuaikan dengan kearifan lokal. Satu tanaman unggul di suatu tempat belum tentu akan tumbuh baik di tempat lainnya. Contoh, salak pondoh mungkin hanya bisa tumbuh bagus dan berkualitas di Yogyakarta dan sekitarnya, namun tidak akan tumbuh dan berbuah bagus jika ditanam di Jakarta. Masing-masing daerah mempunyai kondisi tanah dan iklim yang berbeda-beda.
Semestinya kita bersyukur dengan kondisi alam demikian itu semua jenis tanaman pangan bisa tumbuh. Untuk daerah yang basah dan curah hujan yang cukup banyak bisa ditanami padi, dan daerah yang tanahnya kering bisa digunakan untuk bertanam sorgum.
Untuk tanaman gandum yang harus tumbuh di kawasan beriklim dingin, BATAN kini tengah mengembangkan gandum tropis dataran rendah. Saat ini satu varietas gandum yang diberi nama Ganesa (gandum Indonesia) siap untuk dilepas dan menunggu SK Menteri Pertanian.
Pemanfaatan teknologi nuklir di bidang kesehatan dan reproduksi ternak juga berperan untuk meningkatkan produksi daging dan susu. BATAN, mempunyai kelompok penelitian yang terkait dengan kesehatan dan reproduksi ternak. Salah satu kegiatannya membuat vaksin iradiasi untuk mencegah penyakit Fasciolosis (cacing hati pada ternak ruminansia) pada sapi agar tidak terjadi penurunan volume daging atau susu pada sapi. Proses pembuatan vaksin ini sedang diupayakan untuk mendapatkan paten. Saat ini juga diupayakan pembuatan vaksin mastitis (radang kelenjar susu), serta teknik nuklir pembuatan vaksin iradiasi Brucellosis untuk mencegah penyakit keguguran menular pada sapi betina.
Peran teknologi nuklir lainnya dalam reproduksi yang disebut radioimunoassay (RIA), untuk memperbaiki penampilan reproduksi ternak ruminansia. Dengan menggunakan teknologi ini kita bisa memperbaiki manajemen reproduksinya. Tanpa teknologi ini, reproduksi dan angka kelahiran ternak tidak menentu, bahkan setahun sekali belum tentu.  Upaya BATAN lainya untuk berperan dalam meningkatkan produksi ternak  melalui pembuatan formula pakan berkualitas.
Sedangkan untuk perikanan digunakan hormon methyl testosteron alami untuk  pejantanan ikan dan Suplemen Pakan Ikan (SPI)  agar dia bisa lebih lincah dan gemuk. Teknologi inipun sudah diaplikasikan ke masyarakat di berbagai daerah di Indonesia.
Keragaman yang ada di alam pada prinsipnya berdasarkan mutasi alam atau mutasi spontan. Mutasi alam memerlukan proses panjang sampai waktu ratusan bahkan ribuan tahun. Pemuliaan mutasi dengan sinar gamma bisa mempercepat mutasi lebih cepat dan tentu saja aman.
Semua produk hasil litbang BATAN baik di bidang pertanian, peternakan, dan perikanan tidak menimbulkan efek samping bagi konsumen.(adv)

Selasa, 09 Juli 2013

Institut Kelautan dan Perikanan Nasional Mulai Dibangun

KARAWANG, KOMPAS.com -- Institut Kelautan dan Perikanan Nasional (IKPN) di Karawang, Jawa Barat, mulai dibangun. IKPN merupakan pengembangan dari Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Karawang.
Tahap awal pembangunan gedung ditinjau Menteri Kelautan dan Perikanan  Sharif Cicip Sutardjo dan Menteri Perumahan Rakyat  Djan Faridz, Kamis (20/9/2012).
Cicip mengatakan, peningkatan status kampus STP menjadi IKPN di Karawang merupakan langkah mencetak sumber daya manusia yang kompeten dan memenuhi standar sertifikasi dunia industri, serta untuk menopang keberhasilan industrialisasi kelautan dan perikanan.
"Keberadaan kampus ini selain untuk mengembangkan SDM kelautan dan perikanan, ditujukan pula untuk memberi multiplier effect bagi pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Karawang," ujarnya.
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, Sjarief Widjaja mengemukakan, pengembangan pendidikan vokasi mengacu pada konsep teaching factory, yakni peserta didik dapat melaksanakan praktik sesuai dengan kondisi dunia kerja pada industri kelautan dan perikanan yang sesungguhnya, dengan persentase 70 persen praktik dan 30 persen teori.
Rusunawa
Kampus itu juga akan dilengkapi rumah susun sederhana sewa (rusunawa) bagi mahasiswa. Pembangunan rusunawa tersebut menjadi bagian dari master plan pembangunan kampus STP di Karawang.
Pembangunan rusunawa bagi mahasiswa IKPN Karawang merupakan tindak lanjut dari Kesepakatan Bersama Kemenpera dan KKP pada Februari 2012 tentang Pengadaan Perumahan di Lingkungan KKP.
STP merupakan salah satu lembaga pendidikan dalam lingkup KKP, di samping tiga akademi perikanan dan sembilan sekolah usaha perikanan menengah di berbagai daerah di Indonesia.
Cicip mengharapkan, pembangunan IKPN mendorong akselerasi peningkatan produksi dan nilai tambah produk kelautan dan perikanan yang memiliki daya saing, serta menjadi penggerak pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat.
Perekrutan peserta didik meliputi 40 persen anak pelaku utama (nelayan, pembudidaya dan pengolah ikan, dan petambak garam), 40 persen masyarakat umum, dan 20 persen kerja sama instansi terkait. Sistem pendidikan kelautandan perikanan yang berbasis vokasi diharapkan mampu mencetak tenaga kerja siap bekerja sesuai bidangnya dalam memenuhi kebutuhan pasar kerja.

Senin, 08 Juli 2013

Cegah Udang Panen Dini Akibat EMS

Hari ini adalah jadwal Dedi Widjanarko memanen udang dari tambak. Itu artinya, tambak udang miliknya yang berada di Pangandaran, Jawa Barat tersebut hari ini akan membuang air sisa budidaya ke saluran. Jauh hari rencananya ini sudah dikomunikasikan dengan para pemilik tambak udang di sekitarnya yang memiliki satu jalur sumber air dengan dia. Sehingga hari ini tak satu pun tetangganya memasukkan air ke dalam tambak masing-masing. Tambak yang membutuhkan pasokan air akan mengambil air sebelum Dedi melakukan panen. Disebut Dedi, di blok tersebut terdapat 16 petambak dengan satu jalur sumber air. “Dan itu air muara, jadi lebih rawan,” kata dia. Para petambak ini tergabung dalam satu kelompok atau yang biasa dikenal juga dengan istilah cluster. Dedi yang juga Sekretaris Jenderal Shrimp Club Indonesia (SCI) daerah Jawa Barat-Banten menandaskan, deteksi dini penyakit di suatu wilayah dimulai setidaknya dengan adanya komunikasi antar petambak dalam satu blok atau satu jalur air. “Saling memberikan informasi mengenai kemunculan penyakit, waktu buang air panen, dan waktu pengambilan air,” terang Dedi. Sistem ini sudah berjalan di daerahnya, dan sejauh ini ia mengaku tidak ada masalah penyakit. Disiplin dan kekompakkan dari semua petambak, tandas dia, menjadi penting. Dan untuk itu diperlukan koordinasi dan komunikasi secara rutin. Andi TamsilSekretaris Jenderal Shrimp Club Indonesia (SCI)menggambarkan, usaha tambak udang itu unik dan berbeda dengan bisnis lain. Alih-alih bersaing, antar tambak harus saling jaga,dan saling membantu. “Prinsip dalam bertambak, kalau mau selamat maka yang sebelah harus selamat,” ujarnya di sela-sela acara Forum Inovasi dan Teknologi Akuakultur (FITA) 2013 di Lombok (12/6). Saling terbuka menjadi keharusan. Tak hanya jadwal panen, kemunculan kasus penyakit di tambak pun mutlak diinformasikan kepada tetangga. Cluster vs Penyakit Penyakit, tengah menjadi isu sentral dunia perudangan. Bagaimana menjadikan bisnis ini berkelanjutan. Terlebih, perudangan dunia tengah dibuat “galau” akan wabah Early Mortality Syndrome(EMS) yang melanda Thailand dan Vietnam. Menjadi keharusan bagi pelaku perudangan Indonesia untuk waspada, dan melakukan segala upaya agar terproteksi dari ancaman EMS. Pengetatan biosekuriti, deteksi dini penyakit dan penerapan cara-cara budidaya yang baik menjadi tuntutan tak terelakkan. Dan sistem cluster dengan satu manajemen bersama sangat berguna bagi pencegahan dan pengendalian penyakit, sertaakan mengoptimalkan hasil panen. Sistemini menjadikan pengawasan lebih mudah. Setiap anggota kelompok saling kontrol, dan menjadi lebih sistematis karena memiliki struktur organisasi, seperti adanya manajer administrasi, manajer teknis, dan tenaga teknis lainnya. Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan & Perikanan (KKP), Slamet Soebjakto mengistilahkan pengelolaan air secara berkelompok ini dengan real closed system alias sistem tertutup. Satucluster menganut satu manajemen kelompok yang sama, meliputi pembuangan air, limbah, pemasukan air dan sebagainya. Air dikelola sehingga menjadi air yang layak sebagai media budidaya. Menurut Slamet Soebjakto, penerapan real closed system bernilai blue economies, tidak hanya meningkatkan pendapatan, tanpa limbah, tapi juga efisiensi. “Selain itu, signifikan menekan risiko penyakit,” ujarnya. Totok –demikian ia biasa disapa— menunjuk bukti, tambak percontohan di Pantura (pantai utara Jawa) sukses produktif karena penerapan closed system. “Awalnya banyak yang pesimis karena Pantura diistilahkan ‘neraka’-nya udang dengan padatnya industri dan pabrik,” kata Totok. Maskur, Direktur Kesehatan dan Lingkungan, Ditjen Perikanan Budidaya (DJPB) menambahkan keterangan, tambak percontohan (demfarm) merupakan kegiatan budidaya udang dengan menerapkan teknologi maju yang dikelola dengan sistem cluster, hasil kerjasama DJPB dengan pembudidaya, pabrik pakan, dan perbankan. Produktivitas tambak pun meningkat. Pada 2012 telah dikembangkan demfarm seluas 1.000 ha di Jawa Barat serta Banten, dan di 2013 akan dikembangkan lagi di 6 provinsi (Jawa Tengah,Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Lampung,dan Sumatera Utara). Karantina & Monitoring Menyoal deteksi dini penyakit dan pencegahan masuknya penyakit, Tamsil menyebut 2 pintu. Satu pintu ada di karantina. Karantina adalah garda depan dan benteng utama deteksi dini penyakit, terutama bibit penyakit yang dibawa benih udang. Karantina di bandara dan pelabuhan baik antar negara maupun antar pulau, harus tegas tidak boleh meloloskan benih udang yang dilalulintaskan tanpa surat keterangan resmi bebas penyakit. “Idealnya setiap daerah punya peraturan daerah yang mengatur ini,” ujarnya mengurai asa. Totok membenarkan perlunya pengetatan lalulintas dalam dan luar negeri. Untuk benih impor, pemerintah sampai sekarang melarang benih asal beberapa negara dalam rangka pencegahan masuknya penyakit, khususnya EMS. “Kita tidak akan mengizinkan induk dari Thailand maupun Vietnam,” tegas Slamet. Kombinasi Teori & Praktik Untuk deteksi penyakit secara dini di level tambak, petambak membutuhkan kombinasi ilmu teori dan ilmu praktek. Ini disampaikan Hanung Hernadi, Ketua FKPA (Forum Komunikasi Praktisi Akuakultur) Lampung. Menurut dia, pembacaan secara visual dan gerak-gerik udang biasanya dikuasai petambak. Semisal kelainan warna tubuh, adanya bintik, adanya lumut, sampai fenomena udang mengambang di permukaan dapat ditengarai. “Udang sebagai hewan noktural, di siang hari berada di dasar tambak. Bila sampai udang naik ke permukaan di siang hari pasti ada yang salah,” tambahnya. Tetapi monitoring visual saja tidak cukup, dibutuhkan fasilitas pendukung untuk mendeteksi lebih dini sebelum gejala muncul secara mencolok. Peran pemerintah dalam penyediaan fasilitas laboratorium yang memadai menjadi tuntutan. Pemerintah juga memiliki banyak ahli yang mampu memberikan dukungan ilmu dan teknologi. Karena itu Hanung menyambut baik niat pemerintah membuat program laboratorium keliling yang bertugas memberikan layanan monitoring bagi petambak.

Sabtu, 15 Juni 2013

Pentingnya Benih Ikan Bersertifikat

Oleh: Muh. Husen*
Keberhasilan bisnis perikanan budidaya (akuakultur) tidak lepas dari ketersediaan benih ikan. Sebab benih adalah awal dari suatu proses budidaya. Karena itu kualitas benih harus benar-benar bagus. Dengan kata lain, mutlak diperlukan suatu jaminan yang menyatakan bahwa kondisi benih suatu ikan sesuai standar benih yang berkualitas ketika akan digunakan. Dan jaminan yang tertulis berarti sertifikat.
Benih ikan dikatakan berkualitas bagus setelah memenuhikualifikasi tertentu. Lazimnya barang dagangan apakah dibakukan atau tidak semuanya memiliki kualifikasi yang diakui oleh masyarakat. Kalau masyarakat sudah percaya akan mutunya karena kualifikasinya memenuhi selera, otomatis akan menjadi dagangan yang laris.
Produsen akan mempertahankan mutu barangnya. Tetapi masyarakat konsumen toh tetap akan meminta jaminan akan mutu itu. Jaminan akan datang baik secara internal yaitu dari pihak produsen sendiri ataupun secara eksternal yakni dari pihak ketiga.
Memiliki Legislasi
Benih ikan bersertifikat saat sekarang sangat dibutuhkan dan mesti diberlakukan. Selain untuk mengantisipasi pasar global juga untuk melindungi konsumen benih. Pada dasarnya benih ikan bersertifikat sudah diatur sejak diterbitkannya Keputusan Menteri (Kepmen) PertanianPertanian nomor 26/kpts/OT.210/1/98 tentang Pedoman Pengembangan Perbenihan Perikanan Nasional, Kepmen Pertanian nomor 1042.1/kpts/IK.210/10/1999 tentang Sertifikasi dan Pengawasan Benih Ikan, Kepmen Kelautan dan Perikanan nomor 07/Men/2004 tentang Pengadaan dan Peredaran Benih Ikan,  Kepmen Kelautan dan Perikanan nomor 02/Men/2007 tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik,dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomorPer.24/Men/2008 tentang Jenis Ikan Baru yang Akan Dibudidayakan.
Dalam legislasi tersebut, yang dimaksud benih meliputi pengertian benih bina dan benih sebar karena benih berasal dari kedua induk (jantan dan betina) maka disebutkan pula pengertian, induk penjenis, induk dasar,dan induk pokok. Khusus untuk Jawa Barat(Jabar)keharusan benih ikan bersertifikat yang beredar di masyarakat tertuang dalam Peraturan GubernurJabar nomor 69/2011 tentang Peningkatan Produksi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan 2012.
Ada Konsekuensi
Telah ditetapkannya aturan perbenihan ikan maka seyogyanya para produsen benih untuk selalu berhati-hati berhadapan dengan konsumen benih. Sebab begitu benih jualannya itu sudah masuk kualifikasi “benih bina” (benih dari ikan yang telah dilepas/dirilis pemerintah), benihnya itu harus bersertifikat.
Peredaran benih kualifikasi benih bina itu harus melalui sertifikasi serta memenuhi standar mutu yang ditetapkan pemerintah dalam hal ini Badan Standardisasi Nasional (BSN). Barang siapa mengedarkan benih bina yang tidak sesuai dengan ketentuan kalau sengaja maka konsekuensinya akan dikenakan sanksi sesuai dengan amanat pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undangnomor 9/1985 tentang perikanan.
Bagaimana agar benih ikan bersertifikat? Sesuai keputusan/peraturan menteri tersebut bahwa benih ikan dihasilkan oleh para penangkar baik bersifat perorangan maupun badan usaha dan diharuskan memiliki izin usaha. Selanjutnya para penangkar ini mengajukan permohonan kepada instansi/lembaga yang sudah terakreditasi serta telah ditetapkan sebagai lembaga sertifikasi yang terdiri atas lembaga sertifikasi sistem mutu, sertifikasi produk, sertifikasi inspeksi teknis, sertifikasi personil,dan sertifikasi hasil uji.

Potensi Alga Sebagai Protein Alternatif

Mikro alga dapat menggantikan lebih dari sepertiga tepung kedelai pada ransum pakan ayam dan babi, dapat menjadi sumber protein alternatif bagi ternak dengan kandungan hingga 70 %
Alga kian jadi buah bibir. Berbagai lembaga penelitian dan perusahaan di Eropa dan Amerika Serikat seolah berlomba meneliti lebih jauh potensi tanaman laut yang kaya akan mineral, vitamin, protein, lemak, dan pigmen ini.
Bahkan perusahaan nutrisi ternak dan akuakultur Olmix yang berbasis di Perancis yakin bahwa alga merupakan solusi saat ini dan masa depan untuk kebutuhan bahan baku pakan. ”Alga merupakan revolusi biru untuk ilmu dan industri kimia yang berkelanjutan,” ungkap CEO Olmix, Herve Balusson saat membuka simposium perusahaannya tentang alga belumlama ini.
Balusson memaparkan, ada 3 jenis makro alga yang umum dikenal, yaitu ganggang coklat, merah, dan hijau. Warna ketiga makro alga ini ditentukan oleh pigmen penyusunnya. Makro alga mengandung berbagai mineral seperti potasium, fosfor, magnesium, kalsium, sodium, klorin, sulfur, besi, iodin, dan seng. Namun kandungan proteinnya tidak selalu tersedia, sebab terikat dengan fenol.
Ekstrak makro alga sejak 30 tahun lalu telah dimanfaatkan sebagai antibiotik, antioksidan, dan pigmen. Sementara kandungan polisakaridanya, seperti alginat dan karaginan banyak dijadikan sebagai bahan pengikat. Kata Balusson, yang terbaru dan jadi perhatian perusahaan-perusahaan nutrisi ternak adalah kandungan lemak dari makro alga yang merupakan sumber asam lemak omega 3.
Terkait Olmix, sejak 1995 Olmix telah memanfaatkan polisakarida dari ganggang hijau yang disebut ulvan pada produknya. Dari hasil penelitian Olmix, ulvan dapat meningkatkan kapasitas atau daya ikat dari montmorillonite clay (bahan pengikat mitotoksin) alami dengan cara melebarkan jarak antar ruang dari clay tersebut. Montmorillonite clay yang telah dikombinasi dengan ulvan secara nanoteknologi ini kemudian dipatenkan Olmix.
Masih dengan memanfaatkan polisakarida makro alga, khususnya MSP (Marine Sulfated Polysaccharide), Olmix juga menciptakan produk nutrasetika (perpaduan antara nutrisi dan farmasetika) untuk hewan ternak dan akuakultur. Produk ini merupakan kombinasi MSP dengan asam lemak, vitamin, asam amino, mineral, dan clay. Manfaatnya sebagai agen immunomodulasi, anti infeksi, dan mengatur kesehatan saluran pencernaan.
Diceritakan oleh Regional Manager Olmix, Guy Jaeckel, saat ini Olmix sedang menjalankan proyek riset terbaru yang diberi nama Ulvans. Proyek ini ditujukan untuk menemukan produk-produk baru asal alga dengan memanfaatkan teknologi hidrolisis enzimatik dan teknik separasi. Tidak hanya produk nutrisi ternak, tapi juga produk kesehatan ternak dan tumbuhan, serta produk penyubur tanah.
Mikro Alga
Yang tak kalah menarik bagi pelaku sektor nutrisi dan farmasetika adalah mikro alga. Namun jumlahnya yang beragam dan terbagi ke dalam banyak kelompok, membuat para peneliti memfokuskan pada beberapa spesies saja.
Seperti yang dilakukan oleh perusahaan nutrisi ternak dan akuakultur Alltech yang berbasis di Amerika Serikat. Perusahaan yang juga menaruh perhatian besar pada alga ini memfokuskan penelitiannya pada 4 spesies mikro alga: ArthrospiraChlorellaDunaliella, danHaematococcus.
James Pierce yang staf Alltech memaparkan, keempat spesies mikro alga tersebut. Arthrospira mengandung 55 % – 60 % protein kasar. Protein kasar Arthrospira ini memiliki nilai biologis yang tinggi dan sangat tahan panas. Kemudian, Chlorella yang mengandung protein hingga 45 %. Chlorella juga dapat menjadi sumber asam lemak omega 3 yang sangat baik.

Demam Ikan Hias Ukuran Kecil

Bisnis ikan ikan hias masih dibayangi kendala musiman, sehingga harga jual gampang jatuh dari tahun ke tahun
Tren ikan hias dunia saat ini telah bergeser. Ikan-ikan hias ukuran kecil seperti guppy dan rasbora galaxy, serta udang hias kian banyak digemari. Pasalnya memelihara ikan hias modelaquascapeberukuran mini sedang populer. Informasi ini disampaikan oleh Manajer Peta Aquarium, Ignatius Mulyadi kepada TROBOSAqua belum lama ini. 
Tren ikan hias ukuran kecil itu sebenarnya sudah terlihat sejak 6 tahun lalu, namun Mulyadi menyayangkan, ”Masih banyak produsen-produsen ikan hias lokal yang masih saja budidaya ikan hias ukuran besar. Padahal orang luar negeri sudah beralih semua ke ikan hias ukuran kecil.”
Dari tren ikan hias ukuran kecil itu, tutur Mulyadi, udang hias yang paling dicari-cari. ”Ada stok puluhan ribu ekor pun pasti habis dibeli eksportir,” ungkapnya. Udang hias yang dicari-cari itu adalah jenis red bee, black bee, dan golden. Jenis red bee dan black bee, harganya berkisar antara Rp 6.000 – Rp 6.500 per ekor ukuran 1,2 cm. Sementara jenis golden sekitar Rp 10.000 per ekor dengan ukuran yang sama.
Membudidayakan ketiga udang hias itu butuh ketelatenan, kata Mulyadi. Temperatur harus dikontrol pada kisaran 23 – 24 oC. Lalu pH di kisaran 7 – 7,2. Untuk pakan, bisa diberikan cacing darah beku, tetra bits, atau pelet udang. ”Bila suhu dan pH-nya tidak sesuai, pasti udang-udang itu akan mati. Sangat sensitif sekali,” ujarnya.
Meski permintaan tak terbatas, saat ini per bulan Peta Aquarium hanya mampu memproduksi udang hias sebanyak 10 ribuan ekor saja. Ini pun bukan hasil budidaya sendiri, tapi juga dipasok oleh 8 pembudidaya mitra yang bekerjasama dengan Peta Aquarium melalui model inti-plasma.
Tantangan
Usut boleh usut, ternyata Peta Aquarium merupakan pencipta ikan palmas jenis albino. Ikan palmas jenis baru ini berhasil diciptakan pada 2001. Namun sayangnya, ikan ciptaan Peta Aquarium ini malah menang juara 1 di kontes ikan hias di Aquarama atas nama orang Singapura.
”Ceritanya, ikan ini dipromosikan oleh orang Singapura, tapi tak disangka ia mengaku kalau ikan ini ciptaan dia. Untungnya di 2003, pada pameran yang sama, saya bawa induk ikan ini beserta foto-foto budidayanya lengkap. Dan akhirnya orang sedunia tahu bahwa Peta Aquarium-lah penciptanya,” tutur pria jebolan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor yang gemar menyilangkan jenis-jenis ikan hias ini.
Kejadian klaim oleh Singapura itu tidak terjadi sekali atau 2 kali saja, tapi berkali-kali pada para produsen ikan hias lokal. ”Singapura itu pintar memanfaatkan momentum. Dan pemerintahnya pun gencar melakukan promosi bila ditemukan jenis ikan hias baru,” kata Mulyadi. Karena itu, ia berharap agar pemerintah Indonesia juga melakukan hal yang serupa. Serta bantu memfasilitasi proses pengajuan paten dari ikan-ikan hias yang berhasil diciptakan agar tidak diklaim seenaknya oleh pihak asing.
Salahsatu masalah utama yang dihadapi oleh para produsen ikan hias lokal adalah harga yang gampang jatuh dari tahun ke tahun(musiman), menurut Mulyadi. Sebagai contoh, ikan palmas albino. Di 2001 harganya bercokol di angka Rp 50.000 per ekor, lalu naik menjadi Rp 250.000 per ekor dan bahkan di Jepang sempat menembus angka US$ 1.000per ekor. Tapi sungguh menyedihkan, sekarang ikan kreasi anak bangsa ini hanya dihargai sekitar Rp 2.000 – Rp 3.000 saja per ekor.
Contoh lain adalah pada udang hias jenis red bee. Pada awal kemunculannya, harga jual udang ini bisa menembus Rp 150.000 per ekor. Namun selang beberapa tahun saja, harganya langsung meluncur ke angka sekitar Rp 6.000per ekor.
Selain karena faktor banjirnya pasokan, menurut Mulyadi, gampang jatuhnya harga itu juga dikarenakan faktor ketidakkompakan para produsen dan eksportir. ”Saling banting harga,” cetusnya. Karena itu, Mulyadi berharap bila memang memungkinkan, agar pemerintah membuat harga patokan agar ketidakkompakan dan saling banting harga dapat dihindari, karena ada standar harga yang diacu oleh para produsen dan eksportir.

Pakan Ikan Ekonomis dari Limbah Pasar

Dari campuran bahan baku sisa pasar dapat dibuat pelet ikan dengan kandungan protein 30% dan harga hanya Rp 6.500/kg
Lisa Mudar bukanlah nama sesosok gadis jelita melainkan singkatan untuk pakan Limbah Pasar Murah dan Bergizi karya Priyandaru Agung E.T. Pria muda yang saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Brawijaya Malang tersebut,kini sedang giat mengintroduksi ramuan pakan temuannya ke para pembudidaya ikan air tawar. “Saya memang hobi melakukan survei-survei ke beberapa daerah sentra perikanan, ternyata ujung masalahnya sama, yaitu harga pakan yang terus naik,” tutur Ndaru, panggilan akrabnya kepada TROBOS Aqua.
Beberapa daerah di Jawa Timur mulai dari Banyuwangi hingga Gresik pernah Ndaru kunjungi. Mahasiswa angkatan 2008 itu lalu menyimpulkan bahwa memang harga pakanlah yang menjadi momok bagi para pembudidaya ikan. Situasi ini makin runyam tatkala mayoritas pembudidaya masih sangat tergantung pakan pabrikan.
Alhasil mereka harus menerima dengan lapang dada berapapun harga pakan dari pabrik. “Hal itulah yang memotivasi saya dan teman-teman dari FPIK untuk menciptakan formulasi pakan sendiri dengan bahan-bahan yang murah dan mudah didapat,” ujar pemuda asal Jember ini.
Kol dan Sawi
Setelah melalui berbagai pertimbangan matang, akhirnya Ndaru menjatuhkan pilihannya pada limbah pasar sebagai bahan pakan. Yaitu sisa-sisa kubis dan sawi yang sudah tidak laku. “Sisa kubis dan sawi bisa didapatkan secara gratis karena tidak terpakai lagi, kalaupun membeli harganya tidak lebih dari Rp 400 per kilogram,” katanya.
Untuk daerah Malang, dia biasa mendapatkan limbah sayur ini di Pasar Besar Kota Malang, Pasar Blimbing, Pasar Klojen,serta Pujon. Selain sisa kubis dan sawi, bahan lain untuk meracik Lisa Mudar adalah tepung ikan, tepung kedelai, serta dedak. Penggunaan bahan-bahan selain limbah dimaksudkan untuk mengatrol kandungan nutrisi lain yang tentu saja tidak bisa dicukupi dari limbah.
Sementara untuk meningkatkan kandungan protein, terlebih dahulu Ndaru memfermentasi sisa kubis dan sawi menggunakan Lactic Acid Bacteria (Bakteri Asam Lakta /BAL) sebagai starter. “Lisa Mudar ini kandungan proteinnya mencapai 30%, harganya hanya Rp 6.500 per kg. Murah kan?” ujarnya tersenyum.
Lelaki kelahiran 23 Februari 1990 ini membandingkan, dengan kandungan protein yang sama, harga pakan dari pabrik bisa tembus hingga Rp 12.000 per kg. “Ada pakan dari pabrik yang harganya sama, tapi kandungan proteinnya hanya 14%, bukan 30%,” jelasnya.
Selisih harga yang hampir dua kali lipat tersebut diharapkan mampu memberikan harapan kepada para pembudidaya bahwa ternyata masih ada pakan murah untuk ikannya. “Niatnya memang tidak hanya berwirausaha, melainkan juga ingin membantu para pembudidaya yang kerap mengeluhkan mahalnya harga pakan,” tutur Ndaru.
Di lapangan, Ndaru dan tim sering menemui kejadian-kejadian yang berseberangan dengan teori yang dia peroleh di kampus. Ia mencontohkan, ada beberapa pembudidaya lele yang memberikan pakan bentuk terapung untuk ikannya. Ketika ditanyakan, pemiliknya berujar bahwa dengan memberikan pakan terapung dia bisa tahu ikannya sudah makan atau belum. “Lele kan jenis ikan dasar, kalau diberi pakan jenis terapung, energi ikan akan terbuang untuk mengambil pakan ke permukaan, sehingga tidak optimal untuk pertumbuhan,” jelasnya setengah berteori.

Phytogenic untuk Efisiensi Pakan Akuakultur

Oleh:  Salman Haris Fuadi DVM*
Zat aktif yang terkandung dalam phytogenicdapat meningkatkan performa, terutama untuk menekan konversi pakandan meningkatkanbobot badan
Phytogenic merupakan kelompok Natural Growth Promotor (NGP) yang diperoleh dari herbal, rempah-rempah dan tumbuhan lain yang terdiri dari ekstrak tanaman, minyak esensial,dan zat aktif lainnya. Substansi phytogenic telah dikenal dan dipergunakan sejak ribuan tahun yang lalu oleh bangsa Mesir kuno dan Cina untuk tujuan pengobatan maupun penggunaan sehari-hari sebagai penyedap makanan.
Substansi derivat  tumbuhan yang juga dikenal sebagai phytogenicini memiliki sejumlah kegunaan antara lain sebagai penambah rasa (flavouring), anti oksidan, anti jamur, anti viral, anti bakterial, antidepresan, serta memodulasi imun dan fisiologis. Semua hal ini penting bagi peningkatan performa pada hewan (gambar 1).
Salah satu keunikan PFA(Phytogenic Feed Additive)adalah kemampuannya sebagai penambah rasa (flavouring) pada pakan. Rasa pakan melibatkan respon fisiologis yang komplit terhadap hewan, yaitu kombinasi dari rasa yang berhubungan dengan reseptor di rongga mulut dan aroma yang berhubungan dengan indra penciuman. Respon ini berbeda-beda pada masing-masing spesies hewan karena adanya perbedaan jumlah sensor perasa pada tiap-tiap spesies (tabel 1).
Sejak satu dekade yang lalu, para peneliti telah menguji beberapa penggunaan phytogenicseperti tanaman aromatik (jahe, kunyit, ketumbar),  bahan-bahan herbal (berasal dari akar, daun, atau kulit kayu), minyak esensial (yang diperoleh dari proses penguapan hidro-destilasi komponen tanaman),maupun Oleoresin (hasil dari ekstrak tanaman yang tidak larut air) untuk ditambahkan pada pakan hewan sebagai PFA.
Bahan aktif yang terkandung dalam PFA ini diketahui dapat meningkatkan pertumbuhan, kecernaan nutrisi,dan kesehatan usus.Dengan demikian dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi pada produksi ternak (Ahmed Aufy dan Tobias Steiner, 2012).
Meningkatkan Bobot 
Penggunaan minyak esensial berhubungan dengan peningkatan performa dan kesehatan pada hewan ternak. Pada penelitian dengan menggunakan channel catfish, penambahan produk yang mengandung  minyak esensial pada pakan dapat meningkatkan asupan pakan dan bobot badan ikan dibandingkan dengan kelompok kontrol tanpa PFA(tabel 2).
Dari hasil penelitian tersebut, ikan-ikan kelompok perlakuan dengan minyak esensial mencapai bobot badan yang lebih baik (76.9 ± 20 vs 53.4 ± 3.2 g/ekor) daripada kelompok kontrol dan memiliki Specific Growth Rate lebih baik pula (1.8 ± 0.1 vs 1.5 ± 0.1). Selain itu, asupan pakan juga meningkat (104.3 ± 3.6 vs 79.6 ± 3.0 g/ekor) dikarenakan ada peningkatan palatibilitas pakan tersebut. Terdapat penurunan FCR (1.36 vs 1.51) pada ikan yang diberi perlakuan minyak esensial, meskipun tidak terlalu signifikan (P>0.05)  (Brian C. Petterson, 2011)

Vaksinasi Vibrio Dongkrak Produksi Kerapu

Vaksin vibrio polivalen mampu dongkrak SR kerapu 10 - 15 % dan tingkatkan bobot ikan 20 - 30 %, sayang aplikasinya di lapangan masih sulit bagi pembudidaya
Salah satu penyakit utama yang menyerang ikan kerapu adalah vibriosis. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri patogen Vibrio alginolyticus ini merugikan industri budidaya ikan kerapu karena dapat menyebabkan kematian, bahkan mortalitas (tingkat kematian) dapat mencapai 100 %.
Ketua Forum Komunikasi Kerapu Lampung, Mulia Bangun Sitepu pun membenarkan, beberapa waktu lalu vibriosis kembali banyak ditemukan di seputar Pantai Mutun dan perairan wilayah Ringgung, Lampung. ”Banyak menyerang ikan kerapu ukuran besar dan aktif,” jelasnya. Ditambahkan dia, penyakit pada ikan kerapu ini masih bersifat klasik, dicirikan dengan adanya borok pada pangkal strip ekor dan warna merah pada mulut.
Sementara itu, dimintai keterangannya Yani Lestari Nur’aini perekayasa Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo, Jawa Timur mengatakan, kejadian vibriosis dapat dicegah dengan melakukan perbaikan lingkungan, memutus sumber infeksi, dan penggunaan benih bebas virus. “Sementara secara internal individu ikan, perlu ditingkatkan daya tahan tubuh melalui perbaikan nutrisi dan peningkatan imunitas,” imbuh dia.
Peningkatan imunitas ikan, lanjut Yani, salah satunya dengan penggunaan vaksin (lebih tepatnya bakterin). Dikatakan Yani, vaksinasi pada ikan akan mampu meningkatkan produksi yang ditunjukkan dengan terdongkraknya Survival Rate/SR (tingkat hidup) dan Grow Rate/GR (laju pertumbuhan). Disamping itu, meningkatkan keamanan konsumen dan keamanan lingkungan. “Dari hasil uji lapang dan informasi pembudidaya ikan di Situbondo, vaksin vibrio polivalen dapat meningkatkan SR 10 - 15 % dan terjadi kenaikan bobot ikan sebesar 20 - 30 %,” jelasnya.
Masih menurut Yani, untuk segmen pembenihan, keuntungan secara ekonomi yang bisa diperoleh dari vaksinasi antara lain dapat meningkatkan berat benih sampai 38 %. Ia menyebutkan, vaksin vibrio yang sudah beredar di lapangan adalah vaksin vibrio polivalen buatan Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Produk ini sudah dipatenkan dan pemasarannya bekerjasama dengan sebuah perusahaan swasta. “Harganya masih terjangkau, maksudnya sepadan dengan harga ikan kerapu yang tinggi,” tambah Yani.

Aplikasi
Diterangkan Yani, penggunaanvaksinasi dilakukan pada berbagai fase sesuai umur ikan. Semisal, calon induk yang telah divaksinasiperlu dilakukan pengulangan (booster) pada hari ke 7, dan setelah itu divaksin ulang setiap 2 - 3 bulan. Selain divaksin  2 - 3 bulan sekali dalam pemeliharaan, induk juga idealnya divaksin 4 minggu sebelum dipijahkan dan booster pada 3 minggu sebelum dipijahkan.
Sedangkan untuk benih ukuran < 6 cm, aplikasi vaksinasi dengan cara perendaman (dipping). Ukuran sekitar 7 - 10 cm divaksin dengan injeksi, 1 minggu kemudian di-booster, 1 minggu kemudian (minimal) baru ditebar atau dijual. “Untuk pembesaran di KJA (Keramba Jaring Apung-red) dilakukan vaksinasi ulang setiap 2 - 3 bulan,” jelas dokter hewan lulusan UGM ini.
Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Budidaya Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Slamet Soebjakto mengatakan,penggunaan vaksin bisa mengurangi kematian dan meningkatkan pertumbuhan. Salah satu indikasi vaksin itu berfungsi pada tubuh ikan adalah nafsu makan bertambah. “Itu dampak sekunder dari vaksin selain utamanya mencegah serangan penyakit,” ungkap pria yang pernah menjabat Kepala BBAP Situbondo ini.

Teaching Factory ala Institut Kelautan Perikanan

Sistem teaching factory akan mendukung pola pendidikan vokasi yang diarahkan pada penguasaan keahlian tertentu
Demi membekali masyarakat agar siap terjun di lingkungan dengantuntutan kompetensi pekerjaannya kian tinggi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)mengambil langkah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Hal itu ditempuh melalui pendidikan, menanamkan jiwa wirausaha di setiap jenjang dan tingkat pendidikan serta berusaha memperluas lapangan kerja.
Sutardjo Konsep yang diterapkan salah satunya dengan teaching factory yang mulanya dikembangkan dari sekolah kejuruan menjadi model sekolah produksi. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif CicipSutardjo, mengatakan, sistem teaching factory akan mendukung pola pendidikan vokasi yang diarahkan pada penguasaan keahlian tertentu.
Ia menjelaskan, dalam hal ini unit pendidikan yang melaksanakannya diharuskan mempunyai sebuah unit usaha atau unit produksi sebagai tempat untuk pembelajaran siswa. Di situ, siswa secara langsung melakukan praktik dengan memproduksi barang atau jasa yang mampu dijual ke konsumen.
Lebih lanjut Sharif mengatakan, pada era globalisasi, negara dengan kualitas SDM yang begitu tinggi,Hal inilah yang diharapkan menjadioutput SDM kelautan dan perikanan nantinya. “Dengan basis teaching factory ini pengajaran akan lebih mengarah ke 70% praktik dan 30% teori. Sehingga ketika terjun ke dunia kerja, para lulusan yang sudah terbiasa dalam praktik kerja ini nantinya bisa langsung mendapatkan lapangan pekerjaan atau menjadi pengusaha untuk membangun perekonomian kelautan dan perikanan,” ujarnya.
Tingkatkan Status
Konsep inilah yang kemudian diterapkan di Sekolah Tinggi Perikanan (STP) untuk mendukung industrialisasi kelautan dan perikanan. Dijelaskan Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPSDMKP), Sjarief Widjaja, STP ditingkatkan statusnya menjadi Institut Kelautan dan Perikanan Nasional (IKPN) agar bisa memenuhi standar sertifikasi dunia industri, serta untuk menopang keberhasilan industrialisasi kelautan dan perikanan.
Sjarief mengatakan, untuk itu kampus ini akan mengadopsi sistem vokasi bertaraf internasional pada jenjang diploma, magister sains terapan dan doktor sains terapan.Kesiapan yang diharapkan dari STP adalah membuat mekanisme paralel. Dari pihak BPSDMKP mengajukan perizinan dan sebagainya, serta dari bagian internal KKP lain melakukan penguatan.
Salah satunya yakni mengundang para mitra dari industri untuk membuat program bersama. “Misalkan untuk bidang bioteknologi, saya mintakan mereka datang ke sini untuk membuat pabrik mini bioteknologi. Jadi sistemnya menjadi reverse engineering yang meminta mereka bekerja dulu di lapangan, improvisasi dulu, setelah itu kita tarik teorinya,” jelas Sjarief.
Pengembangan Kampus
Sjarief menjelaskan, kampus ini berdiri di luasan kawasan 15,3 ha yang merupakan hibah dari pemerintah Kabupaten Karawang. Pembangunannya berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dari   2011-2014 sebesar Rp 30-35 miliar. Pembangunan kampus akan dibagi ke dalam 3 tahap, yakni tahap pertama pada 2012 ini berupa pembangunan gedung administrasi, 2 gedung teaching factory pengolahan dan permesinan perikanan. Masing-masing bangunan seluas 8.000 m2.
Lanjut Sjarief, untuk kegiatan budidaya, peralatan sudah diadakan sejak 2011 melalui APBN Plus. Teaching factory untuk budidaya ini merupakan kawasan budidaya seluas 2 ha yang memiliki tambak intensif serta dilengkapi hatchery dan laboratorium ikan.Juga 1 gedung asrama mahasiswa (terdiri atas 3) lantai yang pada tahun ini disiapkan untuk menampung 284 taruna. Dan diharapkan akan dilanjutkan hingga 3 bangunan asrama selanjutnya.
Kemudian tahap ke dua pada2013 akan dibangun pintu gerbang, gedung rektorat, fasilitas pendukung budidaya serta gedung sebaguna. Tak lupa pula fasilitas ibadah seperti masjid mulai dibangun. Dan tahap terakhir pada 2014, akan melengkapi fasilitas ibadah, gedung serbaguna, fasilitas pendukung perikanan tangkap seperti simulator navigasi kelautan, fishing gear room,fasilitas Basic Safety Training(BST), kolam, serta perumahan para pembina.

Menyulap Tambang Pasir Jadi Kampung Vannamei


Puluhan hektar lahan bekas galian tambang pasir yang identik dengan bencana lingkungan diubah menjadi tambak Kampung Vannamei
Perjalanan nyaris 4 jam dari jembatan Suramadu menyusuri Pantai Selatan Madura, mengantar TROBOS Aqua sampai ke Kampung Talangsiring Desa Montok Kabupaten Pamekasan. “Lahan ini, 5 tahun lalu masih berupa kubangan bekas tambang pasir. Selama 15 tahun lahan seluas 30 ha ini mangkrak tak menghasilkan apa-apa,” kata Nonot Tri Waluyo,  General Manager Shrimp FeedCP Prima – Surabaya.
Seturunnya dari kendaraan disambut riuh mesin diesel penggerak kincir rangkai yang memberi napas si bongkok putih yang tersebar di 18 petakan milih HM Ihsan Abdullah.“Saya ini mantan penambang pasir. Dulu saya dan kawan-kawan yang mengeruk tanah di sini. Setelah jadi kubangan, bingung mau dibuat apa,” tutur Ihsan. Penambangan pasir di atas lahan 15 ha yang dibeli secara patungan itu dilakukannya dengan alat berat.
Mulai Bertambak
Menurut Ihsan, setelah penambangan pasir berhenti ia pernah menebari kubangan itu dengan ikan nila dan gurami, namun ia kurang puas. Padahal ia butuh usaha baru menggantikan pertambangan pasir.  Pada 2007 lalu ia bertemu dengan personil PT CPP yang membawa program Kampung Vannamei (Kave). “Saya diajari bertambak di dua petak lahan bekas kubangan. Luasnya 5.000 m2,dengan sistem tradisional plus. Padahal saya belum tahu sama sekali cara bertambak,” urainya.
Hanya berbekal dua buah pompa balik, lahan ditebari benur dengan kepadatan 20 ekor/m2. “Umur 70 hari pada ngambang,” kisahnya. Untuk menyelamatkan, Ihsan mencopot gardan mobil angkutan pakannya untuk dijadikan kincir rangkai. Saat itu iaberhasil panen 1 ton udang size 70 (ekor/kg).
Setelah tambak berkembang, seketika harga tanah di kawasan ini melonjak drastis. “Dulu tanah setara tambak sepetak hanya dibeli dengan satu-dua becak. Sekarang sudah puluhan bahkan ratusan juta,” ungkap Ihsan.
Satu desa dengan Ihsan, terhitung lebih ‘nekat’ H Muhyianto terhitung lebih ‘nekat’. Lubang bekas kerukan pasir di samping rumahnya yang cukup jauh dari Pantai disulapnya menjadi 2 petak tambak dan satu tandon. “Total habis Rp 140 juta untuk meratakan dasar, membuat tanggul dan membeli kincir. Tapi dalam 2 - 3 kali panen sudah balik modal,” ungkapnya. Sukses dengan 2 petakan itu, Muhyi membuka lagi 3 petak lahan di eks galian pasir 1 ha milik kawannya. Petakan ini dijalankan dengan sistem bagi hasil, pemilik lahan mendapat bagian 12,5%.
Jadi Kave
Setelah bertambak tradisional plus selama 1,5 tahun dan merasakan keuntungan bertambak vanamei, Ihsan membuka 7 petakan. Saat itu ia ‘naik kelas’ dengan menerapkan sistem semi intensif dengan padat tebar 60 – 80 ekor/m2.
Waktu masih awal bertambak semi intensif itu, Ihsan mengaku pernah menebar vanamei dengan kepadatan 100 ekor/m2. Walaupun, kata Ihsan, sekarang ia kembali ke padat tebar 60 – 80 ekor/m2. “Di sini sudah menjadi kawasan tambak karena banyak yang mengikuti saya. Sehingga air lautnya sudah lebih jenuh karena bukan teluk, meski masih sangat layak untuk budidaya. Sifatnya jaga ekosistem saja,” paparnya.
Menurut Nonot, keberhasilan Ihsan banting setir dari penambang pasir menjadi petambak udang memang membuat pemilik lahan bekas tambang pasir mengikuti jejaknya. “Kawasan ini sekarang masuk program Kave,” sebut Nonot.
Menutup pembicaraan, Nonot berkisah, dulu orang tidak menyangka di Pamekasan akan berkembang kawasan tambak. Apalagi membayangkan lingkungan rusak karena tambang pasir bisa berubah drastis menjadi lahan produktif. Di daerah lain, Kave terus ngopeni(mendampingi) petambak sekecil apapun skalanya. “Yang penting, ada petambaknya dan usahanya berjalan dulu. Kita dampingi sampai ‘naik kelas’, dan terus didampingi,” ungkap Nonot.
Lele hibrida hasil persilangan 7 strain asal beberapa negara, digadang jadi benih unggul
Lele masamo, sebagian menduga nama tersebut adalah akronim dari Matahari Sakti Mojokerto. Tetapi Fauzul Mubin, Technical Support and Hatchery Manager PT Matahari Sakti membantah itu. “Bukan. Itu hanya nama yang mengandung hoky dan nama yang bagus saja,” terangnya sambil tersenyum lebar.
Lele produk dari PT Matahari Sakti (MS) ini disebut-sebut memiliki keunggulan ketimbang jenis lain yang sudah beredar lebih dahulu. Saking santernya kabar tersebut, sampai-sampai belakangan muncul pihak-pihak yang mengaku-aku sedia induk dan benih masamo. Padahal, MS hanya mendistribusikannya terbatas di jaringan mitra internal perusahaan.
Mubin menyatakan, lele masamo yang beredar sekarang masih generasi pertama, dan direncanakan November 2013 akan dirilis generasi kedua.
Genetik Masamo
Dijelaskan Mubin, lele masamo merupakan hasil pengumpulan sifat berbagai plasma nutfah lele dari beberapa negara. Antara lain, lele asli Afrika, lele Afrika yang diadaptasi di Asia, Clarias macrocephalus/bighead catfish yang merupakan lele Afrika dan di kohabitasi di Thailand, dan lele dumbo (brown catfish). “Total ada 7 strain lele,” ungkapnya.
Lele Afrika, papar Mubin, terkenal kecepatan tumbuh dan ketahanan tubuh yang tinggi. Sedangkan lele Afrika yang telah mengalami kohabitasi domestik di Asia/Asia Tenggara memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan dan tahan terhadap penyakit lokal. Selain itu ada juga strain yang memiliki produktivitas telur tinggi (spawning rate) dan ada yang efisien pakan.
Dipastikan Mubin, benih sebar yang diperuntukkan bagi budidaya pembesaran konsumsi – atau yang umum disebut Final Stock (FS) — dari breeding Masamo, memiliki sifat bertubuh besar, rakus makan tapi tetap efisien, keseragaman tinggi, stress tolerance tinggi, ketahanan penyakit tinggi, dan sifat kanibal rendah. Untuk sifat induk atau Parent Stock (PS) ditambah dengan spawning rate yang tinggi.
Hatchery (penetasan) Masamo di Pasuruan, sebut Mubin, mampu memproduksi induk PS masamo 6.000 – 10.000 ekor per tahun. PS dilepas dengan harga Rp 100.000 – Rp 300.000 per ekor, tergantung jauh-dekatnya lokasi pembeli. Mubin mengakui harga calon induk masamo 2 – 4 kali lebih mahal dibanding induk lele jenis lain.
Sementara Final Stock, dikatakan Maylana Nurrma Diyanto, Technical Support  and Marketing Supervisor PT Matahari Sakti, permintaan yang masuk ke hatchery PT MS mencapai 5 juta ekor per bulan. Pada April 2013, imbuh dia, benih size (ukuran) 4 cm diperdagangkan seharga Rp 70 tiap ekornya, dan Rp 90 untuk yang 5 cm.
Ciri dan Sifat
Lele masamo memiliki ciri khas fisik cukup berbeda dengan lele dumbo atau lele lain yang lebih dulu beredar. Dijelaskan Maylana, kepala lele Masamo lebih lonjong, menyerupai sepatu pantofel model lama. Sirip (patil) lebih tajam, badan lebih panjang dan berwarna kehitaman. Ketika stres, muncul warna keputih-putihan atau keabu-abuan.
Lebih detil, Danang Setianto menggambarkan, terdapat bintik seperti tahi lalat di sekujur tubuh masamo yang berukuran besar, memiliki tonjolan di tengkuk kepala, serta bentuk kepala lebih runcing. “Pada induk, tonjolan di tengkuk terlihat nyata. Sangat berbeda dengan induk jenis lain, sehingga tak mungkin dipalsukan,” ungkapnya.
Tetapi saat masih berukuran benih, secara fisik masamo susah dibedakan dengan benih lele varietas lain. “Bedanya pada sifat. Masamo lebih agresif dan nafsu makan kuat. Sehingga jika manajemen pakan tidak bagus bisa berakibat kanibalisme,” papar Danang. Karena itu Danang hanya memasarkan benih Masamo kepada pembudidaya pembesaran yang serius, bukan yang tradisional.
Sifat Kanibal
Mubin mengistilahkan era kanibalisme tinggi pada masamo sudah lewat. “Dulu, waktu generasi awal sekali, sebelum yang generasi I itu memang iya. Pada generasi 1 sudah jauh berkurang  sifat kanibal itu,” tegasnya.  Mubin telah  melakukan uji keseragaman ukuran anakan di hari ke-40 pemeliharaan. Hasilnya, keseragaman akhir normal. Keseragaman akan njomplang jika kanibalisme tinggi, karena ada lele dominan yang memakan lele lain.
Diberdayakan oleh Blogger.