Sabtu, 15 Juni 2013

Pentingnya Benih Ikan Bersertifikat

Oleh: Muh. Husen*
Keberhasilan bisnis perikanan budidaya (akuakultur) tidak lepas dari ketersediaan benih ikan. Sebab benih adalah awal dari suatu proses budidaya. Karena itu kualitas benih harus benar-benar bagus. Dengan kata lain, mutlak diperlukan suatu jaminan yang menyatakan bahwa kondisi benih suatu ikan sesuai standar benih yang berkualitas ketika akan digunakan. Dan jaminan yang tertulis berarti sertifikat.
Benih ikan dikatakan berkualitas bagus setelah memenuhikualifikasi tertentu. Lazimnya barang dagangan apakah dibakukan atau tidak semuanya memiliki kualifikasi yang diakui oleh masyarakat. Kalau masyarakat sudah percaya akan mutunya karena kualifikasinya memenuhi selera, otomatis akan menjadi dagangan yang laris.
Produsen akan mempertahankan mutu barangnya. Tetapi masyarakat konsumen toh tetap akan meminta jaminan akan mutu itu. Jaminan akan datang baik secara internal yaitu dari pihak produsen sendiri ataupun secara eksternal yakni dari pihak ketiga.
Memiliki Legislasi
Benih ikan bersertifikat saat sekarang sangat dibutuhkan dan mesti diberlakukan. Selain untuk mengantisipasi pasar global juga untuk melindungi konsumen benih. Pada dasarnya benih ikan bersertifikat sudah diatur sejak diterbitkannya Keputusan Menteri (Kepmen) PertanianPertanian nomor 26/kpts/OT.210/1/98 tentang Pedoman Pengembangan Perbenihan Perikanan Nasional, Kepmen Pertanian nomor 1042.1/kpts/IK.210/10/1999 tentang Sertifikasi dan Pengawasan Benih Ikan, Kepmen Kelautan dan Perikanan nomor 07/Men/2004 tentang Pengadaan dan Peredaran Benih Ikan,  Kepmen Kelautan dan Perikanan nomor 02/Men/2007 tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik,dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomorPer.24/Men/2008 tentang Jenis Ikan Baru yang Akan Dibudidayakan.
Dalam legislasi tersebut, yang dimaksud benih meliputi pengertian benih bina dan benih sebar karena benih berasal dari kedua induk (jantan dan betina) maka disebutkan pula pengertian, induk penjenis, induk dasar,dan induk pokok. Khusus untuk Jawa Barat(Jabar)keharusan benih ikan bersertifikat yang beredar di masyarakat tertuang dalam Peraturan GubernurJabar nomor 69/2011 tentang Peningkatan Produksi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan 2012.
Ada Konsekuensi
Telah ditetapkannya aturan perbenihan ikan maka seyogyanya para produsen benih untuk selalu berhati-hati berhadapan dengan konsumen benih. Sebab begitu benih jualannya itu sudah masuk kualifikasi “benih bina” (benih dari ikan yang telah dilepas/dirilis pemerintah), benihnya itu harus bersertifikat.
Peredaran benih kualifikasi benih bina itu harus melalui sertifikasi serta memenuhi standar mutu yang ditetapkan pemerintah dalam hal ini Badan Standardisasi Nasional (BSN). Barang siapa mengedarkan benih bina yang tidak sesuai dengan ketentuan kalau sengaja maka konsekuensinya akan dikenakan sanksi sesuai dengan amanat pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undangnomor 9/1985 tentang perikanan.
Bagaimana agar benih ikan bersertifikat? Sesuai keputusan/peraturan menteri tersebut bahwa benih ikan dihasilkan oleh para penangkar baik bersifat perorangan maupun badan usaha dan diharuskan memiliki izin usaha. Selanjutnya para penangkar ini mengajukan permohonan kepada instansi/lembaga yang sudah terakreditasi serta telah ditetapkan sebagai lembaga sertifikasi yang terdiri atas lembaga sertifikasi sistem mutu, sertifikasi produk, sertifikasi inspeksi teknis, sertifikasi personil,dan sertifikasi hasil uji.

Potensi Alga Sebagai Protein Alternatif

Mikro alga dapat menggantikan lebih dari sepertiga tepung kedelai pada ransum pakan ayam dan babi, dapat menjadi sumber protein alternatif bagi ternak dengan kandungan hingga 70 %
Alga kian jadi buah bibir. Berbagai lembaga penelitian dan perusahaan di Eropa dan Amerika Serikat seolah berlomba meneliti lebih jauh potensi tanaman laut yang kaya akan mineral, vitamin, protein, lemak, dan pigmen ini.
Bahkan perusahaan nutrisi ternak dan akuakultur Olmix yang berbasis di Perancis yakin bahwa alga merupakan solusi saat ini dan masa depan untuk kebutuhan bahan baku pakan. ”Alga merupakan revolusi biru untuk ilmu dan industri kimia yang berkelanjutan,” ungkap CEO Olmix, Herve Balusson saat membuka simposium perusahaannya tentang alga belumlama ini.
Balusson memaparkan, ada 3 jenis makro alga yang umum dikenal, yaitu ganggang coklat, merah, dan hijau. Warna ketiga makro alga ini ditentukan oleh pigmen penyusunnya. Makro alga mengandung berbagai mineral seperti potasium, fosfor, magnesium, kalsium, sodium, klorin, sulfur, besi, iodin, dan seng. Namun kandungan proteinnya tidak selalu tersedia, sebab terikat dengan fenol.
Ekstrak makro alga sejak 30 tahun lalu telah dimanfaatkan sebagai antibiotik, antioksidan, dan pigmen. Sementara kandungan polisakaridanya, seperti alginat dan karaginan banyak dijadikan sebagai bahan pengikat. Kata Balusson, yang terbaru dan jadi perhatian perusahaan-perusahaan nutrisi ternak adalah kandungan lemak dari makro alga yang merupakan sumber asam lemak omega 3.
Terkait Olmix, sejak 1995 Olmix telah memanfaatkan polisakarida dari ganggang hijau yang disebut ulvan pada produknya. Dari hasil penelitian Olmix, ulvan dapat meningkatkan kapasitas atau daya ikat dari montmorillonite clay (bahan pengikat mitotoksin) alami dengan cara melebarkan jarak antar ruang dari clay tersebut. Montmorillonite clay yang telah dikombinasi dengan ulvan secara nanoteknologi ini kemudian dipatenkan Olmix.
Masih dengan memanfaatkan polisakarida makro alga, khususnya MSP (Marine Sulfated Polysaccharide), Olmix juga menciptakan produk nutrasetika (perpaduan antara nutrisi dan farmasetika) untuk hewan ternak dan akuakultur. Produk ini merupakan kombinasi MSP dengan asam lemak, vitamin, asam amino, mineral, dan clay. Manfaatnya sebagai agen immunomodulasi, anti infeksi, dan mengatur kesehatan saluran pencernaan.
Diceritakan oleh Regional Manager Olmix, Guy Jaeckel, saat ini Olmix sedang menjalankan proyek riset terbaru yang diberi nama Ulvans. Proyek ini ditujukan untuk menemukan produk-produk baru asal alga dengan memanfaatkan teknologi hidrolisis enzimatik dan teknik separasi. Tidak hanya produk nutrisi ternak, tapi juga produk kesehatan ternak dan tumbuhan, serta produk penyubur tanah.
Mikro Alga
Yang tak kalah menarik bagi pelaku sektor nutrisi dan farmasetika adalah mikro alga. Namun jumlahnya yang beragam dan terbagi ke dalam banyak kelompok, membuat para peneliti memfokuskan pada beberapa spesies saja.
Seperti yang dilakukan oleh perusahaan nutrisi ternak dan akuakultur Alltech yang berbasis di Amerika Serikat. Perusahaan yang juga menaruh perhatian besar pada alga ini memfokuskan penelitiannya pada 4 spesies mikro alga: ArthrospiraChlorellaDunaliella, danHaematococcus.
James Pierce yang staf Alltech memaparkan, keempat spesies mikro alga tersebut. Arthrospira mengandung 55 % – 60 % protein kasar. Protein kasar Arthrospira ini memiliki nilai biologis yang tinggi dan sangat tahan panas. Kemudian, Chlorella yang mengandung protein hingga 45 %. Chlorella juga dapat menjadi sumber asam lemak omega 3 yang sangat baik.

Demam Ikan Hias Ukuran Kecil

Bisnis ikan ikan hias masih dibayangi kendala musiman, sehingga harga jual gampang jatuh dari tahun ke tahun
Tren ikan hias dunia saat ini telah bergeser. Ikan-ikan hias ukuran kecil seperti guppy dan rasbora galaxy, serta udang hias kian banyak digemari. Pasalnya memelihara ikan hias modelaquascapeberukuran mini sedang populer. Informasi ini disampaikan oleh Manajer Peta Aquarium, Ignatius Mulyadi kepada TROBOSAqua belum lama ini. 
Tren ikan hias ukuran kecil itu sebenarnya sudah terlihat sejak 6 tahun lalu, namun Mulyadi menyayangkan, ”Masih banyak produsen-produsen ikan hias lokal yang masih saja budidaya ikan hias ukuran besar. Padahal orang luar negeri sudah beralih semua ke ikan hias ukuran kecil.”
Dari tren ikan hias ukuran kecil itu, tutur Mulyadi, udang hias yang paling dicari-cari. ”Ada stok puluhan ribu ekor pun pasti habis dibeli eksportir,” ungkapnya. Udang hias yang dicari-cari itu adalah jenis red bee, black bee, dan golden. Jenis red bee dan black bee, harganya berkisar antara Rp 6.000 – Rp 6.500 per ekor ukuran 1,2 cm. Sementara jenis golden sekitar Rp 10.000 per ekor dengan ukuran yang sama.
Membudidayakan ketiga udang hias itu butuh ketelatenan, kata Mulyadi. Temperatur harus dikontrol pada kisaran 23 – 24 oC. Lalu pH di kisaran 7 – 7,2. Untuk pakan, bisa diberikan cacing darah beku, tetra bits, atau pelet udang. ”Bila suhu dan pH-nya tidak sesuai, pasti udang-udang itu akan mati. Sangat sensitif sekali,” ujarnya.
Meski permintaan tak terbatas, saat ini per bulan Peta Aquarium hanya mampu memproduksi udang hias sebanyak 10 ribuan ekor saja. Ini pun bukan hasil budidaya sendiri, tapi juga dipasok oleh 8 pembudidaya mitra yang bekerjasama dengan Peta Aquarium melalui model inti-plasma.
Tantangan
Usut boleh usut, ternyata Peta Aquarium merupakan pencipta ikan palmas jenis albino. Ikan palmas jenis baru ini berhasil diciptakan pada 2001. Namun sayangnya, ikan ciptaan Peta Aquarium ini malah menang juara 1 di kontes ikan hias di Aquarama atas nama orang Singapura.
”Ceritanya, ikan ini dipromosikan oleh orang Singapura, tapi tak disangka ia mengaku kalau ikan ini ciptaan dia. Untungnya di 2003, pada pameran yang sama, saya bawa induk ikan ini beserta foto-foto budidayanya lengkap. Dan akhirnya orang sedunia tahu bahwa Peta Aquarium-lah penciptanya,” tutur pria jebolan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor yang gemar menyilangkan jenis-jenis ikan hias ini.
Kejadian klaim oleh Singapura itu tidak terjadi sekali atau 2 kali saja, tapi berkali-kali pada para produsen ikan hias lokal. ”Singapura itu pintar memanfaatkan momentum. Dan pemerintahnya pun gencar melakukan promosi bila ditemukan jenis ikan hias baru,” kata Mulyadi. Karena itu, ia berharap agar pemerintah Indonesia juga melakukan hal yang serupa. Serta bantu memfasilitasi proses pengajuan paten dari ikan-ikan hias yang berhasil diciptakan agar tidak diklaim seenaknya oleh pihak asing.
Salahsatu masalah utama yang dihadapi oleh para produsen ikan hias lokal adalah harga yang gampang jatuh dari tahun ke tahun(musiman), menurut Mulyadi. Sebagai contoh, ikan palmas albino. Di 2001 harganya bercokol di angka Rp 50.000 per ekor, lalu naik menjadi Rp 250.000 per ekor dan bahkan di Jepang sempat menembus angka US$ 1.000per ekor. Tapi sungguh menyedihkan, sekarang ikan kreasi anak bangsa ini hanya dihargai sekitar Rp 2.000 – Rp 3.000 saja per ekor.
Contoh lain adalah pada udang hias jenis red bee. Pada awal kemunculannya, harga jual udang ini bisa menembus Rp 150.000 per ekor. Namun selang beberapa tahun saja, harganya langsung meluncur ke angka sekitar Rp 6.000per ekor.
Selain karena faktor banjirnya pasokan, menurut Mulyadi, gampang jatuhnya harga itu juga dikarenakan faktor ketidakkompakan para produsen dan eksportir. ”Saling banting harga,” cetusnya. Karena itu, Mulyadi berharap bila memang memungkinkan, agar pemerintah membuat harga patokan agar ketidakkompakan dan saling banting harga dapat dihindari, karena ada standar harga yang diacu oleh para produsen dan eksportir.

Pakan Ikan Ekonomis dari Limbah Pasar

Dari campuran bahan baku sisa pasar dapat dibuat pelet ikan dengan kandungan protein 30% dan harga hanya Rp 6.500/kg
Lisa Mudar bukanlah nama sesosok gadis jelita melainkan singkatan untuk pakan Limbah Pasar Murah dan Bergizi karya Priyandaru Agung E.T. Pria muda yang saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Brawijaya Malang tersebut,kini sedang giat mengintroduksi ramuan pakan temuannya ke para pembudidaya ikan air tawar. “Saya memang hobi melakukan survei-survei ke beberapa daerah sentra perikanan, ternyata ujung masalahnya sama, yaitu harga pakan yang terus naik,” tutur Ndaru, panggilan akrabnya kepada TROBOS Aqua.
Beberapa daerah di Jawa Timur mulai dari Banyuwangi hingga Gresik pernah Ndaru kunjungi. Mahasiswa angkatan 2008 itu lalu menyimpulkan bahwa memang harga pakanlah yang menjadi momok bagi para pembudidaya ikan. Situasi ini makin runyam tatkala mayoritas pembudidaya masih sangat tergantung pakan pabrikan.
Alhasil mereka harus menerima dengan lapang dada berapapun harga pakan dari pabrik. “Hal itulah yang memotivasi saya dan teman-teman dari FPIK untuk menciptakan formulasi pakan sendiri dengan bahan-bahan yang murah dan mudah didapat,” ujar pemuda asal Jember ini.
Kol dan Sawi
Setelah melalui berbagai pertimbangan matang, akhirnya Ndaru menjatuhkan pilihannya pada limbah pasar sebagai bahan pakan. Yaitu sisa-sisa kubis dan sawi yang sudah tidak laku. “Sisa kubis dan sawi bisa didapatkan secara gratis karena tidak terpakai lagi, kalaupun membeli harganya tidak lebih dari Rp 400 per kilogram,” katanya.
Untuk daerah Malang, dia biasa mendapatkan limbah sayur ini di Pasar Besar Kota Malang, Pasar Blimbing, Pasar Klojen,serta Pujon. Selain sisa kubis dan sawi, bahan lain untuk meracik Lisa Mudar adalah tepung ikan, tepung kedelai, serta dedak. Penggunaan bahan-bahan selain limbah dimaksudkan untuk mengatrol kandungan nutrisi lain yang tentu saja tidak bisa dicukupi dari limbah.
Sementara untuk meningkatkan kandungan protein, terlebih dahulu Ndaru memfermentasi sisa kubis dan sawi menggunakan Lactic Acid Bacteria (Bakteri Asam Lakta /BAL) sebagai starter. “Lisa Mudar ini kandungan proteinnya mencapai 30%, harganya hanya Rp 6.500 per kg. Murah kan?” ujarnya tersenyum.
Lelaki kelahiran 23 Februari 1990 ini membandingkan, dengan kandungan protein yang sama, harga pakan dari pabrik bisa tembus hingga Rp 12.000 per kg. “Ada pakan dari pabrik yang harganya sama, tapi kandungan proteinnya hanya 14%, bukan 30%,” jelasnya.
Selisih harga yang hampir dua kali lipat tersebut diharapkan mampu memberikan harapan kepada para pembudidaya bahwa ternyata masih ada pakan murah untuk ikannya. “Niatnya memang tidak hanya berwirausaha, melainkan juga ingin membantu para pembudidaya yang kerap mengeluhkan mahalnya harga pakan,” tutur Ndaru.
Di lapangan, Ndaru dan tim sering menemui kejadian-kejadian yang berseberangan dengan teori yang dia peroleh di kampus. Ia mencontohkan, ada beberapa pembudidaya lele yang memberikan pakan bentuk terapung untuk ikannya. Ketika ditanyakan, pemiliknya berujar bahwa dengan memberikan pakan terapung dia bisa tahu ikannya sudah makan atau belum. “Lele kan jenis ikan dasar, kalau diberi pakan jenis terapung, energi ikan akan terbuang untuk mengambil pakan ke permukaan, sehingga tidak optimal untuk pertumbuhan,” jelasnya setengah berteori.

Phytogenic untuk Efisiensi Pakan Akuakultur

Oleh:  Salman Haris Fuadi DVM*
Zat aktif yang terkandung dalam phytogenicdapat meningkatkan performa, terutama untuk menekan konversi pakandan meningkatkanbobot badan
Phytogenic merupakan kelompok Natural Growth Promotor (NGP) yang diperoleh dari herbal, rempah-rempah dan tumbuhan lain yang terdiri dari ekstrak tanaman, minyak esensial,dan zat aktif lainnya. Substansi phytogenic telah dikenal dan dipergunakan sejak ribuan tahun yang lalu oleh bangsa Mesir kuno dan Cina untuk tujuan pengobatan maupun penggunaan sehari-hari sebagai penyedap makanan.
Substansi derivat  tumbuhan yang juga dikenal sebagai phytogenicini memiliki sejumlah kegunaan antara lain sebagai penambah rasa (flavouring), anti oksidan, anti jamur, anti viral, anti bakterial, antidepresan, serta memodulasi imun dan fisiologis. Semua hal ini penting bagi peningkatan performa pada hewan (gambar 1).
Salah satu keunikan PFA(Phytogenic Feed Additive)adalah kemampuannya sebagai penambah rasa (flavouring) pada pakan. Rasa pakan melibatkan respon fisiologis yang komplit terhadap hewan, yaitu kombinasi dari rasa yang berhubungan dengan reseptor di rongga mulut dan aroma yang berhubungan dengan indra penciuman. Respon ini berbeda-beda pada masing-masing spesies hewan karena adanya perbedaan jumlah sensor perasa pada tiap-tiap spesies (tabel 1).
Sejak satu dekade yang lalu, para peneliti telah menguji beberapa penggunaan phytogenicseperti tanaman aromatik (jahe, kunyit, ketumbar),  bahan-bahan herbal (berasal dari akar, daun, atau kulit kayu), minyak esensial (yang diperoleh dari proses penguapan hidro-destilasi komponen tanaman),maupun Oleoresin (hasil dari ekstrak tanaman yang tidak larut air) untuk ditambahkan pada pakan hewan sebagai PFA.
Bahan aktif yang terkandung dalam PFA ini diketahui dapat meningkatkan pertumbuhan, kecernaan nutrisi,dan kesehatan usus.Dengan demikian dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi pada produksi ternak (Ahmed Aufy dan Tobias Steiner, 2012).
Meningkatkan Bobot 
Penggunaan minyak esensial berhubungan dengan peningkatan performa dan kesehatan pada hewan ternak. Pada penelitian dengan menggunakan channel catfish, penambahan produk yang mengandung  minyak esensial pada pakan dapat meningkatkan asupan pakan dan bobot badan ikan dibandingkan dengan kelompok kontrol tanpa PFA(tabel 2).
Dari hasil penelitian tersebut, ikan-ikan kelompok perlakuan dengan minyak esensial mencapai bobot badan yang lebih baik (76.9 ± 20 vs 53.4 ± 3.2 g/ekor) daripada kelompok kontrol dan memiliki Specific Growth Rate lebih baik pula (1.8 ± 0.1 vs 1.5 ± 0.1). Selain itu, asupan pakan juga meningkat (104.3 ± 3.6 vs 79.6 ± 3.0 g/ekor) dikarenakan ada peningkatan palatibilitas pakan tersebut. Terdapat penurunan FCR (1.36 vs 1.51) pada ikan yang diberi perlakuan minyak esensial, meskipun tidak terlalu signifikan (P>0.05)  (Brian C. Petterson, 2011)

Vaksinasi Vibrio Dongkrak Produksi Kerapu

Vaksin vibrio polivalen mampu dongkrak SR kerapu 10 - 15 % dan tingkatkan bobot ikan 20 - 30 %, sayang aplikasinya di lapangan masih sulit bagi pembudidaya
Salah satu penyakit utama yang menyerang ikan kerapu adalah vibriosis. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri patogen Vibrio alginolyticus ini merugikan industri budidaya ikan kerapu karena dapat menyebabkan kematian, bahkan mortalitas (tingkat kematian) dapat mencapai 100 %.
Ketua Forum Komunikasi Kerapu Lampung, Mulia Bangun Sitepu pun membenarkan, beberapa waktu lalu vibriosis kembali banyak ditemukan di seputar Pantai Mutun dan perairan wilayah Ringgung, Lampung. ”Banyak menyerang ikan kerapu ukuran besar dan aktif,” jelasnya. Ditambahkan dia, penyakit pada ikan kerapu ini masih bersifat klasik, dicirikan dengan adanya borok pada pangkal strip ekor dan warna merah pada mulut.
Sementara itu, dimintai keterangannya Yani Lestari Nur’aini perekayasa Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo, Jawa Timur mengatakan, kejadian vibriosis dapat dicegah dengan melakukan perbaikan lingkungan, memutus sumber infeksi, dan penggunaan benih bebas virus. “Sementara secara internal individu ikan, perlu ditingkatkan daya tahan tubuh melalui perbaikan nutrisi dan peningkatan imunitas,” imbuh dia.
Peningkatan imunitas ikan, lanjut Yani, salah satunya dengan penggunaan vaksin (lebih tepatnya bakterin). Dikatakan Yani, vaksinasi pada ikan akan mampu meningkatkan produksi yang ditunjukkan dengan terdongkraknya Survival Rate/SR (tingkat hidup) dan Grow Rate/GR (laju pertumbuhan). Disamping itu, meningkatkan keamanan konsumen dan keamanan lingkungan. “Dari hasil uji lapang dan informasi pembudidaya ikan di Situbondo, vaksin vibrio polivalen dapat meningkatkan SR 10 - 15 % dan terjadi kenaikan bobot ikan sebesar 20 - 30 %,” jelasnya.
Masih menurut Yani, untuk segmen pembenihan, keuntungan secara ekonomi yang bisa diperoleh dari vaksinasi antara lain dapat meningkatkan berat benih sampai 38 %. Ia menyebutkan, vaksin vibrio yang sudah beredar di lapangan adalah vaksin vibrio polivalen buatan Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Produk ini sudah dipatenkan dan pemasarannya bekerjasama dengan sebuah perusahaan swasta. “Harganya masih terjangkau, maksudnya sepadan dengan harga ikan kerapu yang tinggi,” tambah Yani.

Aplikasi
Diterangkan Yani, penggunaanvaksinasi dilakukan pada berbagai fase sesuai umur ikan. Semisal, calon induk yang telah divaksinasiperlu dilakukan pengulangan (booster) pada hari ke 7, dan setelah itu divaksin ulang setiap 2 - 3 bulan. Selain divaksin  2 - 3 bulan sekali dalam pemeliharaan, induk juga idealnya divaksin 4 minggu sebelum dipijahkan dan booster pada 3 minggu sebelum dipijahkan.
Sedangkan untuk benih ukuran < 6 cm, aplikasi vaksinasi dengan cara perendaman (dipping). Ukuran sekitar 7 - 10 cm divaksin dengan injeksi, 1 minggu kemudian di-booster, 1 minggu kemudian (minimal) baru ditebar atau dijual. “Untuk pembesaran di KJA (Keramba Jaring Apung-red) dilakukan vaksinasi ulang setiap 2 - 3 bulan,” jelas dokter hewan lulusan UGM ini.
Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Budidaya Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Slamet Soebjakto mengatakan,penggunaan vaksin bisa mengurangi kematian dan meningkatkan pertumbuhan. Salah satu indikasi vaksin itu berfungsi pada tubuh ikan adalah nafsu makan bertambah. “Itu dampak sekunder dari vaksin selain utamanya mencegah serangan penyakit,” ungkap pria yang pernah menjabat Kepala BBAP Situbondo ini.

Teaching Factory ala Institut Kelautan Perikanan

Sistem teaching factory akan mendukung pola pendidikan vokasi yang diarahkan pada penguasaan keahlian tertentu
Demi membekali masyarakat agar siap terjun di lingkungan dengantuntutan kompetensi pekerjaannya kian tinggi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)mengambil langkah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Hal itu ditempuh melalui pendidikan, menanamkan jiwa wirausaha di setiap jenjang dan tingkat pendidikan serta berusaha memperluas lapangan kerja.
Sutardjo Konsep yang diterapkan salah satunya dengan teaching factory yang mulanya dikembangkan dari sekolah kejuruan menjadi model sekolah produksi. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif CicipSutardjo, mengatakan, sistem teaching factory akan mendukung pola pendidikan vokasi yang diarahkan pada penguasaan keahlian tertentu.
Ia menjelaskan, dalam hal ini unit pendidikan yang melaksanakannya diharuskan mempunyai sebuah unit usaha atau unit produksi sebagai tempat untuk pembelajaran siswa. Di situ, siswa secara langsung melakukan praktik dengan memproduksi barang atau jasa yang mampu dijual ke konsumen.
Lebih lanjut Sharif mengatakan, pada era globalisasi, negara dengan kualitas SDM yang begitu tinggi,Hal inilah yang diharapkan menjadioutput SDM kelautan dan perikanan nantinya. “Dengan basis teaching factory ini pengajaran akan lebih mengarah ke 70% praktik dan 30% teori. Sehingga ketika terjun ke dunia kerja, para lulusan yang sudah terbiasa dalam praktik kerja ini nantinya bisa langsung mendapatkan lapangan pekerjaan atau menjadi pengusaha untuk membangun perekonomian kelautan dan perikanan,” ujarnya.
Tingkatkan Status
Konsep inilah yang kemudian diterapkan di Sekolah Tinggi Perikanan (STP) untuk mendukung industrialisasi kelautan dan perikanan. Dijelaskan Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPSDMKP), Sjarief Widjaja, STP ditingkatkan statusnya menjadi Institut Kelautan dan Perikanan Nasional (IKPN) agar bisa memenuhi standar sertifikasi dunia industri, serta untuk menopang keberhasilan industrialisasi kelautan dan perikanan.
Sjarief mengatakan, untuk itu kampus ini akan mengadopsi sistem vokasi bertaraf internasional pada jenjang diploma, magister sains terapan dan doktor sains terapan.Kesiapan yang diharapkan dari STP adalah membuat mekanisme paralel. Dari pihak BPSDMKP mengajukan perizinan dan sebagainya, serta dari bagian internal KKP lain melakukan penguatan.
Salah satunya yakni mengundang para mitra dari industri untuk membuat program bersama. “Misalkan untuk bidang bioteknologi, saya mintakan mereka datang ke sini untuk membuat pabrik mini bioteknologi. Jadi sistemnya menjadi reverse engineering yang meminta mereka bekerja dulu di lapangan, improvisasi dulu, setelah itu kita tarik teorinya,” jelas Sjarief.
Pengembangan Kampus
Sjarief menjelaskan, kampus ini berdiri di luasan kawasan 15,3 ha yang merupakan hibah dari pemerintah Kabupaten Karawang. Pembangunannya berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dari   2011-2014 sebesar Rp 30-35 miliar. Pembangunan kampus akan dibagi ke dalam 3 tahap, yakni tahap pertama pada 2012 ini berupa pembangunan gedung administrasi, 2 gedung teaching factory pengolahan dan permesinan perikanan. Masing-masing bangunan seluas 8.000 m2.
Lanjut Sjarief, untuk kegiatan budidaya, peralatan sudah diadakan sejak 2011 melalui APBN Plus. Teaching factory untuk budidaya ini merupakan kawasan budidaya seluas 2 ha yang memiliki tambak intensif serta dilengkapi hatchery dan laboratorium ikan.Juga 1 gedung asrama mahasiswa (terdiri atas 3) lantai yang pada tahun ini disiapkan untuk menampung 284 taruna. Dan diharapkan akan dilanjutkan hingga 3 bangunan asrama selanjutnya.
Kemudian tahap ke dua pada2013 akan dibangun pintu gerbang, gedung rektorat, fasilitas pendukung budidaya serta gedung sebaguna. Tak lupa pula fasilitas ibadah seperti masjid mulai dibangun. Dan tahap terakhir pada 2014, akan melengkapi fasilitas ibadah, gedung serbaguna, fasilitas pendukung perikanan tangkap seperti simulator navigasi kelautan, fishing gear room,fasilitas Basic Safety Training(BST), kolam, serta perumahan para pembina.

Menyulap Tambang Pasir Jadi Kampung Vannamei


Puluhan hektar lahan bekas galian tambang pasir yang identik dengan bencana lingkungan diubah menjadi tambak Kampung Vannamei
Perjalanan nyaris 4 jam dari jembatan Suramadu menyusuri Pantai Selatan Madura, mengantar TROBOS Aqua sampai ke Kampung Talangsiring Desa Montok Kabupaten Pamekasan. “Lahan ini, 5 tahun lalu masih berupa kubangan bekas tambang pasir. Selama 15 tahun lahan seluas 30 ha ini mangkrak tak menghasilkan apa-apa,” kata Nonot Tri Waluyo,  General Manager Shrimp FeedCP Prima – Surabaya.
Seturunnya dari kendaraan disambut riuh mesin diesel penggerak kincir rangkai yang memberi napas si bongkok putih yang tersebar di 18 petakan milih HM Ihsan Abdullah.“Saya ini mantan penambang pasir. Dulu saya dan kawan-kawan yang mengeruk tanah di sini. Setelah jadi kubangan, bingung mau dibuat apa,” tutur Ihsan. Penambangan pasir di atas lahan 15 ha yang dibeli secara patungan itu dilakukannya dengan alat berat.
Mulai Bertambak
Menurut Ihsan, setelah penambangan pasir berhenti ia pernah menebari kubangan itu dengan ikan nila dan gurami, namun ia kurang puas. Padahal ia butuh usaha baru menggantikan pertambangan pasir.  Pada 2007 lalu ia bertemu dengan personil PT CPP yang membawa program Kampung Vannamei (Kave). “Saya diajari bertambak di dua petak lahan bekas kubangan. Luasnya 5.000 m2,dengan sistem tradisional plus. Padahal saya belum tahu sama sekali cara bertambak,” urainya.
Hanya berbekal dua buah pompa balik, lahan ditebari benur dengan kepadatan 20 ekor/m2. “Umur 70 hari pada ngambang,” kisahnya. Untuk menyelamatkan, Ihsan mencopot gardan mobil angkutan pakannya untuk dijadikan kincir rangkai. Saat itu iaberhasil panen 1 ton udang size 70 (ekor/kg).
Setelah tambak berkembang, seketika harga tanah di kawasan ini melonjak drastis. “Dulu tanah setara tambak sepetak hanya dibeli dengan satu-dua becak. Sekarang sudah puluhan bahkan ratusan juta,” ungkap Ihsan.
Satu desa dengan Ihsan, terhitung lebih ‘nekat’ H Muhyianto terhitung lebih ‘nekat’. Lubang bekas kerukan pasir di samping rumahnya yang cukup jauh dari Pantai disulapnya menjadi 2 petak tambak dan satu tandon. “Total habis Rp 140 juta untuk meratakan dasar, membuat tanggul dan membeli kincir. Tapi dalam 2 - 3 kali panen sudah balik modal,” ungkapnya. Sukses dengan 2 petakan itu, Muhyi membuka lagi 3 petak lahan di eks galian pasir 1 ha milik kawannya. Petakan ini dijalankan dengan sistem bagi hasil, pemilik lahan mendapat bagian 12,5%.
Jadi Kave
Setelah bertambak tradisional plus selama 1,5 tahun dan merasakan keuntungan bertambak vanamei, Ihsan membuka 7 petakan. Saat itu ia ‘naik kelas’ dengan menerapkan sistem semi intensif dengan padat tebar 60 – 80 ekor/m2.
Waktu masih awal bertambak semi intensif itu, Ihsan mengaku pernah menebar vanamei dengan kepadatan 100 ekor/m2. Walaupun, kata Ihsan, sekarang ia kembali ke padat tebar 60 – 80 ekor/m2. “Di sini sudah menjadi kawasan tambak karena banyak yang mengikuti saya. Sehingga air lautnya sudah lebih jenuh karena bukan teluk, meski masih sangat layak untuk budidaya. Sifatnya jaga ekosistem saja,” paparnya.
Menurut Nonot, keberhasilan Ihsan banting setir dari penambang pasir menjadi petambak udang memang membuat pemilik lahan bekas tambang pasir mengikuti jejaknya. “Kawasan ini sekarang masuk program Kave,” sebut Nonot.
Menutup pembicaraan, Nonot berkisah, dulu orang tidak menyangka di Pamekasan akan berkembang kawasan tambak. Apalagi membayangkan lingkungan rusak karena tambang pasir bisa berubah drastis menjadi lahan produktif. Di daerah lain, Kave terus ngopeni(mendampingi) petambak sekecil apapun skalanya. “Yang penting, ada petambaknya dan usahanya berjalan dulu. Kita dampingi sampai ‘naik kelas’, dan terus didampingi,” ungkap Nonot.
Lele hibrida hasil persilangan 7 strain asal beberapa negara, digadang jadi benih unggul
Lele masamo, sebagian menduga nama tersebut adalah akronim dari Matahari Sakti Mojokerto. Tetapi Fauzul Mubin, Technical Support and Hatchery Manager PT Matahari Sakti membantah itu. “Bukan. Itu hanya nama yang mengandung hoky dan nama yang bagus saja,” terangnya sambil tersenyum lebar.
Lele produk dari PT Matahari Sakti (MS) ini disebut-sebut memiliki keunggulan ketimbang jenis lain yang sudah beredar lebih dahulu. Saking santernya kabar tersebut, sampai-sampai belakangan muncul pihak-pihak yang mengaku-aku sedia induk dan benih masamo. Padahal, MS hanya mendistribusikannya terbatas di jaringan mitra internal perusahaan.
Mubin menyatakan, lele masamo yang beredar sekarang masih generasi pertama, dan direncanakan November 2013 akan dirilis generasi kedua.
Genetik Masamo
Dijelaskan Mubin, lele masamo merupakan hasil pengumpulan sifat berbagai plasma nutfah lele dari beberapa negara. Antara lain, lele asli Afrika, lele Afrika yang diadaptasi di Asia, Clarias macrocephalus/bighead catfish yang merupakan lele Afrika dan di kohabitasi di Thailand, dan lele dumbo (brown catfish). “Total ada 7 strain lele,” ungkapnya.
Lele Afrika, papar Mubin, terkenal kecepatan tumbuh dan ketahanan tubuh yang tinggi. Sedangkan lele Afrika yang telah mengalami kohabitasi domestik di Asia/Asia Tenggara memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan dan tahan terhadap penyakit lokal. Selain itu ada juga strain yang memiliki produktivitas telur tinggi (spawning rate) dan ada yang efisien pakan.
Dipastikan Mubin, benih sebar yang diperuntukkan bagi budidaya pembesaran konsumsi – atau yang umum disebut Final Stock (FS) — dari breeding Masamo, memiliki sifat bertubuh besar, rakus makan tapi tetap efisien, keseragaman tinggi, stress tolerance tinggi, ketahanan penyakit tinggi, dan sifat kanibal rendah. Untuk sifat induk atau Parent Stock (PS) ditambah dengan spawning rate yang tinggi.
Hatchery (penetasan) Masamo di Pasuruan, sebut Mubin, mampu memproduksi induk PS masamo 6.000 – 10.000 ekor per tahun. PS dilepas dengan harga Rp 100.000 – Rp 300.000 per ekor, tergantung jauh-dekatnya lokasi pembeli. Mubin mengakui harga calon induk masamo 2 – 4 kali lebih mahal dibanding induk lele jenis lain.
Sementara Final Stock, dikatakan Maylana Nurrma Diyanto, Technical Support  and Marketing Supervisor PT Matahari Sakti, permintaan yang masuk ke hatchery PT MS mencapai 5 juta ekor per bulan. Pada April 2013, imbuh dia, benih size (ukuran) 4 cm diperdagangkan seharga Rp 70 tiap ekornya, dan Rp 90 untuk yang 5 cm.
Ciri dan Sifat
Lele masamo memiliki ciri khas fisik cukup berbeda dengan lele dumbo atau lele lain yang lebih dulu beredar. Dijelaskan Maylana, kepala lele Masamo lebih lonjong, menyerupai sepatu pantofel model lama. Sirip (patil) lebih tajam, badan lebih panjang dan berwarna kehitaman. Ketika stres, muncul warna keputih-putihan atau keabu-abuan.
Lebih detil, Danang Setianto menggambarkan, terdapat bintik seperti tahi lalat di sekujur tubuh masamo yang berukuran besar, memiliki tonjolan di tengkuk kepala, serta bentuk kepala lebih runcing. “Pada induk, tonjolan di tengkuk terlihat nyata. Sangat berbeda dengan induk jenis lain, sehingga tak mungkin dipalsukan,” ungkapnya.
Tetapi saat masih berukuran benih, secara fisik masamo susah dibedakan dengan benih lele varietas lain. “Bedanya pada sifat. Masamo lebih agresif dan nafsu makan kuat. Sehingga jika manajemen pakan tidak bagus bisa berakibat kanibalisme,” papar Danang. Karena itu Danang hanya memasarkan benih Masamo kepada pembudidaya pembesaran yang serius, bukan yang tradisional.
Sifat Kanibal
Mubin mengistilahkan era kanibalisme tinggi pada masamo sudah lewat. “Dulu, waktu generasi awal sekali, sebelum yang generasi I itu memang iya. Pada generasi 1 sudah jauh berkurang  sifat kanibal itu,” tegasnya.  Mubin telah  melakukan uji keseragaman ukuran anakan di hari ke-40 pemeliharaan. Hasilnya, keseragaman akhir normal. Keseragaman akan njomplang jika kanibalisme tinggi, karena ada lele dominan yang memakan lele lain.

Polikultur Kian Menjamur

Terbukti sistem ini mampu mengendalikan kejadian penyakit, memperbaiki lingkungan, berbiaya rendah, dan utamanya memberikan hasil yang menggiurkan bagi petambak dan pembudidaya
Sebelumnya, 7 tahun sudahSaripudin menelantarkan 8 hektar areal tambak miliknyayang berlokasi di wilayah Bekasi. Iamembiarkan lahan tersebut tersapu abrasi, setelah 3 tahun berturut-turut usahanya membudidayakanikan bandeng secara monokultur (intensif) tak membuahkan hasil. Alih-alihmeraih untung, justruhutang dia ke pengepul menggunung hingga puluhan juta rupiah.
Tetapi sejak ia dikenalkan teknik dan manajemen budidaya polikultur pada 2007, kisah pahit itu tak lebih dari sekadar kenangan. Saat ini Saripudin tengah merasakan manisnya usaha budidaya polikultur rumput laut jenis Gracilaria sp, bersama ikan bandeng dan udang windu di tambak seluas 4 hektar. ”Alhamdulillah, berkat budidaya polikultur hutang saya lunas,” ungkapnya sumringah kepada Trobos Aqua. Ia pun berambisi,tahun ini akan menambah 4 hektar lagi untuk lahan polikultur.
Jodoh Saripudin dengan polikultur bermula kala ia dan rekan-rekannya mendapat pembinaan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau dan Laut (BBPBAPL) Karawang pada 2007. Pulang ke Bekasi, ia langsung menerapkan polikultur sekaligus menyosialisasikannya kepada pembudidaya lain.
Menurut Ketua Kelompok Mekar Bahagia ini, sekitar 30 % pembudidaya tambak di wilayah Bekasi sekarang menerapkan polikultur. ”Saya targetkan tahun depan mencapai 50 %,” tutur pria yang juga didapuk sebagai Ketua Bidang Teknis Budidaya Rumput Laut dari Perhimpunan Pembudidaya Tambak Pantura (PPTP) ini menggebu.
Ambisi besar Saripudin itu didorong oleh besarnya manfaat yang diperoleh pembudidaya tambak dari polikultur. Secara teknis, kata Saripudin, polikultur dapat menurunkan tingkat kejadian penyakit. Danrumput laut dapat berperan sebagai filter (penyaring) zat-zat pencemar.
Sementara secara ekonomis, polikultur lebih menguntungkan ketimbang monokultur. Biaya produksi lebih rendah, sebab tak ada biaya pakan dan untung lebih tinggi. ”Per periode, saya bisa dapat Rp 10 juta dari polikultur. Belum lagi ditambah dengan hasil penjualan udang alam yang masuk ke tambak polikultur yang bisamencapai Rp 1,5 juta per bulan. Jadi polikultur itu sangat menjanjikan,” ia buka kartu.
Sama halnya dengan di Bekasi, polikultur rumput laut Gracilaria sp, ikan bandeng, dan udang windu di Indramayu mulai diminati. MenurutWahudin, pembudidaya di Indramayu, rentang 2002 sampai 2006 polikultur dilakukan dengan2 komoditas saja, yaitu rumput laut Gracilaria sp dan ikan bandeng.Tapi setelah beberapa pembudidaya tambak mendapat pembinaan di BBPBAPL Karawang, polikultur 3 komoditas mulai marak.
Bedanya dengan Saripudin di Bekasi, Wahudinmenerapkan polikultur 4 komoditas sekaligus, yaitu rumput laut Gracilaria sp, ikan bandeng, udang windu, dan ikan kerapu lumpur. ”Di Jawa Barat belum ada yang melakukan seperti ini. Polikultur plus kerapu lumpur ini saya mulai sejak April 2012 lalu dan terbukti berhasil,” ungkapnyabangga. Menurut hitungan Wahudin, jumlah pembudidaya polikultur di wilayahnya sudah mencapai 60 % dari total pembudidaya tambak yang ada. Sisanya masih menerapkan monokultur ikan bandeng.
Sedangkan pembudidaya polikultur di daerah Langensari Balakan, Subang Jawa Barat, Syamsudin Adi Saputra mengungkapkan, hampir 90 % dari 227 pembudidaya tambak di wilayahnya yang tergabung dalam Koperasi Mina Langgeng Jaya menerapkan polikultur karena memberikan tambahan pendapatan. “Kalau tidak menguntungkan, tidak akan jalan polikultur ini. Apalagi jika dikombinasikan dengan pohon bakau, budidaya akan lebih ramah lingkungan,” ujar Ketua Koperasi Mina Langgeng Jaya ini.
Tren Polikultur
Saripudin, Wahudin, dan Syamsudin adalah contoh pembudidaya yang menerapkan polikultur di tambak. Dibenarkan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat Ahmad Hadadi, polikultur di tambak mulai menjamur sejak 2007 di Pantura(Pantai Utara), Jawa Barat.Fenomena ini dilatarbelakangi sejarah merebaknya penyakit virus pada udang windu seperti IMNV (Infectious Myo Necrotic Virus) dan WSSV (White Spot Syndrome Virus). ”Dengan mengombinasikan udang windu, ikan bandeng, dan Gracilaria sp ternyata hasilnya bagus,” ujarnya.
Selain di tambak, kata Hadadi, polikultur juga dilakukan di kolam dan KJA (Keramba Jaring Apung). Tak beda di tambak, polikultur di KJA juga berkembang sebagai respon kejadianpenyakit virus. Karena ikan mas rentan terserang KHV (Koi Herpes Virus), pembudidaya KJA lantas mencampurnya dengan ikan nila, nilem, dan tawes.
Ikan nila bermanfaat memakan plankton dan menekan penyakit KHV, sedangkan ikan nilem dan tawes dapat memakan lumut sehingga jaring jadi bersih. ”Praktiknya, semua ikan itu berada dalam 1 jaring. Konsekuensinya menambah pekerjaan bagi pembudidaya karena harus ada sortasi.Tapi ikan mas terhindar dari KHV,produksi pun jadi tinggi,” jelasnya.
Tidak Diabaikan
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Slamet Soebjakto menegaskan, pembudidaya polikultur tetap menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah sudah membuat pemetaan wilayah untuk pengembangan polikultur seperti di Aceh, Kalimantan Timur, dan sebagian Sulawesi Selatan. Sedangkan di Pantura Jawa seperti di Gresik, Sidoarjo, Subang, Karawang, Indramayu, dan Cirebon.
Pria yang akrab disapa Totok ini menambahkan, adanya program untuk pembudidaya tradisional melalui program PUMP (Pemberdayaan Usaha Mina Pedesaan) dengan polikultur. Bantuan berupa pengadaan pakan,benih rumput laut atau nener. Pembinaan terus dilakukan dengan membuat dempond(kolam/tambak percontohan) seperti yang ada di Jepara, Takalar, dan Aceh.
Lahan tambak tidak 100 % untuk pengembangan intensifikasi,tapi ada sebagian yang dimanfaatkan untuk lahan tradisional dan dimanfaatkan untuk polikultur. “Kebijakan kita untuk udang windu pun dengan polikutur,” tegasnya.
Ia menyebut sumbangsih polikultur terhadap produksi perikanan budidaya di 2012 mencapai 60 % dari total produksi sehingga tidak bisa diabaikan. “Di tahun ini sumbangsih dari semua lini seperti tambak tradisional, polikultur, tambak intensif, dan pemanfaatan tambak idle akan ditingkatkan. Khusus yang tradisional akan ditingkatkan menjadi tradisional plus,” jelas Totok.
Aplikasi Polikultur
Diterangkan Iskandar, pada dasarnya polikultur menerapkan konsep simbiosis mutualisme antar komoditas yang dipelihara. Awal mulanya di Indonesia, polikultur yang dicoba di tambak adalah kombinasi Gracilaria sp, ikan nila, dan kerang-kerangan. Lalu beralih dan yang kini berkembang adalah kombinasi Gracilaria sp, ikan bandeng, dan udang windu.
Dalam perkembangannya, pembudidaya tambak polikultur tidak terpaku pada 3 komoditas itu saja. Contohnya Wahudin di Indramayu yang menambahnya dengan ikan kerapu lumpur yang dipelihara dalam jaring tancap berukuran 5 m x 5 m. Lebih fantastis lagi Usup Supriatna di Karawang. Ia mengkombinasi 5 komoditas sekaligus, yaitu Gracilaria sp, ikan bandeng, udang windu, ikan kakap putih, dan kepiting soka.

Jumat, 14 Juni 2013

Immunoglobulin y Anti whitespot

Telur unggas memiliki prospek yang sangat strategis sebagai pabrik biologis untuk memproduksi Imunoglobulin  Y (Ig-Y) antiwhite spot yang diaplikasikan melalui pakan

Budidaya udang baik udang windu (Penaeus monodon) maupun udang putih (Penaeus vannamei)hingga saat ini masih dibayangi serangan penyakit bintik putih atau white spot. Penyakit yang disebabkan virus WSSV (White Spot Syndrome Virus) ini mengakibatkan kematian udang secara masal, sehingga merugikan petambak.

Namun para petambak tak perlu berkecil hati sebab belum lama ini seorang Professor in Medical Immunology dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor telah ditemukan cara jitu untuk mengantisipasi serangan penyakit white spot. Adalah Retno Damajanti Soejoedono yang mengembangkan bioteknologi anti virus ini menggunakan telur unggas.

Retno menjelaskan, telur memiliki kuning telur yang mengandung zat nutrisi penting yang sangat diperlukan untuk perkembangan embrio sampai beberapa hari setelah embrio menetas. Telur bukan hanya mengandung zat nutrisi yang penting, tapi juga mengandung Imunoglobulin-Y (Ig-Y) yang akan diwariskan kepada anak sebagai antibodi maternal.

Mengingat sistem kekebalan tubuh udang sangat didominasi oleh kekebalan non-spesifik, maka proses pengebalannya lebih efisien bila diberikan imunisasi menggunakan imunomodulator atau imunostimulan.“Maka, penggunaan Ig-Y sebagai zat untuk imunisasi pasif pada udang perlu dilakukan,” kata Retno kepada TROBOS Aqua.

Lebih lanjut ia mengatakan, konsep penerapan imunoterapi untuk kasus penyakit tertentu terbuka lebar melalui pengebalan pasif dengan memanfaatkan Ig-Y. Tak hanya sebagai anti WSSV, Ig-Y di dalam kuning telur juga memiliki khasiat anti terhadap Avian Influenza (AI), Streptococcus mutans, tetanus dan berbagai macam penyakit lainnya. Prinsip pengebalan pasif adalah transfer antibodi yang bisadilakukan dengan mengonsumsi telur yang “telah dibuat mengandung zat kebal” dan dipreparasi secara khusus. 

Gunakan Imunoglobulin Y
Retno kembali menjelaskan, sebagai model penyakit udang yang diteliti adalah WSSV. Virus hasil isolasi dari udang penderita disuntikkan ke ayam petelur untuk mendapatkan serum dan telur yang mengandung Ig-Y anti WSSV pada bagian kuning telurnya. Ig-Y kemudian dipurifikasi (dimurnikan) dan dilakukan uji sifat biologis terhadap pengaruh pH, panas, enzim pencernaan seperti pepsin dan tripsin, dan uji efikasi secara perendaman dan melalui pakan.

Imunoglobulin Y yang telah dipurifikasi, kemudian diberikan ke udang melalui air (perendaman) atau pakan yang dicampur Ig-Y selama waktu tertentu. Setelah itu diuji tantang dengan WSSV. Lanjutnya, aplikasi per oral dilakukan untuk melihat efikasi Ig-Y dalam kuning telur yang telah dikemas sebagai pakan udang. 

Pengujian menggunakan 75 ekor udang yang dibagi lima kelompok yang masing-masing kelompok terdiri atas 15 ekor udang. Kelompok 1, 2, dan 3 merupakan kelompok perlakuan, sedangkan kelompok 4 merupakan kontrol negatif dan kelompok 5 adalah kontrol positif.

Pakan yang mengandung Ig-Y anti WSSV dengan konsentrasi 5%, 10%, dan 20% diberikan pada kelompok perlakuan 1, 2, dan 3 yang selanjutnya dikohabitasi (digabungkan/dipelahiran bersamaan)dengan udang yang terinfeksi. Kelompok kontrol positif diberikan pakan udang biasa tanpa Ig-Y anti WSSV dan dikohabitasi dengan udang yang terinfeksi, sedangkan kelompok kontrolnegatif hanya diberi pakan udang biasa tanpa dikohabitasi dengan udang yang terinfeksi.

Menurut Retno, kelompok kontrol positif menunjukkan gejala klinis penurunan nafsu makan dan kemerahan pada tubuhnya. Kelompok perlakuan yang diberi pakan udang berkhasiat anti WSSV tidak menunjukkan gejala klinis. Pada kelompok kontrol positif terjadi kematian pada udang mulai hari ketiga setelah kohabitasi.

Kematian udang juga ditemukan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol negatif akan tetapi tidak setinggi kelompok kontrol positif. “Kematian pada kelompok kontrol positif mencapai 83 %, sedangkan kelompok perlakuan masih dapat hidup antara 50 – 70 %. Udang yang tidak terinfeksi (kontrol negatif) mengalami 20 % kematian,” jelas Retno.

Lanjut Retno, cara mendeteksi adanya material genetik WSSV pada udang yang mati dilakukan uji PCR. Hasil PCR memperlihatkan bahwa tidak ditemukan adanya material genetik WSSV pada kelompok perlakuan yang diberi pakan udang 10 % dan 20 % Ig-Y anti WSSV dan kontrol negatif yang mati, sedangkan pada kelompok perlakuan yang diberi pakan berkhasiat anti WSSV dengan konsentrasi 5 % bisaditemukan adanya material genetik WSSV.

Keunggulan Inovasi
Retno menuturkan,penggunaan telur sebagai pabrik biologis sangat sejalan dengan isu kesejahteraan hewan (animal welfare) karena produksi bahan biologis tersebut hampir tidak menyakiti hewan yang digunakan dalam proses produksi."Telur bisa menggantikan hewan dalam produksi  bahan biologis "kata Retno
.
Lanjutnya Ig-y berkhasiat terhadap berbagai agen penyakit terbukti memiliki kemampuan netralisasi agen penyakit."Ig-y  bisa dimanfaatkan sebagai imunoterapi untuk berbagai penyakit,khususnya pada makhluk hidup yang sistem imunologinya belum berkembang atau pada individu yang mengalami imunosupresif" jelas Retno.

Penggunaan Ig-y unggas dalam pemeriksaan imunologi lebih akurat dan aman dibandingkan dengan menggunakan Ig-g mamalia."penggunaan Ig-y dalam imunoterapi diketahui memberikan efek samping lebih rendah dibandingkan dengan Ig-g mamalia kerena tidak berespon terhadap faktor rhumatoid" tutur Retno.

Diungkapkan Retno,telur sebagai pabrik antibodi bisa dikatakan sebagai proses permanenan yang sangat sederhana."sebutir telur mempunyai kandungan 50-100 mg Ig-y yang setara dengan 200 mg Ig-g/40 ml darah yang dihasilkan dalam sekali pemanenan darah kelinci,"katanya.

Skala Laboratorium
Retno mengungkapkan pada akhir penelitian bisa dibuat prototipe produk pakan udang berkhasiat anti WSSV atau produk aktif anti WSSV larut air."produk ini kelak akan digunakan para petambak untuk meningkatkan produksi udang serta berguna bagi industri pakan udang untuk memproduksi  pakan anti WSSV " tuturnya.

Telur unggas yang bisa digunakan untuk produksi Ig-y adalah telur ayam,itik,entok,kalkun,puyuh,maupun burung unta.secara teoritis semua jenis unggas tadi memberi peluang untuk dimanfaatkan tergantung alasan dan ketersediaanya disuatu daerah.

Secara ilmiah khasiat Ig-y spesifik dalam kuning telur sebagai senyawa therapeutic telah diuji dan pada akhirnya diperlukan sentuhan akhir untuk bisa diproduksi dalam skala komersial.Meskipun masih dalam skala laboratorium tapi sebagai pabrik biologis memiliki prospek yang sangat cerah dan bisa diaplikasikanpada skala industri dalam waktu singkat,"peran industri sangat dibutuhkan dalam mewujudkan hal ini dan pemanfaatan Ig-y tentu tidak berhenti sampai disini.

Rabu, 12 Juni 2013

Peneliti IPB Temukan Mesin Pengawet Bekatul

JAKARTA - Masih ingatkah Anda es krim bekatul ciptaan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta? Inovasi itu merupakan bukti nyata jika bahan baku yang biasa dijadikan pakan ternak tersebut bisa diolah sebagai barang bernilai ekonomis tinggi.Sayangnya,bekatul ternyata tidak bisa tahan lama. 

Menyadari hal tersebut, Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) Slamet Budijanto,mencoba mengawetkan bekatul dengan mesin ciptaannya. “Kami mencoba menginisiasi, apakah bisa bekatul dimanfaatkan untuk pangan?Ternyata bisa. Namun masih terkendala, bekatul tidak awet,”kata Slamet,seperti dikutip dari siaran pers yang diterima Okezone, Sabtu (8/6/2013). 
Zaman dulu, untuk mengwetkan bekatul cukup dengan disangrai saja. Tapi,Slamet menilai, teknik sangrai memiliki kelemahan, yaitu tidak stabil,susah mengontrol suhu dan waktu, serta kematangannya tidak merata.Direktur F-Technopark Fakultas Teknologi Pertanian IPB bersama timnya,yakni Aziz B Sitanggang dan Sam Herodian itu kemudian menciptakan mesin yang prinsip kerjanya adalah penggunaan suhu tinggi dalam waktu yang singkat. 
“Sebetulnya,ini adalah proses sangrai tapi kontinyu.Mesin sederhana ini memiliki lorong mesin penstabil namanya screw.Nanti bekatul akan dilewatkan dalam lorong panas yang bisa dikontrol dengan waktu yang bisa dikontrol juga,”paparnya.Menurut Slamet,ketika bekatul sudah melewati proses pengawetan,maka dapat diolah untuk jenis pangan apapun dengan waktu tahan yang lebih lama.Dengan teknik tersebut, bekatul bahkan bisa tahan hingga enam bulan.Mesin sederhana yang berhasil mendapatkan penghargaan dari Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) RI itu kini berjumlah dua unit.Satu mesin digunakan di Jawa Timur oleh kelompok tani wanita di Pasuruan,sementara satunya di IPB. Dia menyebut,inovasi itu memiliki sejumlah keunggulan. 
Pertama, bekatul yang diolah mutunya tetap stabil setelah disimpan lebih dari enam bulan.Kedua,meminimalkan kerusakan mikronutrien yang bermanfaat bagi kesehatan.Ketiga adalah membuka peluang pemanfaatan bekatul menjadi bahan baku pangan fungsional.“Kami sudah bisa menjual bekatul hasil olahan dengan mesin ini.Sebanyak 150 gram bekatul sangrai dijual Rp15 ribu di Serambi botani dan itu laku.Kami minta 30 persen untuk pangan sisanya silahkan untuk pakan,” tandas Slamet. (mrg) 

Perbedaan Skripsi,Thesis,Disertasi Secara Sederhana.

Skripsi dijadikan syarat kelulusan di program S-1  dengan maksud  memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menunjukkan bahwa dia dapat menerapkan langkah-langkah pendekatan ilmiah untuk memperoleh pengetahuan dan melaporkannya secara tertulis.  Biasanya, dalam skripsi tidak dituntut adanya sintesis baru atau penemuan baru.Thesis dijadikan syarat kelulusan di program S-2 dengan maksud memberikan kesempatan kepda mahasiswa untuk menunjukkan bahwa dia dapat mebuat suatu sintesis baru atau penerapan pengetahuan yang sudah ada, dan melaporkannya secara tertulis.Disertasi dijadikan syarat kelulusan di program S-3 dengan maksud memberikan kesempatan kepda mahasiswa untuk menunjukkana bahwa dia memahami (mengikuti) perkembangan mutakhir pengetahuan ilmiah di bidang ilmunya  dan memberikan sumbangan pada perkembangan ilmu itu melalui penemuan baru yang orisinal yang dilaporkannya secara tertulis (http://www.pendidikanislam.net/index.php/untuk-siswa-a-mahasiswa/40-penelitian/60-skripsi-apakah-itu).

Pada dasarnya skripsi mahasiswa S1 merupakan ajang latihan bagi mahasiswa untuk melakukan penelitian secara obyektif. Oleh karena baru pertama sekali meneliti maka mahasiswa S1 ini sangat membutuhkan bimbingan dosen agar tidak melakukan kesalahan fatal yang menyebabkan mereka harus mengulang. Tesis S2 merupakan ajang peningkatan kemampuan mahasiswa dalam meneliti dan diharapkan mahasiswa sudah mampu meneliti dengan bimbingan yang minimal dari dosen. Desertasi S3 merupakan pembuktian kemampuan mahasiswa S3 dalam meneliti secara mandiri.

Secara sederhana, skripsi itu menjawab apa, tesis menjawab apa dan mengapa,Dan disertasi itu menjawab apa, mengapa dan bagaimana. Contoh tentang penelitian daun katuk dalam menurunkan kolesterol telur. Skripsi hanya menjawab pertanyaan apakah daun katuk menurunkan kolesterol telur? Tesis itu menjawab dua pertanyaan, yaitu a) apakah daun katuk menurunkan kolesterol telur dan; b) mengapa daun katuk menurunkan kolesterol. Disertasi menjawab 3 pertanyaan, yaitu: a) apakah daun katuk menurunkan kolesterol telur?; b) mengapa daun katuk menurunkan kolesterol telur? Dan; c) bagaimana cara (mekanisme) daun katuk menurunkan kolesterol telur?Seringkali dosen pembimbing lupa akan hal tersebut, sehingga sering meminta mahasiswa meneliti lebih dari seharusnya. Apa alasannya? Pertama, mungkin dikarenakan ketidaktahuannya dan pengalamannya sebagai mahasiswa dulu juga seperti itu. Sebagai contoh, dosen pembimbing meminta mahasiswa S1 untuk menjawab selain apa juga mengapa. Kedua, dosen pembimbing sudah tahu hal ini tetapi dikarenakan ia menginginkan data penelitian lebih, maka ia memaksakannya pada mahasiswa bimbingannya. Mungkin sang dosen bermaksud data tersebut akan dipublikasikan dimana ia sebagai penulis utamanya. Mungkin juga dosen mempunyai alasan yang lain.

Apapun alasannya, sesungguhnya dosen tidak dibenarkan untuk memaksa mahasiswa di luar ketentuan atau kesepakatan yang berlaku. Jika menginginkan data yang lebih akurat dan lebih banyak untuk menjawab permasalahan yang ada, maka sebaiknya dosen membuat proposal penelitian sendiri dan mengajukannya ke Dikti atau ke penyandang dana lainnya. Ia harus berkompetisi untuk memperoleh dana penelitian.

Tabel 1.  Perbedaan Umum antara Skripsi, Tesis dan Disertasi

NoAspekSkripsiTesisDisertasi
1JenjangS1S2S3 (tertinggi)
2PermasalahanDapat diangkat dari pengalaman empirik, tidak mendalamDiangkat dari pengalaman empirik, dan teoritik, bersifat  mendalamDiangkat dari kajian teoritik yang didukung fakta empirik, bersifat sangat mendalam
3Kemandirian penulis60% peran penulis, 40% pembimbing80% peran penulis, 20% pembimbing90% peran penulis, 10% pembimbing
4Bobot IlmiahRendah – sedangSedang – tinggi.  Pendalaman / pengembangan terhadap teori dan penelitian yang adaTinggi, Tertinggi dibidang akademik.   Diwajibkan mencari terobosan dan teori baru dalam bidang ilmu pengetahuan
5PemaparanDominan deskriptifDeskriptif dan AnalitisDominan analitis
6Model AnalisisRendah – sedangSedang – tinggiTinggi
7Jumlah rumusan masalahSekitar 1-2Minimal 3Lebih dari 3
8Metode / Uji statistikBiasanya  memakai uji Kualitatif / Uji deskriptif, Uji statistik parametrik (uji 1 pihak, 2 pihak), atau Statistik non parametrik (test binomial, Chi kuadrat, run test), uji hipotesis komparatif, uji hipotesis asosiatif, Korelasi, Regresi, Uji beda, Uji Chi Square, dllBiasanya memakai uji Kualitatif  lanjut  /  regresi ganda, atau korelasi ganda, mulitivariate, multivariate lanjutan (regresi dummy, data panel, persamaan simultan, regresi logistic, Log linier analisis,  ekonometrika static & dinamik, time series ekonometrik) Path analysis, SEMSama dengan tesis dengan metode lebih kompleks, berbobot yang bertujuan mencari terobosan dan teori baru dalam bidang ilmu pengetahuan
9Jenjang Pembimbing/ PengujiMinimal MagisterMinimal Doktor dan Magister yang berpengalamanMinimal Profesor dan Doktor  yang berpengalaman
10Orisinalitas penelitianBisa replika penelitian orang lain, tempat kasus berbedaMengutamakan orisinalitasHarus orisinil
11Penemuan hal-hal yang baruTidak harusDiutamakanDiharuskan
12Publikasi hasil penelitianKampus Internal dan disarankan nasionalMinimal NasionalNasional dan Internasional
13Jumlah rujukan / daftar pustakaMinimal 20Minimal 40Minimal 60
14Metode / Program statistik yang biasa digunakanKualitatif / Manual, Excel, SPSS dllKualitatif lanjut / SPSS, Eview, Lisrel, Amos dllKualitatif lanjut / SPSS, Eview, Lisrel, Amos dll
Sumber :  Agung Wahyudi Biantoro,  Metode Penelitian Ekonomi Islam, 2009

Diberdayakan oleh Blogger.