Senin, 15 Juli 2013

Aquabisnis Ikan Hias

Ikan Hias / Ornamental Fish

Banyak harapan dan peluang yang dapat ditumbuh kembangkan di bidang aquabisnis salah satunya adalah pengembangan aquabisnis Ikan Hias. Kegiatan penanaman wawasan aquabisnis ikan hias ini dilakukan oleh Siswa Sekolah Usaha Perikanan Negeri Tegal jurusan Budidaya Perikanan dengan menggunakan pola Swakarya dan wirausaha.

 Pola ini bertujuan mengembangkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan dibidang usaha khususnya pembudidayaan ikan hias di kolam skala rumah tangga. Dalam kegiatan ini akan dilakukan secara kelompok, dimana setiap kelompok akan mempunyai tugas membudidayakan jenis ikan yang berbeda. Kegiatan dilakukan diluar jam pelajaran sekolah dan tidak menggunakan batasan waktu yang mengikat, mengingat dalam proses budidaya ikan hias ini kegiatannya dapat dilakukan pada pagi, siang, sore atau malam hari di bawah bimbingan guru kelompok Budidaya Perikanan.

Tujuan pelaksanaan Swakarya wirausaha ini adalah terbinanya dan berkembangnya pengetahuan di bidang usaha perikanan secara disiplin dan tanggung jawab, percaya diri, ulet serta disesuaikan oleh situasi dan kondisi iklim setempat. Pada hakekatnya tujuan pelaksanaan Swakarya dan Wira Usaha ini adalah :

1.Terbinanya dan berkembangnya pengetahuan, sikap dan ketrampilan siswa dalam berusaha khususnya Usaha aquabisnis ikan hias.
2.Siswa dapat mengembangkan disiplin, tanggung jawab, percaya diri dan ulet.
3.Terbinannya dan berkembangnya kemampuan siswa dalam menentukan pilihan usaha yang paling menguntungkan.
4.Terbinanya kemampuan siswa untuk mendapatkan dan memanfaatkan metode dalam pengembangan wira usaha.
5.Meningkatkan kegiatan belajar mengajar dan menyesesuaikan kegiatan pendidikan atas kebutuhan minat dan kemampuan siswa dan Mempererat hubungan antara siswa dan guru sesuai dengan bidang studi.

 Pengembangan wawasan aquabisnis ikan hias selalu memperhatikan beberapa aspek, antara lain meliputi (a) lingkungan strategis; (b) permintaan; (c) Sumberdaya dan (d) Teknologi.

Aspek Lingkungan Strategis

Banyak pengamat merasa yakin bahwa saat ini sedang terjadi perubahan di lingkungan bisnis global. Kawasan Asia Pasifik pada masa kini dan masa akan datang merupakan kawasan yang menjanjikan menggantikan kawasan Eropa. Dilihat dari pertumbuhan Real-GDP-nya, negara-negara kawasan Asia Timur menunjukan angka yang meyakinkan yaitu rata-rata sebesar 7,5% per tahun dan diproyeksikan akan mengalami pertumbuhan sebesar 7,6% sampai tahun 2005 nanti. Angka ini jauh melebihi angka pertumbuhan GDP negara-negara industri kaya sebesar 2,7%. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini diharapkan pula akan menambah peluang pasar bagi produk Ikan Hias. Dengan membaiknya perekonomian dan meningkatnya pendapatan suatu masyarakat disuatu sisi, diharapkan akan meningkatkan permintaan akan barang atau produk estetika sebagai upaya untuk rekreasi dan hubungan dari tekanan kehidupan sehari-hari. Hobby memelihara ikan hias disinyalir oleh beberapa pakar dapat menimbulkan efek relaksasi sehingga dengan semakin kompleksnya tingkat kehidupan akan dapat meningkatkan permintaan ikan hias baik di dalam maupun luar negeri.

Aspek Permintaan

Dari segi pemasaran, ikan hias mempunyai prospek yang sangat baik. Ekspor ikan hias Indonesia telah mencapai 37 negara sebanyak 3.323.307 Kg senilai US $9.139.531. Ekspor ikan hias ini meliputi ikan hias air tawar, air laut dan dalam bentuk benih. Adapun impornya seberat 13.863 Kg senilai US $ 131.023. Permintaan ikan hias cenderung naik, sejalan dengan membaiknya perekonomian dan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan terutama kesadaran tentang pentingnya relaksasi sebagai akibat meningkatnya tekanan hidup masa kini. Hal ini juga berlaku pada tanaman-tanaman hias sebagai pelengkap asesoris akuarium atau kolam. Peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan pangsa pasarnya masih cukup besar. Perminataan akan Exotic Ornamental Fish di pasar Internasional cukup tinggi. Pangsa pasar yang masih terbuka cukup lebar yaitu meliputi negara Jepang, Korea, Taiwan, Hongkong dan Singapura. Disamping itu pasar yang tidak kalah besarnya yaitu pasar dalam negeri sendiri (pasar domestik).

Aspek Sumberdaya

Secara potensial Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan sumberdaya terutama potensi kekayaan sumberdaya yang terkandung pada perairan yang sangat luas. Masalah yang dihadapi adalah bagaimana mengelola sumberdaya alam tersebut termasuk didalamnya memperluas “resource base” dan memanfaatkannya secara optimal. Namun demikian, menyadari besarnya potensi sumberdaya alam saja tidak cukup tanpa memahami potensi uasahanya, terlebih lagi dalam pengembangan aquabisnis ikan hias yang mempunyai kekhasan tersendiri sehingga perlu adanya penanaman wawasan dan pengembangan yang benar terutama dikalangan calon-calon usahawan ikan hias (siswa-siswa) SUPM Negeri Tegal.

Potensi yang tidak kalah besar dan pentingnya adalah sektor manusianya (si pelaku usaha). Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) khususnya jurusan Budidaya Perikanan yang merupakan penyedia sumberdaya manusia sudah saatnya mulai diberdayakan dalam rangka mencetak pelaku-pelaku usaha perikanan yang tengguh dan ulet terutama di bidang perikanan ikan hias. Di sisi lain pengembangan wawasan kewirausahaan dapat menimbulkan ketertarikan siswa/masyarakat terhadap usaha sendiri (swa karya) sehingga dapat mengurangi tingkat pengangguran, tanpa harus mengharapkan untuk bekerja di suatu perusahaan atau instansi pemerintah.

Aspek Teknologi

Pengembangan teknologi merupakan salah satu syarat keharusan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi dan diversifikasi produk dalam menumbuh kembangkan aquabisnis ikan hias di kalangan calon peternak/usahawan ikan hias (siswa SUPM). Pengembangan teknologi ini juga harus mempertimbangkan beberapa faktor yang penting terutama lahan, agroklimat, wilayah dan tingkat pendidikan pelaku usaha ikan hias itu sendiri.

Akhirnya dengan mengembangkan aquabisnis dikalangan siswa diharapkan para lulusan akan siap menghadapi tantangan yang berat di masa yang akan datang. Pada masa datang, dukungan sumberdaya manusia (lulusan SUPM) khususnya insan pembudidaya ikan yang mampu mengaktualisasikan dan mengadaptasi peranannya dalam setiap perubahan perkembangan akan menjadi tulang punggung pembangunan sektor perikanan budidaya. Semakin kuat dan tangguh kemampuan pembudidaya ikan dalam mengelola sumberdaya alam secara rasional dan efisien, menjadikan pembudidaya ikan dapat berperan sebagai Manager Aquabisnis yang berjiwa mandiri, berpengetahuan luas, trampil, cakap menilai peluang usaha dan dapat mengambil keputusan sendiri terhadap perubahan teknologi.

Guru saya: Khaerudin HS, SPi

Aplikasi Frekuensi Pemberian Pakan Buatan Secara Optimal Pada Budidaya Udang Windu Intensif Berkelanjutan

Abstrak Perkembangan teknologi dan usaha budidaya udang di tambak sejak beberapa tahun yang lalu membuat kebutuhan akan pakan buatan menjadi sangat esensial bagi kelangsungan dan peningkatan produksi udang. Program pemberian pakan pada budidaya udang windu merupakan langkah awal yang harus diperhatikan untuk menentukan baik jenis, ukuran frekuensi dan total kebutuhan pakan selama masa pemeliharaan. Salah satu faktor pengelolaan pakan pada kegiatan usaha budidaya udang windu adalah teknik dan aplikasi frekuensi pemberian pakan.ga Metoda yang diaplikasikan pada kegiatan perekaysaan ini adalah perlakuan frekuensi pemberian pada pada budidaya udang windu yang malsimal dan minimal dalam pemberian per hari. Tujuannya adalah : untuk mengetahui efektifitas dan efisiensi pemeberian pakan buatan pada usaha budidaya udang, mengetahui efisiensi penggunaan pakan selama pemeliharaan dan mengetahui nilai ekonomis udang hasil panen. Hasil yang diperoleh dari kegiatan ini, bahwa perlakuan frekuensi pemberian pakan yang menggunakan standar minimal dapat memberikan berat rata-rata sekitar 23,8 gram, SR 75,4% dan FCR 1,53 : 1 serta biomass 287,1 kg, sedangkan pada petak kontrol dengan frekuensi pemberian pakan yang menggunakan standar maksimal memberikan berat rata-rata 22,3 gram, SR 70,2 % dan FCR 1,76 : 1 serta biomass 250,5 kg. Frekuensi pemberian pakan yang tepat pada budidaya udang windu intensif dapat memberikan hasil yang cukup efektif, efisien, ekonomis dan berkelanjutan. Kata kunci : aplikasi, frekuensi, pakan buatan, optimal, windu, berkelanjutan I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan teknologi dan usaha budidaya udang di tambak sejak beberapa tahun yang lalu membuat kebutuhan akan pakan buatan (tambahan) menjadi sangat esensial bagi kelangsungan dan peningkatan produksi udang. Banyak pabrikan pakan buatan yang komersial bagi keperluan budidaya ikan/udang yang memproduksi secara besar-besaran. Hal ini sangat wajar, karena penerapan teknolgi budidaya ikan/udang akan survive dan eksis dalam usahanya apabila dalam proses produksinya sudah menggunakan pakan tambahan sepenuhnya dan diaplikasikan secara kontinyu. Kegiatan usaha budidaya air payau, khususnya tambak udang merupakan usaha yang proses produksinya hampir mencapai 60% menggunakan pakan formulasi buatan terutama pada teknolgi semi-intensif hingga superintensif. Namun dalam perkembangannya pada saat sekarang pemberian pakan pada teknologi budidaya udang sudah harus mempertimbangkan berbagai aspek yang bersifat efisiensi, efektif, ramah lingkungan dan udang yang diproduksi aman bagi konsumen. Keamanan pangan sudah merupakan suatu tuntutan dan tantangan agar udang yang dihasilkan dari kegiatan budidaya di tambak betul-betul bebas dari kandungan logam berat, antibiotik dan bakteri pathogen. Dengan sederet masalah yang menyertai budidaya udang, pada akhirnya yang menyangsikan keberlanjutan usaha ini. Bisnis ini telah memberikan banyak keuntungan dan manfaat yang signifikan, ternyata keberadaannya seringkali berkaitan dengan isu perusakan lingkungan, konflik kepentingan, isu penggunaan obat-oabatan, dan faktor sosial yang melibatkan berbagai unsur masyarakat (multi-sektoral). Berbagai faktor telah mendorong berkembangnya usaha budidaya udang, antara lain potensi keuntungan yang cukup besar, tingginya permintaan akan produk seafood, dan semakin berkurangnya produksi perikanan tangkap. Usaha ini telah menciptakan “multiplier effects” pada berbagai aktivitas produktif di masyarakat, misalnya usaha penangkapan/produksi induk, pembenihan, produksi pakan, pengolahan (cold-storage), mesin dan mekanik (machinery), dan berbagai jasa yang berkaitan dengan proses produksi. Sekarang ini, tidak kurang dari 30% produksi udang dunia dihasilkan dari budidaya tambak, dan angka ini cenderung terus meningkat dengan semakin banyaknya negara produsen yang berkecimpung dalam bisnis budidaya udang. Alternatif untuk meningkatkan produkstivitas udang nasional yang berwawasan lingkungan dan aman dikonsumsi serta diterima oleh pasar intensional adalah dengan cara budidaya ikan/udang yang baik. Tingkatan teknologi budidaya yang diterapkan tidak menjadi ukuran dalam menghasilkan udang untuk diterima di pasar internsional. Dalam proses peningkatan produksi tambak ini akan dilihat dari cara penerapan budidaya yang baik dan benar dalam hal ini manajemen dan pengelolaan pakan serta penggunaan pakan buatan yang aman dari kandungan logam berat dan antibiotik pada daging udang. Untuk itu, BBPBAP Jepara akan dan terus menigkatan kemampuan dan menghasilkan paket-paket teknologi budidaya udang yang ramah lingkungan dan keamanan pangan, salah satunya adalah rekayasa teknik aplikasi frekuensi pemberian pakan buatan secara optimal pada budidaya udang windu intensif yang berkelanjutan. Parameter frekuensi pemberian pakan buatan pada budidaya udang windu intensif yang akan diamati adalah : pertumbuhan, SR, FCR dan bakteri pathogen. Kerangka Pikir Komoditas perikanan budidaya tambak, terutama jenis udang masih merupakan komoditas unggulan dalam program eksport perikanan Indonesia (Anonim, 2007). Namun dalam perkembangannya bahwa komponen terbesar pada proses produksi terletak pada pakan tambahan(buatan) yang hampir mencapai 60% dari biaya produksi udang di tambak. Dalam upaya peningkatan produksi udang terdapat kendala, yaitu selain penyakit, lingkungan, kualitas benih, dan juga kualitas pakan. Pakan menempati porsi terbesar (60%) dari seluruh input produksi, hal ini menjadi kendala tersendiri bagi kelangsungan usaha budidaya. Pakan merupakan salah satu sumber bahan organik terbesar di tambak. Namun jumlah pakan yang dapat diasimilasikan dalam tubuh udang sangat rendah yaitu 13% karbon, 29% nitrogen, dan 16% posfor (Briggs et al. 2004) Rendahnya retensi nutrien pakan dalam bentuk biomas udang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : formulasi kurang optimal dan kualitas bahan baku yang digunakan, adanya kelebihan pakan serta rendahnya kestabilan pakan di air (Burford et al, 2001). Program pemberian pakan pada budidaya udang windu merupakan langkah awal yang harus diperhatikan untuk menentukan baik jenis, ukuran frekuensi dan total kebutuhan pakan selama masa pemeliharaan (Adiwidjaya et al, 2005). Nutrisi dan pemberian pakan memegang peranan penting untuk kelangsungan usaha budidaya hewan akuatik. Penggunaan pakan yang efisien dalam usaha budidaya sangat penting kerena pakan merupakan faktor produksi yang paling mahal (Andrews, et al. 1972). Oleh karena itu, upaya perbaikan komposisi nutrisi dan perbaikan efisiensi penggunaan pakan tambahan perlu dilakukan guna menigkatkan produksi hasil perikanan budidaya dan mengurangi biaya pengadaan pakan, serta meminimalkan produksi limbah pada media budidaya, sehingga dapat tercipta budidaya udang yang berkelanjutan (Adiwidjaya et al, 2005). Pengelolaan pakan harus dilakukan sebaik mungkin dengan memperhatikan apa, berapa banyak, kapan, berapa kali, dimana ikan/udang diberi pakan. Penerapan feeding ragim hendaknya disesuikan dengan tingkah laku kultivan, serta siklus alat pencernaan guna memaksimalkan penggunaan pakan (Tacon, A. 1987). Untuk mencapai sasaran dalam penggunaan pakan pada budidaya udang windu di tambak diperlukan pemahaman tentang nutrisi, kebutuhan nutrien dari kultivan, teknologi pembutan pakan, kemampuan pengelolaan pakan untuk setiap komoditas budidaya dan teknik aplikasi pemberian pakan (New, N.B., 1987). Salah satu faktor pengelolaan pakan pada kegiatan usaha budidaya udang windu adalah teknik dan aplikasi frekuensi pemberian pakan selama masa pemeliharaan. Untuk itu, para pembudidaya selalu berusaha menekan biaya produksi yang seefisien mungkin dari berbagai komponen produksi, salah satunya adalah dengan berbagai aplikasi dan teknik pemberian pakan tambahan/buatan pada budidaya udang.

Bahan Bakar Bernama Mikroalga

Peneliti Indonesia menemukan mikroalga yang melimpah di laut mengandung senyawa dasar pembentuk bahan bakar. Blue energy yang sebenarnya. Belakangan ini Mujizat Kawaroe sibuk bukan main. Sejak menemukan potensi sumber energi dalam mikroalga, ia punya setumpuk jadwal. Seminar dan presentasi berderet menanti. Telepon rumah dan se-lulernya tak henti berdering, baik dari pengusaha yang ingin mengajak be-kerja sama maupun dari kolega sesama peneliti yang ingin berbagi ilmu. Pada pertengahan bulan lalu, peneliti wanita dari Surfactant and Bioenergy Research Center Institut Pertanian Bogor ini terbang ke New Delhi, India, untuk mengikuti Algae Biofuel Summit 2008, yang dihadiri peneliti dari 13 negara. Pada November ini ia diundang ke Singapura, lalu ke Guangzhou, Cina, Desember mendatang, dan ke Malaysia pada awal tahun depan untuk memaparkan hasil penelitiannya. Apa yang diteliti Mujizat memang hal baru. Ia menemukan potensi sumber energi dalam mikroalga atau ganggang mikro, yang selama ini dikenal sebagai salah satu bahan dasar produk kosmetik atau farmasi. Namun, di tangan Mujizat, tumbuhan paling primitif berukuran renik ini baik sel tunggal maupun koloni disulap menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi, yakni sebagai sumber energi terbarukan. "Sebagai tumbuhan yang memiliki penyerapan fotosintesis, mikroalga ternyata bisa menghasilkan bioenergi," ucap Mujizat beberapa waktu lalu. Agar tak diserobot orang, dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, ini langsung mematenkan hasil risetnya di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual atas namanya pada April lalu. Ketertarikan Mujizat untuk melakukan riset terhadap mikroalga dimulai dua tahun lalu, tatkala pemerintah sedang giat-giatnya meneari energi alternatif. Sebagai seorang yang berkecim-pung di bidang kelautan, Mujizat lantas tergerak untuk menyumbangkan pemikirannya. Menara mikroalga di London. Melalui penelusuran literatur, diketahui bahwa bahan bakar minyak dan gas yang ada di dalam perut bumi juga berasal dari tumbuhan yang telah memfosil. Sebagai dosen mata ajaran tumbuhan laut, Mujizat lantas mencoba meneliti mikroalga, yang banyak mengandung lipid atau minyak organik. Mujizat menemukan bahwa dalam salah satu lipid mikroalga ini ternyata terdapat hidrokarbon, senyawa dasar pembentuk bahan bakar. Kandungan lipid dalam mikroalga diketahui 20 persen. Jumlah lipid dalam mikroalga me-mang masih bisa ditingkatkan dengan cara rekayasa genetis. Dalam beberapa penelitian terhadap mikroalga sebelumnya, rekayasa genetis bisa mening-katkan lipid hingga 50 persen. "Tapi penelitian itu bukan bertujuan mencari bioenergi," ucap Mujizat. Mikroalga merupakan tanaman yang paling efisien dalam menangkap dan memanfaatkan energi matahari dan C02 untuk keperluan fotosintesis. Selain itu, C02 dimanfaatkan untuk me-ningkatkan produktivitas. Keberadaan mikroalga sangat membantu dalam pencegahan terjadinya pemanasan global. "C02 dari industri daripada terbuang begitu saja lebih baik ditampung dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroalga ini." Terdapat empat kelompok mikroalga yang sejauh ini dikenal di dunia, yakni diatom (Bacillariophyceae), gang-gang hijau (Chlorophyceae), ganggang emas (Chrysophyceae), dan ganggang biru (Cyanophyceae). Keempat kelom¬pok mikroalga tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku bioenergi. Di Indonesia sendiri ada ratusan jenis mikroalga. Mujizat melakukan penelitian kandungan senyawa bioaktif mikroalga yang ideal sebagai bahan baku bioenergi, antara lain dari jenis chlorella dan dunaliella. Keduanya memiliki kan-dungan lemak tinggi, adaptif terhadap perubahan lingkungan, dan cepat laju pertumbuhannya. Chlorella memiliki kandungan lemak 14 hingga 22 persen dan karbohidrat 17 persen. Dunaliella memiliki kandungan lemak 6 persen dan karbohidrat 32 persen. Dalam penelitian lain diketahui bahwa minyak mentah mikroalga (crude alga oil) ternyata mengandung isochrysis galbana (20-35 persen) dan nanno-chloropsis oculata (31-68 persen). "Jadi, yang besar adalah jenis nano, ka-rena memiliki kandungan lemak yang tinggi. Ini sangat menggembirakan," ujar Mujizat. Proses pembuatan mikroalga menjadi bioenergi tak terlalu sulit. Langkah awal yang dilakukan adalah identifi-kasi dan isolasi mikroalga. Kemudian mikroalga dikembangbiakkan (kultivasi), yang hanya memerlukan waktu 7 sampai 10 hari. Setelah itu, mikroalga ini bisa dipanen. Proses selanjutnya, mikroalga disaring, dikeringkan, dan diekstraksi (pemisahan) menggunakan pelarut hexan atau diethyl ether untuk menghasilkan natan. Metode ekstraksi juga bisa dipilih menurut kebutuhan. Tahap berikutnya dilakukan pemurnian dan esterifi-kasi untuk mengurai lemak menjadi hi-drokarbon. Sebagai contoh, dalam 1 ton air kul-tivasi dapat dipanen 1 liter natan. Dari 1 liter ini bisa dihasilkan 150 gram alga bioenergi, atau jika digunakan untuk proses pembuatan ekstrak akan didapat 22 mililiter minyak. Jika diproses lagi, hasil ekstrak minyak ini setara dengan 200 mililiter. Biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan proses pembuatan bioener¬gi ini pun tak mahal. Ketika melakukan penelitian di Situbondo, Jawa Timur, Mujizat hanya menghabiskan uang Rp 2.000 untuk mendapatkan 1 liter air na¬tan guna menghasilkan air reaksi da¬lam penelitiannya. Setiap satu hektare mikroalga bisa menghasilkan 2 barel air yang mengandung mikroalga. Bayangkan bila pantai Indonesia yang panjangnya mencapai ribuan kilometer dimanfaatkan, tentu akan didapat jutaan barel air yang mengandung mikroalga sebagai bahan baku bioenergi. "Itu pun bisa ditingkatkan 5 sampai 6 kali dari kondisi sekarang, tentunya melalui beberapa proses," ujarnya. Inilah harapan baru bagaimana mikroalga bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku bioenergi terbarukan dan bahan bakar alternatif pengganti minyak, yang keberadaannya semakin tipis. "Saya akan terus melakukan penelitian sampai mendapatkan high performance alga oil," ujar Mujizat optimistis. Prospek mikroalga sebagai sumber energi masa depan diakui oleh para pengusaha kelas kakap dunia. Pendiri perusahaan peranti lunak Microsoft, Bill Gates, bahkan tertarik melakukan investasi dalam industri ini. Melalui Cascade Investment, manusia terkaya di dunia itu menanamkan investasinya di Sapphire Energy, perusahaan pembuat bioenergi dari mikroalga yang bermar-kas di San Diego, Amerika Serikat. Selain dari Bill Gates, Sapphire Energy mendapat suntikan dana dari Arch Venture Partners, Wellcome Trust, dan Venrock. Total investasi yang mereka benamkan mencapai US$ 100 juta. Dengan tambahan modal sebesar itu, Sapphire berencana membuat bioenergi 10 ribu barel per hari dalam tiga atau lima tahun mendatang. Bila para pengusaha dunia melihat pengembangan mikroalga sebagai bahan bioenergi sangat menjanjikan, su-dah saatnya pemerintah melalui De-partemen Kelautan dan Perikanan se-cara serius menggarap peluang ini. Inilah blue energy yang jelas lebih menjanjikan. Bukan blue energy jadi-jadian seperti kemarin dulu.

PEMATANGAN GONAD INDUK KERAPU BEBEK DENGAN PEMBERIAN VITAMIN C DAN E.

Abstrak Kerapu_BEBEKKecukupan dan mutu pakan bagi induk ikan merupakan faktor penting untuk memproduksi induk yang berkualitas baik, defisiensi nutrien esensial terutama asam amino, vitamin dan mineral dapat mengakibatkan perkembangan telur terhambat dan akhirnya tidak terjadi ovulasi. Vitamin C merupakan nutrien esensial bagi ikan. Vitamin ini berperan pada metabolisme asam lemak dalam tubuh yang selanjutnya akan menentukan kualitas telur dan larva ikan. Penambahan vitamin C dalam pakan induk ikan dapat meningkatkan kualitas telur dan larva. Selain vitamin C, vitamin E juga dibutuhkan untuk meningkatkan kesuburan dan meningkatkan waktu reproduk si induk ikan. Ujicoba pemberian vitamin C dan E pada pakan induk kerapu bebek berlang sung sejak bulan Pebruari hingga September 2010, kegiatan produksi telur dilakukan pada bak beton bulat volume 200 m3. Induk ikan kerapu bebek yang digunakan ber jumlah 24 ekor dengan berat antara 1.5 – 4 kg. Pakan harian induk berupa ikan ku niran, cumi-cumi dan ikan layang diberikan setiap minggu bersamaan dengan pem berian vitamin C dan E dengan cara dimasukkan ke dalam tubuh cumi atau mulut ikan Penggantian air dilakukan antara 100-200 % / hari. Dari hasil ujicoba pemberian vitamin tersebut, induk kerapu bebek mulai memi jah mulai bulan Maret 2010, telur yang dihasilkan berjumlah 3.547.00.000 butir. Selan jutnya mulai terjadi penurunan jumlah telur sejak bulan April sampai Agustus 2010 demikian pula jumlah hari pemijahan hanya 5 – 6 hari, mulai bulan September tidak terjadi peneluran lagi.

Perkembangan Perekayasaan Pemuliaan Induk Udang Windu di BBPBAP - Jepara

Kegiatan produksi calon induk udang windu merupakan rangkaian proses domestikasi dan pemuliaan untuk menghasilkan induk unggul.  Program domestikasi adalah langkah atraktif yang harus ditempuh untuk menghasilkan benih unggul yang berasal dari induk unggul setelah perbaikan system budidaya tidak mampu menjadi solusi dalam mengatasi masalah penyakit.  Meski lambat dimulai dibandingkan dengan vaname, proses domestikasi telah menghasilkan beberapa acuan baik dari sisi genetic engineering maupun pola seleksi konvensional untuk membuat sebuah broodstock center udang windu.  Pada saat sekarang program seleksi telah mengasilkan generasi ke – 4, dengan masing – masing masa pemeliharaan selama 18 bulan untuk setiap generasi.  Perbaikan kualitas utamanya kemampuan bereproduksi menjadi target perekayasaan untuk tahun – tahun mendatang.  Perekayasan akan lebih difokuskan pada perbaikan nutrisi maupun kesesuaian media pemeliharaan termasuk penerapan biosekuriti yang lebih sempurna.  Tujuan akhir dari proses domestikasi adalah induk bebas penyakit yang  dapat mengasilkan benih yang dapat tumbuh cepat. Guna mengakselerasi pencapaian hasil telah terbentuk sebuah jaringan yang beranggotakan beberapa UPT Pusat DJPB (BBPBAP Jepara, BBAP Takalar, BBAP Ujung bate) yang didukung oleh Balai Riset Perikanan Budidaya (Gondol, Maros).  Balai riset akan lebih banyak mendukung pada porsi engineering genetic termasuk mendapatkan gen marker untuk sifat tumbuh cepat serta trans genik untuk sifat WSSV resisten.  Pada akhirnya hasil dari kegiaatan seleksi konvensional dan genetic engineering akan dipadukan untuk mendapatkan sebuah produk dengan kategori unggul.

Strategi pemuliaan


Calon induk windu F-4 yang dihasilkan saat ini berasal dari seleksi induvidu yang dimulai dari generasi I, II dan III.  Populasi dasar yang digunakan adalah populasi yang berasal dari beberapa daerah penangkapan dengan keragaman genetik lebih tinggi.  Dari beberapa populasi itulah, kemudian di”blending” untuk mendapatkan populasi dasar.  Sejumlah proses termasuk kegiatan koleksi induk, karakterisasi dan inventarisasi sumber daya genetik dan koleksi kandidat terpilih dipertimbangkan untuk mendapatkan populasi dasar. Setidaknya terdapat lima sistem seleksi yang disepakati yakni seleksi individu, famili, super Health, Survivor dan Hibridisasi, namun baru seleksi individu yang dilaksanakan karena ketersediaan fasilitas yang masih dalam pembenahan.  

Hasil Kegiatan

Pembesaran calon induk dari generasi pertama hingga ke 4 dilakukan di tambak dengan sistem berpindah.  Secara keseluruhan lingkungan tambak yang digunakan dengan penerapan “farm level biosecurity” mampu mendukung sistem pemeliharaan terututama dalam hal mengeleminasi peluang masuknya organisme pathogen.  Dari sisi pertumbuhan calon induk, sistem yang digunakan dapat mendorong tingkat pertumbuhan dengan rata – rata ADG sekitar 0.3 pada setiap generasi.  Kualitas induk yang dihasilkan lewat proses domestikasi masih lebih rendah dari induk alam bila dibandingkan dengan tolok ukur respon terhadap ablasi, fekunditas serta daya tetas telurnya.   Respon terhadap ablasi lebih lambat, terlihat dari jumlah hari yang dibutuhkan untuk matang gonad setelah ablasi.   Fekunditas rata-rata per ekor induk berkisar 300.000 butir untuk ukuran induk 150 gram pada setiap generasi.  



Gambar 1.  Penampilan induk windu hasil domestikasi

Tidak adanya perbedaan fekunditas lebih disebabkan oleh penggunaan calon induk dengan berat tubuh sepadan.  Daya tetas telur pada generasi ke dua dan ke tiga  jauh lebih tingi dibandingkan  dengan generasi pertama.  Belum diketahui secara pasti apakah terdapat pengaruh generasi atau efek dari pengelolaan pakan ataupun lingkungan yang lebih baik.


    
Gambar 1.  Daya tetas telur windu hasil domestikasi pada setiap generasi.
   
Terlihat hal yang berbeda cukup nyata pada hasil pemeliharaan larva hingga stadia PL-12.  Peningkatan kelangsungan hidup larva dari telur yang dihasilkan terjadi pada setiap generasi.  Pada penggunaan induk generasi I kelangsungan hidup larva tercatat hanya sekitar 10 %, dan meningkat menjadi 25% dan 55% pada penggunaan induk generasi ke dua dan tiga.  Pengaruh seleksi juga terlihat dari pertumbuhan benih yang dhasilkan bila dibandingkan dengan benih non-seleksi.
   
       

Gambar 2.  Kelangsungan hidup larva dari induk hasil domestikasi yang terlihat meningkat setiap generasi (a);  Perbandingan pertumbuhan benih dari induk non seleksi (NS) dan induk hasil domestikasi serta seleksi (S) pada 3 bulam pertama masa pemeliharaan di tambak (b).

Sumber : Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau - Jepara

Pengaruh Dosis Ekstrak Daun Sirih (Piper Betle L.) dan Padat Tebar Terhadap Kelulusan Hidup Benur Udang Windu (Penaeus Monodon) Yang Diinfeksi Penyakit Kunang-Kunang (Vibrio Harveyi)

Udang windu (Penaeus monodon fab.) merupakan komoditas perikanan yang telah berkembang. Upaya untuk meningkatkan produksi serta penanganan penyakit masih terus dilakukan.

Kendala yang dihadapi dalam usaha pembenihan udang adalah penyakit yangg ditimbulkan oleh kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan kehidupan udang. Kepadatan yang tinggi tanpa diiringi dengan suplai oksigen yang cukup akan menyebabkan stress pada udang sehingga memudahkan udang terserang penyakit. Pada tambak intensif dengan kepadatan tinggi biasanya menggunakan kincir sebagai suplai oksigen. Hal ini dapat menanggulangi stress pada udang.

Penyakit infeksi pada udang dapat disebabkan oleh virus dan bakteri. Bakteri yang sering menimbulkan penyakit di panti pembenihan udang adalah Aeromonas sp., Vibrio sp., Pseudomonas sp., dan Mycobacterium sp. Jenis bakteri dari golongan Vibrio harveyi merupakan bakteri yang paling sering menimbulkan kematian massal dalam waktu yang relatif singkat. Bakteri ini menyerang larva udang di panti-panti pembenihan maupun udang yang dibudidayakan di tambak dan dikenal dengan nama penyakit kunang-kunang atau penyakit udang menyala. Udang yang terinfeksi bakteri ini akan bercahaya dalam keadaan gelap dan biasanya menyerang larva pada stadium zoea, mysis dan post larva.

Upaya penanggulangan penyakit kunang-kunang ini telah dilakukan dengan pemberian berbagai macam antibotik. Pemberian antibiotik secara terus menerus memberikan dampak negatif pada larva udang karena akan meninggalkan residu dalam tubuh dan menyebabkan resistensi terhadap V. Harveyi.

Alternatif pemecahan untuk mengatasi permasalahan penyakit kunang-kunang selain dengan penggunaan antibiotik adalah dengan pemanfaatan bahan-bahan dari alam berupa tanaman obat yang memiliki khasiat bakterisida dan tidak membahayakan manusia.

Sirih (Piper bettle L) merupakan tanaman yang berkhasiat sebagai bahan obat. Penggunaan sirih untuk mengobati berbagai macam jenis penyakit telah dilakukan beberapa puluh tahun yang lalu secara tradisional. Penggunaan sirih sebagai bahan obat mempunyai dasar yang kuat karena adanya kandungan minyak atsiri dengan komponen phenol alam yang mempunyai daya anti septik yang kuat.

Daun sirih berkhasiat sebagai penahan pendarahan, obat luka pada kulit, memperbaiki selera makan dan rasa, juga berfungsi sebagai antiseptik, bakterisida dan fungisida. Kandungan kimia yang terdapat dalam daun sirih yatiu saponin yang berguna sebagai anti radang, flavonoida dan polifenol sebagai antiseptik dan anti radang, serta minyak atsiri yang berguna sebagai anti radang dan bersifat bakterisida yang sangat kuat.

Pakan yang diberikan sebanyak 25% dari bobot benur udang. Sehingga untuk menentukan jumlah pakan yang diberikan , benur udang ditimbang terlebih dahulu. Pada setiap kg pakan yang akan diberikan kepada udang dicampurkan dengan 20 mg, 30 mg dan 40 mg ekstrak daun sirih.

Benur udang dipelihara selama 14 hari dengan diberi pakan yang telah dicampur dengan ekstrak daun sirih. Pemberian pakan dilakukan tiga kali yaitu pada pukul 06.00, 12.00 dan 18.00 WIB. Pemberian pakan dilakukan dengan cara menaburkan pakan dengan pakan.

Pada pemeliharaan hari ke-7, pada setiap wadah penelitian dimasukkan bakteri V.Harveyi dengan kepadatan 109 sel/ml. Pengamatan kelulusan hidup dilakukan sejak benur udang diinfeksi V.harveyi yaitu dengan mecatat jumlah benur udangyang hidup.

Permasalahan yang dihadapi sekarang dalam penggunaan daun sirih yaitu belum diketahuinya dosis dan kepadatan yang terbaik untuk meningkatkan kelulusan hidup benur udang windu yang terinfeksi V.harveyi.

Dari uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian tentang penggunaan ekstrak daun sirih dan padat tebar yang berbeda terhadap kelulusan hidup benur udang windu (P.monodon Fab) yang terserang penyakit kunang-kunang (V.harveyi).

Metoda yang digunakan dalam percobaan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan faktor A (Ekstrak daun sirih) terdiri dari 4 taraf perlakuan yaitu A1(kontrol), A2 (20mg/kg) dan faktor B (padat tebar benih) terdiri dari 3 taraf perlakuan yaitu B1 (10 ekor/wadah), B2 (15 ekor/wadah), B3 (20 ekor/wadah) dengan masing-masing 3 ulangan, maka diperoleh kombinasi perlakuan kombinasi perlakuan A x B (4x3) 12 Perlakuan dan 3 kali ulangan sehingga wadah yang digunakan dalam percobaan (12 x 3) sebanyak 36 wadah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun sirih mempunyai daya anti bakteri terhadap Vibrio Harveyi dan perlakuan dosis ekstrak daun sirihyang terbaik adalah pada dosis 40 mg/kg Pakan dengan rata-rata Kelulusan hidup 73,148%. Saran dari Penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang jenis benur udang, Frekuensi pemberian pakan, sumber benur udang dan yang mempengaruhi penyakit.

STRATEGI MUSIM TANAM KOMODITAS BUDIDAYA TAMBAK

PENDAHULUAN
Strategi musim tanam yang tepat pada usaha komoditas budidaya di tambak, khususnya udang merupakan salah satu keberhasilan dalam produksi lencapai ketingkat yang optimal. Kegagalan (panen premateur) tersebut, selain akibat penyakit yang bersifat massal dan mematikan in pula para petambak salah dalam memilih waktu tanam.

Periode musim dalam satu tahun di Indonesia dikenal 2 musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Kaitannya dengan musim tanam ini, ia usaha budidaya udang diperlukan kecermatan untuk memprediksi peluang keberhasilan yang maksimal. Dengan demikian, informasi ini diharapkan akan memberi gambaran secara umum tentang musim tanam yang tepat untuk kegiatan usaha budidaya di tambak.

Tujuan dari infornasi ini adalah : 1) Petambak agar memperoleh informasi musim tanam yang tepat untuk kegiatan usaha komoditas budidaya di tambak; 2) Sebagai pedoman dan petunjuk bagi petambak dalam melakukan proses produksi budidaya komoditas tambak; dan 3) Membantu petambak agar mampu memprediksi musim tanam yang tepat. Sedangkan yang dicapai sebagai berikut :1) mengoptimalkan lahan dalam musim tanam yang tepat; 2)Memperoleh hasil (produksi) yang optimal; dan 3) dapat memperoleh keuntungan yang pasti setiap mengoperasionalkan tambaknya (jaminan > 80 %).

MUSIM
Indoesia mempunyai dua musim, yaitu penghujan dan kemarau. Kedua musim ini secara langsung mikroklimat yang berbeda, dalam hal ini mikroklimat tambak untuk kegiatan usaha budidaya. Kedua musim tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan bagi organisma (biota) air idayakan (Tabel 1). Maka   dengan    kondisi demikian petambak secara cermat harus mewaspadai dan memilih musim tanam yang tepat sesuai komoditas budidaya tambak yang akan diusahakan.


DAMPAK BEBERAPA PARAMETER KUNCI
KUALITAS AIR
Salinitas
Untuk tumbuh dan berkembangnya organisme yang dibudidayakan mempunyai toleransi optimal. Kandungan salinitas air terdiri dari garam-garam mineral yang banyak manfaatnya untuk kehidupan organisme air laut atau payau. Sebagai contoh kandungan calcium yang ada berfungsi membantu proses mempercepat pengerasan kulit udang setelah moulting. Salinitas air media pemeliharaan yang tinggi (> 30 ppt) kurang begitu menguntungkan untuk kegiatan budidaya udang windu. Karena jenis udang windu akan lebih cocok untuk pertumbuhan optimal berkisar   antara 5-25 ppt.

Tingginya salinitas untuk kegiatan usaha budidaya udang windu akan mempunyai efek yang kurang menguntungkan, diantaranya : 1) agak sulit untuk ganti kulit (kulit cenderung keras) pada saat proses biologis bagi pertumbuhan dan perkembangan; 2) kebutuhan untuk beradaptasi terhadap salinitas tinggi bagi udang windu memerlukan energi (kalori) yang melebihi dari nutrisi yang diberikan; 3) bakteri atau vibrio cenderung tinggi; 4) udang windu lebih sensitif terhadap goncangan parameter kualitas air yang lainnya dan mudah stres; dan 5) umumnya udang windu sering mengalami lumutan. Selain itu, pada saat puncak musim kemarau jenis udang umumnya akan lebih mudah terserang oleh penyakit SEMBV (White spot).
Suhu air
Suhu pada air media pemeliharaan udang umumnya sangat berperan dalam keterkaitan dengan nafsu makan dan proses metabolisme udang. Apabila suatu lokasi tambak yang mikroklimatnya berfluktuatif, secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap air media pemeliharaan. Sebagai contoh pada musim kemarau yang puncaknya mulai bulan Juli hingga September sering terjadi adanya suhu udara dan air media pemeliharaan udang yang sangat rendah (< 24° C). Rendahnya suhu tersebut akibat dari pengaruh angin selatan (musim bediding), pada musim seperti ini biasanya suhu air berkisar antara 22 - 26° C. Suhu < 26° C bagi udang windu akan sangat berpengaruh terhadap nafsu makan (bisa berkurang 50 % dari kondisi normal). Sedangkan bagi jenis udang putih pada umumnya, nafsu makan masih normal pada suhu air antara 24- 31°C.

Tinqkat kekeruhan air
Tingkat kekeruhan air, baik air sumber maupun air media pemeliharaan mempunyai dampak yang positif dan negatif terhadap organisme yang dibudidayakan, dan setiap organisme mempunyai toleransi tingkat kekeruhan yang berbeda pula. Sebagai contoh bagi jenis kerang hijau masih dapat hidup normal dan tumbuh baik pada tingkat kekeruhan yang tinggi, sementara rumput laut pada umumnya memerlukan tingkat kekeruhan yang rendah. Bahan organik yang menumpuk dalam jumlah yang banyak (tebal) termasuk tempat bakteri dan vibrio yang merugikan bagi udang.
Bila air sumber yang digunakan untuk kegiatan budidaya banyak membawa material organik akibat limbah kiriman dari darat, maka secara tidak langsung akan berpengaruh negatif terhadap biota air yang dipelihara di tambak. Tingkat kekeruhan yang tinggi (limbah dari darat) sering terjadi pada musim penghujan, dimana material yang terbawa berupa cair, padat dan gas. Namun untuk mengendalikan air keruh akibat limbah bawaan tersebut masih dapat digunakan untuk kegiatan budidaya tambak, khususnya udang.
Jenis dan kemelimpahan plankton
Keberadaan plankton dalam air media pemeliharaan organisme, khususnya jenis fitoplankton yang menguntungkan dan persentase dominanasi (keseimbangan) sangatlah dibutuhkan, baik dari segi keanekaragaman maupun kemelimpahannya. Fungsi dan peran plankton pada air media pemeliharaan diantaranya adalah : 1) sebagai pakan alami untuk pertumbuhan organisme yang dipelihara; 2) sebagai penyangga (buffer) terhadap intensitas cahaya matahari; dan 3) sebagai bio-indikator kestabilan lingkungan air media pemeliharaan.


Kaitannya dengan kedua musim yang ada ini, keanekaragaman (jenis) maupun kemelimpahan plankton akan sangat berbeda antara musim kemarau dan musim penghujan. Pada musim kemarau yang salinitasnya relatif tinggi (>35 ppt) penumbuhan plankton pada saat persiapan air media hingga umur pemeliharaan satu bulan pada umumnya sangat sulit untuktumbuh dan dalam kondisi populasi yang stabil.

Kemelimpahan bakteri, vibrio dan virus
Kemelimpahan berbagai jenis baketri, vibrio dan virus pada musim kemarau akan lebih membahayakan bagi udang (organisme) yang dipelihara bila dibandingkan pada musim penghujan. Pada salinitas tinggi, penampakan secara visual di lapangan lebih sulit untuk dilihat dan diketahui secara pasti terserang oleh jenis virus atau bukan. Sedangkan pada musim penghujan (salinitas cukup optimalberkisar antara 5 - 25 ppt) kemelimpahan virus relatif berkurang. Hal yang pasti dari kasus ini adalah bahwa bukan tidak adanya virus yang berbahaya melainkan kondisi udang realtif lebih tahan terhadap serangan penyakit, namun tetap petambak harus waspada.

JADWAL MUSIM TANAM SESUAI KOMODITAS BUDIDAYA DI TAMBAK
Gambaran jadual musim tanam bagi para petambak tercantum pada Tabel 2


Informasi Selanjutnya Hubungi:Divisi Pembesaran UdangBBPBAP Jepara, PO. Box 1Telp. (0291)591125,Fax:(0291)591724Jepara.

Rabu, 10 Juli 2013

Peran Teknologi Nuklir Menunjang Ketahanan Pangan Nasional

Jakarta-Ketersediaan  pangan di Indonesia selalu menjadi masalah krusial setiap tahunnya. Beberapa komoditi pangan seperti beras, daging dan kedelai memaksa pemerintah harus melakukan impor disebabkan produksi nasional tidak mencukupi. Bahkan untuk gandum ketersediaannya 100 persen impor. Gandum, bahan pembuat roti dan mie,sangat digemari oleh masyarakat Indonesia akhir-akhir ini.
Khusus untuk kebutuhan beras pada tahun 2014 sebesar 33.013.214 ton. Dengan kebutuhan beras sebesar 33 juta ton pada tahun 2014, maka apabila harus ada surplus 10 juta ton sebagai cadangan, berarti harus ada produksi beras minimal 43 juta ton. Bila produksi beras tidak memenuhi kebutuhan pangan nasional, maka pemerintah terpaksa impor.
Tidak terpenuhinya ketersediaan pangan di Indonesia oleh produksi nasional, penyebabnya antara lain meningkatnya jumlah penduduk, alih fungsi lahan dari pertanian menjadi lahan non pertanian, seperti jalan, perumahan, pabrik dan lain sebagainya. Kondisi cuaca yang tidak menentu juga mempunyai pengaruh terhadap turunnya produksi hasil pertanian  pangan nasional.
Dalam kondisi seperti ini tentunya pemerintah tidak tinggal diam dan terus berupaya agar kebutuhan pangan nasional tercukupi dengan cara berswasembada pangan dari hasil produksi dalam negeri. Kalau pun harus impor itu ditekan seminimal mungkin kuantitasnya.
Untuk mengurangi impor serta untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, produksi beras dalam negeri harus ditingkatkan. Demikian pula dalam memenuhi kebutuhan akan tanaman penghasil karbohidrat lain yang dapat dikembangkan menjadi bahan diversifikasi pangan di Indonesia.
Upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, satu di antaranya dengan memperhitungkan pemanfaatan teknologi nuklir, seperti yang dilakukan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Teknik yang digunakan adalah melakukan pemuliaan tanaman dengan teknologi mutasi radiasi.
Inovasi teknologi nuklir di bidang pertanian telah terbukti mampu membantu pemerintah dalam penyediaan benih berkualitas. Benih tersebut antara lain padi, kedelai, sorgum, kacang hijau,dan gandum. Benih berkualitas harus memiliki keunggulan, antara lain daya hasil yang tinggi atau berlimpah, berumur pendek, tahan terhadap hama penyakit dan kekeringan.
Tingkat produktivitas padi varietas hasil pemuliaan mutasi radiasi rata-rata menghasilkan 7 ton per hektar, bahkan potensinya diatas 9 ton per hektar. Sedangkan rata-rata produksi padi nasional hanya sebesar 5,01 ton per hektar. Varietas hasil litbang BATAN telah mencapai 10 persen jumlah varietas unggul tanaman pangan dan telah ditanam di lahan seluas 3 juta hektar sejak tahun 2000. Sampai saat ini, BATAN telah menghasilkan 20 varietas unggul padi, 6 varietas kedelai, 1 varietas kacang hijau. “Selain itu juga sudah direkomendasikan untuk dilepas 2 varietas kedelai sangat genjah, 1 varietas sorgum dan gandum, kita tinggal menantikan SK Menteri Pertanian saja”, kata Dr. Sobrizal, peneliti pertanian BATAN. Diharapkan sorgum bisa menggantikan posisi gandum sebagai bahan pembuat mie instan,
BATAN dengan teknologi nuklir tidak saja meningkatkan potensi pangan utama, seperti beras, tetapi juga menggali potensi sumber-sumber pangan  baru yang selama ini terabaikan, seperti sorgum yang sudah dikenal sebagai bahan pangan pokok sejak ratusan tahun lalu di kawasan Indonesia Timur.
Untuk menggali dan mengembangkan potensi sumber-sumber pangan baru di Indonesia yang luas ini, BATAN memperhatikan  kondisi tanah yang sangat beragam dan disesuaikan dengan kearifan lokal. Satu tanaman unggul di suatu tempat belum tentu akan tumbuh baik di tempat lainnya. Contoh, salak pondoh mungkin hanya bisa tumbuh bagus dan berkualitas di Yogyakarta dan sekitarnya, namun tidak akan tumbuh dan berbuah bagus jika ditanam di Jakarta. Masing-masing daerah mempunyai kondisi tanah dan iklim yang berbeda-beda.
Semestinya kita bersyukur dengan kondisi alam demikian itu semua jenis tanaman pangan bisa tumbuh. Untuk daerah yang basah dan curah hujan yang cukup banyak bisa ditanami padi, dan daerah yang tanahnya kering bisa digunakan untuk bertanam sorgum.
Untuk tanaman gandum yang harus tumbuh di kawasan beriklim dingin, BATAN kini tengah mengembangkan gandum tropis dataran rendah. Saat ini satu varietas gandum yang diberi nama Ganesa (gandum Indonesia) siap untuk dilepas dan menunggu SK Menteri Pertanian.
Pemanfaatan teknologi nuklir di bidang kesehatan dan reproduksi ternak juga berperan untuk meningkatkan produksi daging dan susu. BATAN, mempunyai kelompok penelitian yang terkait dengan kesehatan dan reproduksi ternak. Salah satu kegiatannya membuat vaksin iradiasi untuk mencegah penyakit Fasciolosis (cacing hati pada ternak ruminansia) pada sapi agar tidak terjadi penurunan volume daging atau susu pada sapi. Proses pembuatan vaksin ini sedang diupayakan untuk mendapatkan paten. Saat ini juga diupayakan pembuatan vaksin mastitis (radang kelenjar susu), serta teknik nuklir pembuatan vaksin iradiasi Brucellosis untuk mencegah penyakit keguguran menular pada sapi betina.
Peran teknologi nuklir lainnya dalam reproduksi yang disebut radioimunoassay (RIA), untuk memperbaiki penampilan reproduksi ternak ruminansia. Dengan menggunakan teknologi ini kita bisa memperbaiki manajemen reproduksinya. Tanpa teknologi ini, reproduksi dan angka kelahiran ternak tidak menentu, bahkan setahun sekali belum tentu.  Upaya BATAN lainya untuk berperan dalam meningkatkan produksi ternak  melalui pembuatan formula pakan berkualitas.
Sedangkan untuk perikanan digunakan hormon methyl testosteron alami untuk  pejantanan ikan dan Suplemen Pakan Ikan (SPI)  agar dia bisa lebih lincah dan gemuk. Teknologi inipun sudah diaplikasikan ke masyarakat di berbagai daerah di Indonesia.
Keragaman yang ada di alam pada prinsipnya berdasarkan mutasi alam atau mutasi spontan. Mutasi alam memerlukan proses panjang sampai waktu ratusan bahkan ribuan tahun. Pemuliaan mutasi dengan sinar gamma bisa mempercepat mutasi lebih cepat dan tentu saja aman.
Semua produk hasil litbang BATAN baik di bidang pertanian, peternakan, dan perikanan tidak menimbulkan efek samping bagi konsumen.(adv)

Selasa, 09 Juli 2013

Institut Kelautan dan Perikanan Nasional Mulai Dibangun

KARAWANG, KOMPAS.com -- Institut Kelautan dan Perikanan Nasional (IKPN) di Karawang, Jawa Barat, mulai dibangun. IKPN merupakan pengembangan dari Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Karawang.
Tahap awal pembangunan gedung ditinjau Menteri Kelautan dan Perikanan  Sharif Cicip Sutardjo dan Menteri Perumahan Rakyat  Djan Faridz, Kamis (20/9/2012).
Cicip mengatakan, peningkatan status kampus STP menjadi IKPN di Karawang merupakan langkah mencetak sumber daya manusia yang kompeten dan memenuhi standar sertifikasi dunia industri, serta untuk menopang keberhasilan industrialisasi kelautan dan perikanan.
"Keberadaan kampus ini selain untuk mengembangkan SDM kelautan dan perikanan, ditujukan pula untuk memberi multiplier effect bagi pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Karawang," ujarnya.
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, Sjarief Widjaja mengemukakan, pengembangan pendidikan vokasi mengacu pada konsep teaching factory, yakni peserta didik dapat melaksanakan praktik sesuai dengan kondisi dunia kerja pada industri kelautan dan perikanan yang sesungguhnya, dengan persentase 70 persen praktik dan 30 persen teori.
Rusunawa
Kampus itu juga akan dilengkapi rumah susun sederhana sewa (rusunawa) bagi mahasiswa. Pembangunan rusunawa tersebut menjadi bagian dari master plan pembangunan kampus STP di Karawang.
Pembangunan rusunawa bagi mahasiswa IKPN Karawang merupakan tindak lanjut dari Kesepakatan Bersama Kemenpera dan KKP pada Februari 2012 tentang Pengadaan Perumahan di Lingkungan KKP.
STP merupakan salah satu lembaga pendidikan dalam lingkup KKP, di samping tiga akademi perikanan dan sembilan sekolah usaha perikanan menengah di berbagai daerah di Indonesia.
Cicip mengharapkan, pembangunan IKPN mendorong akselerasi peningkatan produksi dan nilai tambah produk kelautan dan perikanan yang memiliki daya saing, serta menjadi penggerak pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat.
Perekrutan peserta didik meliputi 40 persen anak pelaku utama (nelayan, pembudidaya dan pengolah ikan, dan petambak garam), 40 persen masyarakat umum, dan 20 persen kerja sama instansi terkait. Sistem pendidikan kelautandan perikanan yang berbasis vokasi diharapkan mampu mencetak tenaga kerja siap bekerja sesuai bidangnya dalam memenuhi kebutuhan pasar kerja.

Senin, 08 Juli 2013

Cegah Udang Panen Dini Akibat EMS

Hari ini adalah jadwal Dedi Widjanarko memanen udang dari tambak. Itu artinya, tambak udang miliknya yang berada di Pangandaran, Jawa Barat tersebut hari ini akan membuang air sisa budidaya ke saluran. Jauh hari rencananya ini sudah dikomunikasikan dengan para pemilik tambak udang di sekitarnya yang memiliki satu jalur sumber air dengan dia. Sehingga hari ini tak satu pun tetangganya memasukkan air ke dalam tambak masing-masing. Tambak yang membutuhkan pasokan air akan mengambil air sebelum Dedi melakukan panen. Disebut Dedi, di blok tersebut terdapat 16 petambak dengan satu jalur sumber air. “Dan itu air muara, jadi lebih rawan,” kata dia. Para petambak ini tergabung dalam satu kelompok atau yang biasa dikenal juga dengan istilah cluster. Dedi yang juga Sekretaris Jenderal Shrimp Club Indonesia (SCI) daerah Jawa Barat-Banten menandaskan, deteksi dini penyakit di suatu wilayah dimulai setidaknya dengan adanya komunikasi antar petambak dalam satu blok atau satu jalur air. “Saling memberikan informasi mengenai kemunculan penyakit, waktu buang air panen, dan waktu pengambilan air,” terang Dedi. Sistem ini sudah berjalan di daerahnya, dan sejauh ini ia mengaku tidak ada masalah penyakit. Disiplin dan kekompakkan dari semua petambak, tandas dia, menjadi penting. Dan untuk itu diperlukan koordinasi dan komunikasi secara rutin. Andi TamsilSekretaris Jenderal Shrimp Club Indonesia (SCI)menggambarkan, usaha tambak udang itu unik dan berbeda dengan bisnis lain. Alih-alih bersaing, antar tambak harus saling jaga,dan saling membantu. “Prinsip dalam bertambak, kalau mau selamat maka yang sebelah harus selamat,” ujarnya di sela-sela acara Forum Inovasi dan Teknologi Akuakultur (FITA) 2013 di Lombok (12/6). Saling terbuka menjadi keharusan. Tak hanya jadwal panen, kemunculan kasus penyakit di tambak pun mutlak diinformasikan kepada tetangga. Cluster vs Penyakit Penyakit, tengah menjadi isu sentral dunia perudangan. Bagaimana menjadikan bisnis ini berkelanjutan. Terlebih, perudangan dunia tengah dibuat “galau” akan wabah Early Mortality Syndrome(EMS) yang melanda Thailand dan Vietnam. Menjadi keharusan bagi pelaku perudangan Indonesia untuk waspada, dan melakukan segala upaya agar terproteksi dari ancaman EMS. Pengetatan biosekuriti, deteksi dini penyakit dan penerapan cara-cara budidaya yang baik menjadi tuntutan tak terelakkan. Dan sistem cluster dengan satu manajemen bersama sangat berguna bagi pencegahan dan pengendalian penyakit, sertaakan mengoptimalkan hasil panen. Sistemini menjadikan pengawasan lebih mudah. Setiap anggota kelompok saling kontrol, dan menjadi lebih sistematis karena memiliki struktur organisasi, seperti adanya manajer administrasi, manajer teknis, dan tenaga teknis lainnya. Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan & Perikanan (KKP), Slamet Soebjakto mengistilahkan pengelolaan air secara berkelompok ini dengan real closed system alias sistem tertutup. Satucluster menganut satu manajemen kelompok yang sama, meliputi pembuangan air, limbah, pemasukan air dan sebagainya. Air dikelola sehingga menjadi air yang layak sebagai media budidaya. Menurut Slamet Soebjakto, penerapan real closed system bernilai blue economies, tidak hanya meningkatkan pendapatan, tanpa limbah, tapi juga efisiensi. “Selain itu, signifikan menekan risiko penyakit,” ujarnya. Totok –demikian ia biasa disapa— menunjuk bukti, tambak percontohan di Pantura (pantai utara Jawa) sukses produktif karena penerapan closed system. “Awalnya banyak yang pesimis karena Pantura diistilahkan ‘neraka’-nya udang dengan padatnya industri dan pabrik,” kata Totok. Maskur, Direktur Kesehatan dan Lingkungan, Ditjen Perikanan Budidaya (DJPB) menambahkan keterangan, tambak percontohan (demfarm) merupakan kegiatan budidaya udang dengan menerapkan teknologi maju yang dikelola dengan sistem cluster, hasil kerjasama DJPB dengan pembudidaya, pabrik pakan, dan perbankan. Produktivitas tambak pun meningkat. Pada 2012 telah dikembangkan demfarm seluas 1.000 ha di Jawa Barat serta Banten, dan di 2013 akan dikembangkan lagi di 6 provinsi (Jawa Tengah,Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Lampung,dan Sumatera Utara). Karantina & Monitoring Menyoal deteksi dini penyakit dan pencegahan masuknya penyakit, Tamsil menyebut 2 pintu. Satu pintu ada di karantina. Karantina adalah garda depan dan benteng utama deteksi dini penyakit, terutama bibit penyakit yang dibawa benih udang. Karantina di bandara dan pelabuhan baik antar negara maupun antar pulau, harus tegas tidak boleh meloloskan benih udang yang dilalulintaskan tanpa surat keterangan resmi bebas penyakit. “Idealnya setiap daerah punya peraturan daerah yang mengatur ini,” ujarnya mengurai asa. Totok membenarkan perlunya pengetatan lalulintas dalam dan luar negeri. Untuk benih impor, pemerintah sampai sekarang melarang benih asal beberapa negara dalam rangka pencegahan masuknya penyakit, khususnya EMS. “Kita tidak akan mengizinkan induk dari Thailand maupun Vietnam,” tegas Slamet. Kombinasi Teori & Praktik Untuk deteksi penyakit secara dini di level tambak, petambak membutuhkan kombinasi ilmu teori dan ilmu praktek. Ini disampaikan Hanung Hernadi, Ketua FKPA (Forum Komunikasi Praktisi Akuakultur) Lampung. Menurut dia, pembacaan secara visual dan gerak-gerik udang biasanya dikuasai petambak. Semisal kelainan warna tubuh, adanya bintik, adanya lumut, sampai fenomena udang mengambang di permukaan dapat ditengarai. “Udang sebagai hewan noktural, di siang hari berada di dasar tambak. Bila sampai udang naik ke permukaan di siang hari pasti ada yang salah,” tambahnya. Tetapi monitoring visual saja tidak cukup, dibutuhkan fasilitas pendukung untuk mendeteksi lebih dini sebelum gejala muncul secara mencolok. Peran pemerintah dalam penyediaan fasilitas laboratorium yang memadai menjadi tuntutan. Pemerintah juga memiliki banyak ahli yang mampu memberikan dukungan ilmu dan teknologi. Karena itu Hanung menyambut baik niat pemerintah membuat program laboratorium keliling yang bertugas memberikan layanan monitoring bagi petambak.
Diberdayakan oleh Blogger.