Budidaya
udang adalah kegiatan pemeliharaan/pembesaran udang secara khusus
dengan penebaran benur ditambak air payau yang terdapat di hamparan
pesisir. Sampai dengan tahun 60-an hanya ada 4 negara di dunia yang
memiliki areal tambak cukup luaas, yaitu Filipina, Indonesia, Taiwan dan Thailand.
Masing-masing dengan luas 166.000, 165.000, 27.600 dan 20.000 Ha (Ling,
1970). Di Indonesia sendiri sampai dengan tahun 60-an masih terpusat di
Jawa, Sulawesi Selatan dan Aceh.
Tambak
tersebut dibangun di wilayah lahan pasang surut (Zona Internidal)
karena untuk pengairannya tergantung penuh pada pergerakan air pasang
surut. Komoditi
budidaya hanyalah ikan banding (ditambah ikan belanak di Taiwan dan
Ikan Kakap di Thailand). Adapun udang yang terdapat didalam tambak hanya
berasal dari alam yang masuk sendiri kedalam tambak bersama arus air
pasang tinggi.
Hasil
udang yang diperoleh pemilik tambak dianggap hanya sebagai hasil
sampingan (hasil panen utama adalah bandengnya) dan menjadi hak pendega,
yaitu karyawan yang mengurus tambak.
Penebaran
benur (benih udang) secara khusus kedalam tambak untuk dipelihara
secara terkendali baru dimulai setelah petambak Sulawesi Selatan diajari
untuk mengenal benur udang dan membudidayakannya didalam tambak.
Guna
menyimak perkembangna budidaya udang di Indonesia secara utuh, Bapak
Alie Pornomo (Alm) telah memberikan catatan secara kronologis yang
pernah disampaikan saat Simposium Akuakultur Tahun 2001 di Semarang.
Berikut uraiannya:
Sejarah Budidaya Tambak Udang di Indonesia
s/d 1964 : Era Pra budidaya Udang di Tambak
Sampai dengan awal Tahun 1964 tambak di Indonesia hanya digunakan untuk budidaya ikan banding.
1964-1970 : Pengenalan Benur dan Budidaya Udang Teknologi Tradisional/Ekstensif
Pengenalan morofologi benur alam (terutama udang windu P. monodon dan udang putih P. marguiensis),
teknik merawat dan pengangkutan serta pembesarannya didalam tambak
(teknologi ekstensif secara mono atau polikultur dengan bandeng) di
Sulawesi Selatan (Bulukumba, Jeneponto, pangkep dan Pinrang) (Poernomo,
1968).
Pendederan
dan aklimatisasi benur didalam keramba jarring apung didalam tambak
atau didalam bak-bak semen didarat berkembang pesat di daerah
pertambakan di Sulawesi Selatan yang jauh dari sumber benur (Pangkep,
Maros, Barru). Setelah tahun 70-an pembudidayaan udang windu teknologi
ekstensif berkembang ke Jawa, Kalimantan (Balikpapan) dan Sumatera (Aceh). Khususnya di Banda Aceh, disamping budidaya udang windu juga dibudidayakan udang putih (P. indicus) karena kelimpahan benur alam jenis udang ini diperairan pantai aceh (Poernomo, 1979).
Budidaya
udang windu teknologi ekstensif dengan kepdatan tebar 20.000-30.000
ekor benur/Ha (monokultur) tanpa pakan dapat menghasilkan 3-4
kwintal/Ha/siklus size 30 (hanya mengandalkan pakan alami dengan
pemupukan. Disini masih banyak petani menerapkan polikultur dengan
banding.
1970 : Dibangun hatchery udang pertama dan RCU Jepara
Setelah
penelitian berhasil memijahkan induk udang matang telur dari laut,
dibangun hatchery pertama di Makassar (Berita Buana, 1970 Harian Kami,
1970) dan menyusul dibangunnya hatchery ke-2 di Jepara, Jawa Tengah
akhir tahun 1970. Mengingat besarnya potensi budidaya udang di Indonesia
pada masa mendatang maka penulis waktu itu menyarankan kepada
Pemerintah untuk dibangun RCU (Reseacrh Center Udang) di lokasi yang
sama di Jepara yang kemudian disebut BPAP (Balai Pengembangan Budidaya
Air Payau) dan pada tahun 2003 berubah menjadi BBPBAP (Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau) untuk mendukung percepatan pembangunan
budidaya udang di Indonesia.
1974 : Perintisan Budidaya Udang Teknologi Intensif
Pengembangan
budidaya udang teknologi intensif dan semi intensif dengan menggunakan
kincir dan pakan pellet dimulai di RCU Jepara.
1974 : Proyek Pengembangan Tambak USAID di Aceh
Terjadi
malapetaka pertambakan di Aceh sebagai akibat dari gerakan pembatan
jalur mangrove didalam areal pertambakan yang diinstruksikan oleh
ahli-ahli (staf pengajar Auburn University)
dalam proyek bantuan USAID tersebut. Alasan utama para ahli tersebut
adalah produktivitas tambak Aceh rendah disebabkan karena pohon bakau
yang ditanam di sepanjang tanggul dan saluran menghabiskan unsur hara
dari pupuk yang diaplikasikan untuk menumbuhkan makanan alami didalam
tambak.
Rupanya staf ahli tersebut khilaf karena tidak menyimak 3 hal yang lebih penting yaitu:
· Jalur
mangrove tersebut sangat vital fungsinya sebagai wind breaker bagi
wilayah pertambakan di Aceh karena anginnya sangat luar biasa besarnya.
· Tidak
menyadari bahwa mangrove bakau sebenarnya diperlukan untuk memperbaiki
lingkungan wilayah tambak karena fungsinya antara lain menyerap zat-zat
polutan dan mengandung bakteri yang bermanfaat bagi keseimbangan
lingkungan.
· Sebegitu
jauh belum ada penelitian khusus tentang seberapa hebat akar bakau
menyerap unsure hara dari pupuk yang diaplikasikan dibagian tengah atau
pelataran tambak waktu air dangkal.
1975 : Teknologi Ablasi Mata untuk Pematangan Telur Induk Udang Diketemukan
Penelitian
di RCU Jepara berhasil mematangkan telur induk udang dengan teknik
ablasi mata (alikunki dkk, 2975 dan Poernomo, Hamami, 1983). Taiwan dan
Filipina setalah membaca bulletin RCU, 1975 atau mengetahui keberhasilan
Jepara tersebut langsung menanganinya dengan sangat intensif (di
Tungkang Marine Laboratory (TML), Taiwan dan Seafdec, Filipina),
sehingga mereka berhasil mengkomersilkan lebih dahulu teknologi
tersebut. Dari perjalanan tersebut Alie Pornomo dimintai oleh Dr. Liao,
Dir TML penulis yang pada waktu (1983) kebetulan berada di Taiwan,
diminta untuk mengajarkan teknik ablasi pada staf peneliti Tungkang
Marine Laboratory, Tungkang Taiwan.
1979-1980 : Dibangun Hatchery Swasta Pertama
Hathery
udang swasta petama (PT Benur Unggul) dibangun di Desa
Temporah/Banyuglugur Besuki, Jawa Timur disusul oleh hatchery swasta di
Sinjai Sulawesi Selatan dan Kepulauan Seribu, Jakarta.
1980 : Perbaikan Teknologi Ablasi Mata
Perbaikan
teknologi ablasi mata induk dari laut untuk produksi benur udang windu
dengan perbaikan mutu pakan, lingkungan di Suba Balai Penelitian
Perikanan Laut Ancol (Poernomo, Hamami, 1983) dan BBAP Jepara.
1982-1983 : Teknologi Reklamasi Tanah Sulfat Masam
Teknologi
perbaikan atau reklamasi tanah sulfat masam (pyrite) yang menjadi
kendala tambak udang ditemukan dam dimasyarakatkan (Poernomo dan Singh,
1982; Singh dan Poernomo, 1983; Poernomo, 1983; Kompas, 1982; dan Suara
Merdeka, 1982).
Tambak
yang dibangun di lahan zona intertidal umumnya mengandungi senyawa
pyrit antara 0,5-2% dan pada daerah tertentu dapat mencapai >5%.
Lahan tambak dengan kandungan pyrit tinggi seperti di daerah Bone
Palopo, Malili, Mamuju (Sulawesi Selatan) dan Kalimantan Timur yang
belum direklamasi produktivitasnya sangat rendah.
1984-1985 : Komersialisasi Budidaya Udang Intensif
Pengembangan
budidaya udang teknologi intensif dimulai di Jawa Timur yang terpusat
di Banyuwangi dan Situbondo (Jawa Timur) di Tangerang dan Serang (Jawa
Barat) serta Denpasar (Bali) yang mencapai puncaknya pada tahun
1987-1990. Diluar Jawa, kecuali Bali dan Lampung (DCD, 1989) pada waktu itu belum ada tambak udang intensif.
1985 : Tambak TIR dibangun
Oleh
pemerintah dibangun Tambak Pandu Inti Rakyat (TIR) krawang seluas 250
Ha di desa Cipucuk, Kab. Krawang, lengkap dengan cold storage, pabrik
pakan dan pelatihan teknisi. Tambak pola TIR yang lain juga dibangun
oleh swasta di Desa Jawai, Kab. Sambas (Kal Bar), di Teluk Waworada,
Kab. Bima (NTB), Desa Pejarakan Buleleng (Bali),
di Muara Sungai Bodri Kendal (Jateng), Takesung (Kal Sel), di Seram
(Maluku), Tanjung Arus, Bulongan (Kal Tim). Tambak-tambak tersebut yang
dibangun oleh pemerintah maupun swasta umumnya kurang berhasil karena
masalah manajemen usaha dan manajemen budidaya.
Tambak
TIR Raksasa (PT Dipasena Citra Darmaja/PT DCD) seluas >5.000 Ha
mulai dibangun Th 1989 di Desa Mesuji/Rawa Jitu, Kab. Lampung Utara,
kemudian menyusul tambak TIR.
PT Bratasena seluas 10.000 Ha dibangun di Muara Way Seputih, Kec. Seputih Surabaya Kab. Lampung Tengah.
Unit
ke-3 tambak raksasa non TIR (PT Wahyuni Mandira) seluas >10.000 Ha
mulai dibangun pada tahun 1999 disebelah utara sungai Mesuji, Propinsi
Sumatera Selatan.
Ketiga
unit tambak raksasa tersebut terletak dalam satu hamparan pantai yang
bertetangga dalam lingkup garis pantai sekitar 100 km. Namun karena
desain tata letak ruang dan konstruksinya sudah mengikuti prasyarat
kaidah budidaya, maka secara teknis, produktivitas tambak-tambak
tersebut cukup stabil.
Kasus
yang menimpa PT Dipasena yang berakhir dengan penyerahan penuh
tambak-tambak tersebut kepada plasma terletak pada masalah manajemen
social. Tetapi dampak negative dari kuasainya penuh tambak-tambak
tersebut oleh petambak mantan plasma, produktivitasnya menurun sangat
drastis, penyebabnya antara lain karena tidak ada yang bertanggung jawab
merawat saluran primer dan sekunder, kemampuan permodalan,
dan koordinasi antar petambak. Seharusnya paling tidak saluran primer
harus bias di urus oleh pemerintah, karena petambak jelas tidak akan
mampu merawatnya apalagi dalam kondisi hamparan tambak raksasa.
1986 : Diketemukan Virus MBV
Pada
tahun 1986 pertama kali ditemukan virus MBV di tambak Desa Kedungpeluk,
Sidoarjo Jawa Timur (Nash dkk, 1987). Penyakit virus menyebar dan
mencapai puncaknya tahun 1990-1992 ditambak-tambak udanng intensif yang
berakibat pada kegagalan masal tambak udang.
Puncak
terjangkitnya MBV dan kegagaln panen terutama karena pengelolaan
budidaya yang jauh menyimpang dari kaidah budidaya udang (obral
penggunaan obat-obatan dari Taiwan
yang merusak lingkungan), pembuangan limbah tambak tanpa aturan, dan
kontruksi/tata letak tambak yang tumpang tindih, ditambah lagi oleh
meningkatnya polusi eksternal (Poernomo, 1989). Setelah agak mereda
beberapa waktu penyakit virus merambak/mencuat lagi pada tahun 1999.
1986 : Pakan Udang
Mulai diproduksi padakan udang (pellet) oleh PT. Comfeed Indonesia
1986-1987 untuk mendukung budidaya udang teknologi intensif di tambak.
Setelah itu menyusul Charoen Pokphand (1989) dan beberapa perusahaan
pakan udang yang lain seperti Bama, Karka, MAS, Bukaka, Mabar dll. Namun
untuk memenuhi kebutuhan budidaya udang teknologi intensif yang
berkembang begitu cepat waktu itu masih mengimpor pakan terutama dari Taiwan.
1986 : Pembenihan Bandeng di Hatchery
Penelitian
berhasil mengembangkan teknologi pembenihan bandeng di Hatchery
(Poernomo dkk, 1986). Keberhasilan pembenihan banding di hatchery di Indonesia
patut dihargai karena Philipina yang jauh lebih dahulu merintis
penelitian dibidang ini sampai sekarang belum berhasil. Pemijahan
pertama induk banding yang dilakukan di Balai Penelitian Perikanan
Pantai Gondol (Bali)
berasal dari pembesaran nener alam yang dikerjakan di RCU Jepara.
Induk-induk tersebut berumur ssekitar 6 Tahun. Teknologi ini berkembang
sangat pesat dan mantap sehingga mendorong timbulnya di ratusan (500
pemilik/96 unit) backyard hatchery bandeng terutama di
Desa Gondol, Kec. Gerogak, Buleleng Bali, yang dimulai tahun 1994 dan
mencapai puncaknya pada tahun 1999. Kecukupan suplly nener bandeng
berperan sangat penting untuk mendukung usaha produksi banding umpan di
tambak. Produsen banding umpan yang terpusat di daerah pertambakan
Cemara dan Sungai Buntu, Kab. Kerawang
(Jawa Barat) Desa Betoyo Guci, Manyar Kab. Gresik, Kec. Duduk, Deket
Glagah di Kab. Lamongan Jawa Timur. Produksi bandeng umpan ini merupakan
usaha yang sangat penting untuk mendukung usaha penangkapan tuna. Dari
Gresik, Lamongan saja yang dipasarkan ke Benoa mencapai 12-15 truk per
hari umpan hidup dan 3-4 kontainer 40 ft perbulan umpan beku.
1989-1995 : Backyard Hatchery Udang
Puncak
perkembangan backyard hatchery yang dimulai di sekitar Jepara pada taun
1989 dan mencapai puncaknya tahun 1995 terus berkembang ke
daerah-daerah lain seperti Pangandaran, Desa Batu Hiu (Jabar), Galesong
(Kab Takalar), desa Kupa (Kab. Barru, Sulsel), Kuala Raja dan Ketapang
Maneh (Aceh), Pantai Cermin (Sumatera Utara), Kalianda (Lampung Selatan)
dan terakhir sekitar tahun 2000a di Tarakan.
1990 : Tambak Plastik Biocreet
Dibangun
tambak plastik Biocreet di lahan pasir di Desa Citarate, Jampang Kulon,
Kab Sukabumi (Widigdo, 1993). Dioperasikan secara bertahap yang
mencapai 14 petak @2400 m2 pada tahun 1994 (PT Citarate).
Menyusul
unit kedua tambak biocreet di lahan pasir Pantai Pandan Simo, Yogya
Selatan yang pada tahun 2000 telah tersedia 40 petak @3600 m2
(PT Indokor). Remcana unit ketiga tambak biocreet dengan desain yang
telah disempurnakan (tambak ramah lingkungan) seluas 40 Ha akan dibangun
di Pantai Glagah, Desa Karang Wuni, Kec. Temon Kab. Kulon Progo. Namun
tidak dteruskan karena Bupati mendadak akan membangun Pelabuhan umum
ditempat yang sama (Poernomo, 2001).
Sebenarnya
pembangunan tambak plastik biocreet ini sangat cocok dalam rangka
pendayagunaan lahan kritis berpasir di hamparan pasir. Jadi tambak di
lahan kritis ini untuk kedepan harus tetap dikembangkan mengingat makin
terbatasnya lahan-lahan produktif.
1993-1994 : Cold Storage Udang Berguguran
Cold
Storage udang berguguran (sisa 30%) yang masih bertahan, karena
kekurangan bahan baku yang berbarengan dengan turunnya harga udang.
1993-1995 : Teknologi Resirkulasi dan Tandon Diperkenalkan
Teknologi
ini berkembang sangat lambat karena banyak petani belum terlalu yakin,
akan kegunaan teknologi ini. Disamping itu, pertimbangan yang lain
adalah petani tidak mau mengorbankan lahan untuk kepentingan pembuatan
tandon, serta modal yang harus mulai dikeluarkan. Tetapi setelah
mengalami kegagalan panen yang beruntun, barulah teknologi ini mulai
diserap oleh petambak dan ternyata hasilnya meyakinkan kalau
dilaksanakan secara benar.
1993-2004 : Teknologi Probiotik
Dengan
banyaknya kegagalan budidaya udang yang bertubi-tubi sejak tahun
1990-an (Taiwan sudah collapsed sejak tahun 1986/87), penelitian dan
percobaan lapang tentang penggunaan probiotik mulai ditangani secara
intensif sejak tahun 1992. Sebenarnya penggunaan probiotik secara
sporadis ditambak udang intensif di Indonesia sudah mulai sejak tahun
1988 (contoh ARGON), namun sejauh itu tidak ada kejelasan baik mengenai
isi yang terkandung didalamnya maupun cara aplikasi yang benar, sehingga
dampaknyapun tidak menentu dan hasil yang diharapkan masih belum
meyakinkan dikalangan petambak.
Percobaan
secara konsisten terhadap satu jenis produk yang mengandung mikroba
Bacillus spp dan bakteri belerang fotosintetic ditambak udang intensif
dengan memperhatikan serta menjaga habitat mikroba tersebut secara baik
selama siklus pembesaran udang terbukti dapat memberikan hasil yang
mantap dan menguntungkan.
Dengan
hasil-hasil yang stabil mantap, teknologi probiotik ini meningkat terus
aplikasinya di daerah Lampung dan bahkan mulai meluas ke Sumatera Utara
sejak tahun 2001. Pada akhir tahun 2003 mulai diaplikasikan di Jawa
Timur dan Bali kemudian ke Sulawesi Selatan dan bahkan Bengkulu.
Teknologi
ini sangat baik untuk merevitalisasi budidaya udang intensif di
tambak-tambak udang yang telah terbengkalai dengan keberhasilan >75%.
Dengan kepadatan tebar (udang windu) 40-50 PL/m2, dicapai hasil 3,5-4 ton/0,5 Ha/siklus dan untuk udang vanname dengan kepadatan tebar 170 PL/m2 menghasilkan 12 ton/0,5 Ha/siklus, size 65-70. Kasus percobaan size 50 dengan padat penebaran
|
Kamis, 27 Desember 2012
Sejarah Budidaya Udang di Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
1 komentar:
Tanya gan : di daerah KP yg jual bibit ikan air tawar skala kecil dimana ya ?
jogjahot.com
Situs Iklan Gratis Jogja Hot COD & Barang Second Murah . Area Wates, KulonProgo, Sleman, Bantul, Gunung Kidul .
Posting Komentar