Sabtu, 15 Juni 2013

Menyulap Tambang Pasir Jadi Kampung Vannamei


Puluhan hektar lahan bekas galian tambang pasir yang identik dengan bencana lingkungan diubah menjadi tambak Kampung Vannamei
Perjalanan nyaris 4 jam dari jembatan Suramadu menyusuri Pantai Selatan Madura, mengantar TROBOS Aqua sampai ke Kampung Talangsiring Desa Montok Kabupaten Pamekasan. “Lahan ini, 5 tahun lalu masih berupa kubangan bekas tambang pasir. Selama 15 tahun lahan seluas 30 ha ini mangkrak tak menghasilkan apa-apa,” kata Nonot Tri Waluyo,  General Manager Shrimp FeedCP Prima – Surabaya.
Seturunnya dari kendaraan disambut riuh mesin diesel penggerak kincir rangkai yang memberi napas si bongkok putih yang tersebar di 18 petakan milih HM Ihsan Abdullah.“Saya ini mantan penambang pasir. Dulu saya dan kawan-kawan yang mengeruk tanah di sini. Setelah jadi kubangan, bingung mau dibuat apa,” tutur Ihsan. Penambangan pasir di atas lahan 15 ha yang dibeli secara patungan itu dilakukannya dengan alat berat.
Mulai Bertambak
Menurut Ihsan, setelah penambangan pasir berhenti ia pernah menebari kubangan itu dengan ikan nila dan gurami, namun ia kurang puas. Padahal ia butuh usaha baru menggantikan pertambangan pasir.  Pada 2007 lalu ia bertemu dengan personil PT CPP yang membawa program Kampung Vannamei (Kave). “Saya diajari bertambak di dua petak lahan bekas kubangan. Luasnya 5.000 m2,dengan sistem tradisional plus. Padahal saya belum tahu sama sekali cara bertambak,” urainya.
Hanya berbekal dua buah pompa balik, lahan ditebari benur dengan kepadatan 20 ekor/m2. “Umur 70 hari pada ngambang,” kisahnya. Untuk menyelamatkan, Ihsan mencopot gardan mobil angkutan pakannya untuk dijadikan kincir rangkai. Saat itu iaberhasil panen 1 ton udang size 70 (ekor/kg).
Setelah tambak berkembang, seketika harga tanah di kawasan ini melonjak drastis. “Dulu tanah setara tambak sepetak hanya dibeli dengan satu-dua becak. Sekarang sudah puluhan bahkan ratusan juta,” ungkap Ihsan.
Satu desa dengan Ihsan, terhitung lebih ‘nekat’ H Muhyianto terhitung lebih ‘nekat’. Lubang bekas kerukan pasir di samping rumahnya yang cukup jauh dari Pantai disulapnya menjadi 2 petak tambak dan satu tandon. “Total habis Rp 140 juta untuk meratakan dasar, membuat tanggul dan membeli kincir. Tapi dalam 2 - 3 kali panen sudah balik modal,” ungkapnya. Sukses dengan 2 petakan itu, Muhyi membuka lagi 3 petak lahan di eks galian pasir 1 ha milik kawannya. Petakan ini dijalankan dengan sistem bagi hasil, pemilik lahan mendapat bagian 12,5%.
Jadi Kave
Setelah bertambak tradisional plus selama 1,5 tahun dan merasakan keuntungan bertambak vanamei, Ihsan membuka 7 petakan. Saat itu ia ‘naik kelas’ dengan menerapkan sistem semi intensif dengan padat tebar 60 – 80 ekor/m2.
Waktu masih awal bertambak semi intensif itu, Ihsan mengaku pernah menebar vanamei dengan kepadatan 100 ekor/m2. Walaupun, kata Ihsan, sekarang ia kembali ke padat tebar 60 – 80 ekor/m2. “Di sini sudah menjadi kawasan tambak karena banyak yang mengikuti saya. Sehingga air lautnya sudah lebih jenuh karena bukan teluk, meski masih sangat layak untuk budidaya. Sifatnya jaga ekosistem saja,” paparnya.
Menurut Nonot, keberhasilan Ihsan banting setir dari penambang pasir menjadi petambak udang memang membuat pemilik lahan bekas tambang pasir mengikuti jejaknya. “Kawasan ini sekarang masuk program Kave,” sebut Nonot.
Menutup pembicaraan, Nonot berkisah, dulu orang tidak menyangka di Pamekasan akan berkembang kawasan tambak. Apalagi membayangkan lingkungan rusak karena tambang pasir bisa berubah drastis menjadi lahan produktif. Di daerah lain, Kave terus ngopeni(mendampingi) petambak sekecil apapun skalanya. “Yang penting, ada petambaknya dan usahanya berjalan dulu. Kita dampingi sampai ‘naik kelas’, dan terus didampingi,” ungkap Nonot.
Lele hibrida hasil persilangan 7 strain asal beberapa negara, digadang jadi benih unggul
Lele masamo, sebagian menduga nama tersebut adalah akronim dari Matahari Sakti Mojokerto. Tetapi Fauzul Mubin, Technical Support and Hatchery Manager PT Matahari Sakti membantah itu. “Bukan. Itu hanya nama yang mengandung hoky dan nama yang bagus saja,” terangnya sambil tersenyum lebar.
Lele produk dari PT Matahari Sakti (MS) ini disebut-sebut memiliki keunggulan ketimbang jenis lain yang sudah beredar lebih dahulu. Saking santernya kabar tersebut, sampai-sampai belakangan muncul pihak-pihak yang mengaku-aku sedia induk dan benih masamo. Padahal, MS hanya mendistribusikannya terbatas di jaringan mitra internal perusahaan.
Mubin menyatakan, lele masamo yang beredar sekarang masih generasi pertama, dan direncanakan November 2013 akan dirilis generasi kedua.
Genetik Masamo
Dijelaskan Mubin, lele masamo merupakan hasil pengumpulan sifat berbagai plasma nutfah lele dari beberapa negara. Antara lain, lele asli Afrika, lele Afrika yang diadaptasi di Asia, Clarias macrocephalus/bighead catfish yang merupakan lele Afrika dan di kohabitasi di Thailand, dan lele dumbo (brown catfish). “Total ada 7 strain lele,” ungkapnya.
Lele Afrika, papar Mubin, terkenal kecepatan tumbuh dan ketahanan tubuh yang tinggi. Sedangkan lele Afrika yang telah mengalami kohabitasi domestik di Asia/Asia Tenggara memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan dan tahan terhadap penyakit lokal. Selain itu ada juga strain yang memiliki produktivitas telur tinggi (spawning rate) dan ada yang efisien pakan.
Dipastikan Mubin, benih sebar yang diperuntukkan bagi budidaya pembesaran konsumsi – atau yang umum disebut Final Stock (FS) — dari breeding Masamo, memiliki sifat bertubuh besar, rakus makan tapi tetap efisien, keseragaman tinggi, stress tolerance tinggi, ketahanan penyakit tinggi, dan sifat kanibal rendah. Untuk sifat induk atau Parent Stock (PS) ditambah dengan spawning rate yang tinggi.
Hatchery (penetasan) Masamo di Pasuruan, sebut Mubin, mampu memproduksi induk PS masamo 6.000 – 10.000 ekor per tahun. PS dilepas dengan harga Rp 100.000 – Rp 300.000 per ekor, tergantung jauh-dekatnya lokasi pembeli. Mubin mengakui harga calon induk masamo 2 – 4 kali lebih mahal dibanding induk lele jenis lain.
Sementara Final Stock, dikatakan Maylana Nurrma Diyanto, Technical Support  and Marketing Supervisor PT Matahari Sakti, permintaan yang masuk ke hatchery PT MS mencapai 5 juta ekor per bulan. Pada April 2013, imbuh dia, benih size (ukuran) 4 cm diperdagangkan seharga Rp 70 tiap ekornya, dan Rp 90 untuk yang 5 cm.
Ciri dan Sifat
Lele masamo memiliki ciri khas fisik cukup berbeda dengan lele dumbo atau lele lain yang lebih dulu beredar. Dijelaskan Maylana, kepala lele Masamo lebih lonjong, menyerupai sepatu pantofel model lama. Sirip (patil) lebih tajam, badan lebih panjang dan berwarna kehitaman. Ketika stres, muncul warna keputih-putihan atau keabu-abuan.
Lebih detil, Danang Setianto menggambarkan, terdapat bintik seperti tahi lalat di sekujur tubuh masamo yang berukuran besar, memiliki tonjolan di tengkuk kepala, serta bentuk kepala lebih runcing. “Pada induk, tonjolan di tengkuk terlihat nyata. Sangat berbeda dengan induk jenis lain, sehingga tak mungkin dipalsukan,” ungkapnya.
Tetapi saat masih berukuran benih, secara fisik masamo susah dibedakan dengan benih lele varietas lain. “Bedanya pada sifat. Masamo lebih agresif dan nafsu makan kuat. Sehingga jika manajemen pakan tidak bagus bisa berakibat kanibalisme,” papar Danang. Karena itu Danang hanya memasarkan benih Masamo kepada pembudidaya pembesaran yang serius, bukan yang tradisional.
Sifat Kanibal
Mubin mengistilahkan era kanibalisme tinggi pada masamo sudah lewat. “Dulu, waktu generasi awal sekali, sebelum yang generasi I itu memang iya. Pada generasi 1 sudah jauh berkurang  sifat kanibal itu,” tegasnya.  Mubin telah  melakukan uji keseragaman ukuran anakan di hari ke-40 pemeliharaan. Hasilnya, keseragaman akhir normal. Keseragaman akan njomplang jika kanibalisme tinggi, karena ada lele dominan yang memakan lele lain.

Polikultur Kian Menjamur

Terbukti sistem ini mampu mengendalikan kejadian penyakit, memperbaiki lingkungan, berbiaya rendah, dan utamanya memberikan hasil yang menggiurkan bagi petambak dan pembudidaya
Sebelumnya, 7 tahun sudahSaripudin menelantarkan 8 hektar areal tambak miliknyayang berlokasi di wilayah Bekasi. Iamembiarkan lahan tersebut tersapu abrasi, setelah 3 tahun berturut-turut usahanya membudidayakanikan bandeng secara monokultur (intensif) tak membuahkan hasil. Alih-alihmeraih untung, justruhutang dia ke pengepul menggunung hingga puluhan juta rupiah.
Tetapi sejak ia dikenalkan teknik dan manajemen budidaya polikultur pada 2007, kisah pahit itu tak lebih dari sekadar kenangan. Saat ini Saripudin tengah merasakan manisnya usaha budidaya polikultur rumput laut jenis Gracilaria sp, bersama ikan bandeng dan udang windu di tambak seluas 4 hektar. ”Alhamdulillah, berkat budidaya polikultur hutang saya lunas,” ungkapnya sumringah kepada Trobos Aqua. Ia pun berambisi,tahun ini akan menambah 4 hektar lagi untuk lahan polikultur.
Jodoh Saripudin dengan polikultur bermula kala ia dan rekan-rekannya mendapat pembinaan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau dan Laut (BBPBAPL) Karawang pada 2007. Pulang ke Bekasi, ia langsung menerapkan polikultur sekaligus menyosialisasikannya kepada pembudidaya lain.
Menurut Ketua Kelompok Mekar Bahagia ini, sekitar 30 % pembudidaya tambak di wilayah Bekasi sekarang menerapkan polikultur. ”Saya targetkan tahun depan mencapai 50 %,” tutur pria yang juga didapuk sebagai Ketua Bidang Teknis Budidaya Rumput Laut dari Perhimpunan Pembudidaya Tambak Pantura (PPTP) ini menggebu.
Ambisi besar Saripudin itu didorong oleh besarnya manfaat yang diperoleh pembudidaya tambak dari polikultur. Secara teknis, kata Saripudin, polikultur dapat menurunkan tingkat kejadian penyakit. Danrumput laut dapat berperan sebagai filter (penyaring) zat-zat pencemar.
Sementara secara ekonomis, polikultur lebih menguntungkan ketimbang monokultur. Biaya produksi lebih rendah, sebab tak ada biaya pakan dan untung lebih tinggi. ”Per periode, saya bisa dapat Rp 10 juta dari polikultur. Belum lagi ditambah dengan hasil penjualan udang alam yang masuk ke tambak polikultur yang bisamencapai Rp 1,5 juta per bulan. Jadi polikultur itu sangat menjanjikan,” ia buka kartu.
Sama halnya dengan di Bekasi, polikultur rumput laut Gracilaria sp, ikan bandeng, dan udang windu di Indramayu mulai diminati. MenurutWahudin, pembudidaya di Indramayu, rentang 2002 sampai 2006 polikultur dilakukan dengan2 komoditas saja, yaitu rumput laut Gracilaria sp dan ikan bandeng.Tapi setelah beberapa pembudidaya tambak mendapat pembinaan di BBPBAPL Karawang, polikultur 3 komoditas mulai marak.
Bedanya dengan Saripudin di Bekasi, Wahudinmenerapkan polikultur 4 komoditas sekaligus, yaitu rumput laut Gracilaria sp, ikan bandeng, udang windu, dan ikan kerapu lumpur. ”Di Jawa Barat belum ada yang melakukan seperti ini. Polikultur plus kerapu lumpur ini saya mulai sejak April 2012 lalu dan terbukti berhasil,” ungkapnyabangga. Menurut hitungan Wahudin, jumlah pembudidaya polikultur di wilayahnya sudah mencapai 60 % dari total pembudidaya tambak yang ada. Sisanya masih menerapkan monokultur ikan bandeng.
Sedangkan pembudidaya polikultur di daerah Langensari Balakan, Subang Jawa Barat, Syamsudin Adi Saputra mengungkapkan, hampir 90 % dari 227 pembudidaya tambak di wilayahnya yang tergabung dalam Koperasi Mina Langgeng Jaya menerapkan polikultur karena memberikan tambahan pendapatan. “Kalau tidak menguntungkan, tidak akan jalan polikultur ini. Apalagi jika dikombinasikan dengan pohon bakau, budidaya akan lebih ramah lingkungan,” ujar Ketua Koperasi Mina Langgeng Jaya ini.
Tren Polikultur
Saripudin, Wahudin, dan Syamsudin adalah contoh pembudidaya yang menerapkan polikultur di tambak. Dibenarkan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat Ahmad Hadadi, polikultur di tambak mulai menjamur sejak 2007 di Pantura(Pantai Utara), Jawa Barat.Fenomena ini dilatarbelakangi sejarah merebaknya penyakit virus pada udang windu seperti IMNV (Infectious Myo Necrotic Virus) dan WSSV (White Spot Syndrome Virus). ”Dengan mengombinasikan udang windu, ikan bandeng, dan Gracilaria sp ternyata hasilnya bagus,” ujarnya.
Selain di tambak, kata Hadadi, polikultur juga dilakukan di kolam dan KJA (Keramba Jaring Apung). Tak beda di tambak, polikultur di KJA juga berkembang sebagai respon kejadianpenyakit virus. Karena ikan mas rentan terserang KHV (Koi Herpes Virus), pembudidaya KJA lantas mencampurnya dengan ikan nila, nilem, dan tawes.
Ikan nila bermanfaat memakan plankton dan menekan penyakit KHV, sedangkan ikan nilem dan tawes dapat memakan lumut sehingga jaring jadi bersih. ”Praktiknya, semua ikan itu berada dalam 1 jaring. Konsekuensinya menambah pekerjaan bagi pembudidaya karena harus ada sortasi.Tapi ikan mas terhindar dari KHV,produksi pun jadi tinggi,” jelasnya.
Tidak Diabaikan
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Slamet Soebjakto menegaskan, pembudidaya polikultur tetap menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah sudah membuat pemetaan wilayah untuk pengembangan polikultur seperti di Aceh, Kalimantan Timur, dan sebagian Sulawesi Selatan. Sedangkan di Pantura Jawa seperti di Gresik, Sidoarjo, Subang, Karawang, Indramayu, dan Cirebon.
Pria yang akrab disapa Totok ini menambahkan, adanya program untuk pembudidaya tradisional melalui program PUMP (Pemberdayaan Usaha Mina Pedesaan) dengan polikultur. Bantuan berupa pengadaan pakan,benih rumput laut atau nener. Pembinaan terus dilakukan dengan membuat dempond(kolam/tambak percontohan) seperti yang ada di Jepara, Takalar, dan Aceh.
Lahan tambak tidak 100 % untuk pengembangan intensifikasi,tapi ada sebagian yang dimanfaatkan untuk lahan tradisional dan dimanfaatkan untuk polikultur. “Kebijakan kita untuk udang windu pun dengan polikutur,” tegasnya.
Ia menyebut sumbangsih polikultur terhadap produksi perikanan budidaya di 2012 mencapai 60 % dari total produksi sehingga tidak bisa diabaikan. “Di tahun ini sumbangsih dari semua lini seperti tambak tradisional, polikultur, tambak intensif, dan pemanfaatan tambak idle akan ditingkatkan. Khusus yang tradisional akan ditingkatkan menjadi tradisional plus,” jelas Totok.
Aplikasi Polikultur
Diterangkan Iskandar, pada dasarnya polikultur menerapkan konsep simbiosis mutualisme antar komoditas yang dipelihara. Awal mulanya di Indonesia, polikultur yang dicoba di tambak adalah kombinasi Gracilaria sp, ikan nila, dan kerang-kerangan. Lalu beralih dan yang kini berkembang adalah kombinasi Gracilaria sp, ikan bandeng, dan udang windu.
Dalam perkembangannya, pembudidaya tambak polikultur tidak terpaku pada 3 komoditas itu saja. Contohnya Wahudin di Indramayu yang menambahnya dengan ikan kerapu lumpur yang dipelihara dalam jaring tancap berukuran 5 m x 5 m. Lebih fantastis lagi Usup Supriatna di Karawang. Ia mengkombinasi 5 komoditas sekaligus, yaitu Gracilaria sp, ikan bandeng, udang windu, ikan kakap putih, dan kepiting soka.

Jumat, 14 Juni 2013

Immunoglobulin y Anti whitespot

Telur unggas memiliki prospek yang sangat strategis sebagai pabrik biologis untuk memproduksi Imunoglobulin  Y (Ig-Y) antiwhite spot yang diaplikasikan melalui pakan

Budidaya udang baik udang windu (Penaeus monodon) maupun udang putih (Penaeus vannamei)hingga saat ini masih dibayangi serangan penyakit bintik putih atau white spot. Penyakit yang disebabkan virus WSSV (White Spot Syndrome Virus) ini mengakibatkan kematian udang secara masal, sehingga merugikan petambak.

Namun para petambak tak perlu berkecil hati sebab belum lama ini seorang Professor in Medical Immunology dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor telah ditemukan cara jitu untuk mengantisipasi serangan penyakit white spot. Adalah Retno Damajanti Soejoedono yang mengembangkan bioteknologi anti virus ini menggunakan telur unggas.

Retno menjelaskan, telur memiliki kuning telur yang mengandung zat nutrisi penting yang sangat diperlukan untuk perkembangan embrio sampai beberapa hari setelah embrio menetas. Telur bukan hanya mengandung zat nutrisi yang penting, tapi juga mengandung Imunoglobulin-Y (Ig-Y) yang akan diwariskan kepada anak sebagai antibodi maternal.

Mengingat sistem kekebalan tubuh udang sangat didominasi oleh kekebalan non-spesifik, maka proses pengebalannya lebih efisien bila diberikan imunisasi menggunakan imunomodulator atau imunostimulan.“Maka, penggunaan Ig-Y sebagai zat untuk imunisasi pasif pada udang perlu dilakukan,” kata Retno kepada TROBOS Aqua.

Lebih lanjut ia mengatakan, konsep penerapan imunoterapi untuk kasus penyakit tertentu terbuka lebar melalui pengebalan pasif dengan memanfaatkan Ig-Y. Tak hanya sebagai anti WSSV, Ig-Y di dalam kuning telur juga memiliki khasiat anti terhadap Avian Influenza (AI), Streptococcus mutans, tetanus dan berbagai macam penyakit lainnya. Prinsip pengebalan pasif adalah transfer antibodi yang bisadilakukan dengan mengonsumsi telur yang “telah dibuat mengandung zat kebal” dan dipreparasi secara khusus. 

Gunakan Imunoglobulin Y
Retno kembali menjelaskan, sebagai model penyakit udang yang diteliti adalah WSSV. Virus hasil isolasi dari udang penderita disuntikkan ke ayam petelur untuk mendapatkan serum dan telur yang mengandung Ig-Y anti WSSV pada bagian kuning telurnya. Ig-Y kemudian dipurifikasi (dimurnikan) dan dilakukan uji sifat biologis terhadap pengaruh pH, panas, enzim pencernaan seperti pepsin dan tripsin, dan uji efikasi secara perendaman dan melalui pakan.

Imunoglobulin Y yang telah dipurifikasi, kemudian diberikan ke udang melalui air (perendaman) atau pakan yang dicampur Ig-Y selama waktu tertentu. Setelah itu diuji tantang dengan WSSV. Lanjutnya, aplikasi per oral dilakukan untuk melihat efikasi Ig-Y dalam kuning telur yang telah dikemas sebagai pakan udang. 

Pengujian menggunakan 75 ekor udang yang dibagi lima kelompok yang masing-masing kelompok terdiri atas 15 ekor udang. Kelompok 1, 2, dan 3 merupakan kelompok perlakuan, sedangkan kelompok 4 merupakan kontrol negatif dan kelompok 5 adalah kontrol positif.

Pakan yang mengandung Ig-Y anti WSSV dengan konsentrasi 5%, 10%, dan 20% diberikan pada kelompok perlakuan 1, 2, dan 3 yang selanjutnya dikohabitasi (digabungkan/dipelahiran bersamaan)dengan udang yang terinfeksi. Kelompok kontrol positif diberikan pakan udang biasa tanpa Ig-Y anti WSSV dan dikohabitasi dengan udang yang terinfeksi, sedangkan kelompok kontrolnegatif hanya diberi pakan udang biasa tanpa dikohabitasi dengan udang yang terinfeksi.

Menurut Retno, kelompok kontrol positif menunjukkan gejala klinis penurunan nafsu makan dan kemerahan pada tubuhnya. Kelompok perlakuan yang diberi pakan udang berkhasiat anti WSSV tidak menunjukkan gejala klinis. Pada kelompok kontrol positif terjadi kematian pada udang mulai hari ketiga setelah kohabitasi.

Kematian udang juga ditemukan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol negatif akan tetapi tidak setinggi kelompok kontrol positif. “Kematian pada kelompok kontrol positif mencapai 83 %, sedangkan kelompok perlakuan masih dapat hidup antara 50 – 70 %. Udang yang tidak terinfeksi (kontrol negatif) mengalami 20 % kematian,” jelas Retno.

Lanjut Retno, cara mendeteksi adanya material genetik WSSV pada udang yang mati dilakukan uji PCR. Hasil PCR memperlihatkan bahwa tidak ditemukan adanya material genetik WSSV pada kelompok perlakuan yang diberi pakan udang 10 % dan 20 % Ig-Y anti WSSV dan kontrol negatif yang mati, sedangkan pada kelompok perlakuan yang diberi pakan berkhasiat anti WSSV dengan konsentrasi 5 % bisaditemukan adanya material genetik WSSV.

Keunggulan Inovasi
Retno menuturkan,penggunaan telur sebagai pabrik biologis sangat sejalan dengan isu kesejahteraan hewan (animal welfare) karena produksi bahan biologis tersebut hampir tidak menyakiti hewan yang digunakan dalam proses produksi."Telur bisa menggantikan hewan dalam produksi  bahan biologis "kata Retno
.
Lanjutnya Ig-y berkhasiat terhadap berbagai agen penyakit terbukti memiliki kemampuan netralisasi agen penyakit."Ig-y  bisa dimanfaatkan sebagai imunoterapi untuk berbagai penyakit,khususnya pada makhluk hidup yang sistem imunologinya belum berkembang atau pada individu yang mengalami imunosupresif" jelas Retno.

Penggunaan Ig-y unggas dalam pemeriksaan imunologi lebih akurat dan aman dibandingkan dengan menggunakan Ig-g mamalia."penggunaan Ig-y dalam imunoterapi diketahui memberikan efek samping lebih rendah dibandingkan dengan Ig-g mamalia kerena tidak berespon terhadap faktor rhumatoid" tutur Retno.

Diungkapkan Retno,telur sebagai pabrik antibodi bisa dikatakan sebagai proses permanenan yang sangat sederhana."sebutir telur mempunyai kandungan 50-100 mg Ig-y yang setara dengan 200 mg Ig-g/40 ml darah yang dihasilkan dalam sekali pemanenan darah kelinci,"katanya.

Skala Laboratorium
Retno mengungkapkan pada akhir penelitian bisa dibuat prototipe produk pakan udang berkhasiat anti WSSV atau produk aktif anti WSSV larut air."produk ini kelak akan digunakan para petambak untuk meningkatkan produksi udang serta berguna bagi industri pakan udang untuk memproduksi  pakan anti WSSV " tuturnya.

Telur unggas yang bisa digunakan untuk produksi Ig-y adalah telur ayam,itik,entok,kalkun,puyuh,maupun burung unta.secara teoritis semua jenis unggas tadi memberi peluang untuk dimanfaatkan tergantung alasan dan ketersediaanya disuatu daerah.

Secara ilmiah khasiat Ig-y spesifik dalam kuning telur sebagai senyawa therapeutic telah diuji dan pada akhirnya diperlukan sentuhan akhir untuk bisa diproduksi dalam skala komersial.Meskipun masih dalam skala laboratorium tapi sebagai pabrik biologis memiliki prospek yang sangat cerah dan bisa diaplikasikanpada skala industri dalam waktu singkat,"peran industri sangat dibutuhkan dalam mewujudkan hal ini dan pemanfaatan Ig-y tentu tidak berhenti sampai disini.

Rabu, 12 Juni 2013

Peneliti IPB Temukan Mesin Pengawet Bekatul

JAKARTA - Masih ingatkah Anda es krim bekatul ciptaan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta? Inovasi itu merupakan bukti nyata jika bahan baku yang biasa dijadikan pakan ternak tersebut bisa diolah sebagai barang bernilai ekonomis tinggi.Sayangnya,bekatul ternyata tidak bisa tahan lama. 

Menyadari hal tersebut, Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) Slamet Budijanto,mencoba mengawetkan bekatul dengan mesin ciptaannya. “Kami mencoba menginisiasi, apakah bisa bekatul dimanfaatkan untuk pangan?Ternyata bisa. Namun masih terkendala, bekatul tidak awet,”kata Slamet,seperti dikutip dari siaran pers yang diterima Okezone, Sabtu (8/6/2013). 
Zaman dulu, untuk mengwetkan bekatul cukup dengan disangrai saja. Tapi,Slamet menilai, teknik sangrai memiliki kelemahan, yaitu tidak stabil,susah mengontrol suhu dan waktu, serta kematangannya tidak merata.Direktur F-Technopark Fakultas Teknologi Pertanian IPB bersama timnya,yakni Aziz B Sitanggang dan Sam Herodian itu kemudian menciptakan mesin yang prinsip kerjanya adalah penggunaan suhu tinggi dalam waktu yang singkat. 
“Sebetulnya,ini adalah proses sangrai tapi kontinyu.Mesin sederhana ini memiliki lorong mesin penstabil namanya screw.Nanti bekatul akan dilewatkan dalam lorong panas yang bisa dikontrol dengan waktu yang bisa dikontrol juga,”paparnya.Menurut Slamet,ketika bekatul sudah melewati proses pengawetan,maka dapat diolah untuk jenis pangan apapun dengan waktu tahan yang lebih lama.Dengan teknik tersebut, bekatul bahkan bisa tahan hingga enam bulan.Mesin sederhana yang berhasil mendapatkan penghargaan dari Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) RI itu kini berjumlah dua unit.Satu mesin digunakan di Jawa Timur oleh kelompok tani wanita di Pasuruan,sementara satunya di IPB. Dia menyebut,inovasi itu memiliki sejumlah keunggulan. 
Pertama, bekatul yang diolah mutunya tetap stabil setelah disimpan lebih dari enam bulan.Kedua,meminimalkan kerusakan mikronutrien yang bermanfaat bagi kesehatan.Ketiga adalah membuka peluang pemanfaatan bekatul menjadi bahan baku pangan fungsional.“Kami sudah bisa menjual bekatul hasil olahan dengan mesin ini.Sebanyak 150 gram bekatul sangrai dijual Rp15 ribu di Serambi botani dan itu laku.Kami minta 30 persen untuk pangan sisanya silahkan untuk pakan,” tandas Slamet. (mrg) 

Perbedaan Skripsi,Thesis,Disertasi Secara Sederhana.

Skripsi dijadikan syarat kelulusan di program S-1  dengan maksud  memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menunjukkan bahwa dia dapat menerapkan langkah-langkah pendekatan ilmiah untuk memperoleh pengetahuan dan melaporkannya secara tertulis.  Biasanya, dalam skripsi tidak dituntut adanya sintesis baru atau penemuan baru.Thesis dijadikan syarat kelulusan di program S-2 dengan maksud memberikan kesempatan kepda mahasiswa untuk menunjukkan bahwa dia dapat mebuat suatu sintesis baru atau penerapan pengetahuan yang sudah ada, dan melaporkannya secara tertulis.Disertasi dijadikan syarat kelulusan di program S-3 dengan maksud memberikan kesempatan kepda mahasiswa untuk menunjukkana bahwa dia memahami (mengikuti) perkembangan mutakhir pengetahuan ilmiah di bidang ilmunya  dan memberikan sumbangan pada perkembangan ilmu itu melalui penemuan baru yang orisinal yang dilaporkannya secara tertulis (http://www.pendidikanislam.net/index.php/untuk-siswa-a-mahasiswa/40-penelitian/60-skripsi-apakah-itu).

Pada dasarnya skripsi mahasiswa S1 merupakan ajang latihan bagi mahasiswa untuk melakukan penelitian secara obyektif. Oleh karena baru pertama sekali meneliti maka mahasiswa S1 ini sangat membutuhkan bimbingan dosen agar tidak melakukan kesalahan fatal yang menyebabkan mereka harus mengulang. Tesis S2 merupakan ajang peningkatan kemampuan mahasiswa dalam meneliti dan diharapkan mahasiswa sudah mampu meneliti dengan bimbingan yang minimal dari dosen. Desertasi S3 merupakan pembuktian kemampuan mahasiswa S3 dalam meneliti secara mandiri.

Secara sederhana, skripsi itu menjawab apa, tesis menjawab apa dan mengapa,Dan disertasi itu menjawab apa, mengapa dan bagaimana. Contoh tentang penelitian daun katuk dalam menurunkan kolesterol telur. Skripsi hanya menjawab pertanyaan apakah daun katuk menurunkan kolesterol telur? Tesis itu menjawab dua pertanyaan, yaitu a) apakah daun katuk menurunkan kolesterol telur dan; b) mengapa daun katuk menurunkan kolesterol. Disertasi menjawab 3 pertanyaan, yaitu: a) apakah daun katuk menurunkan kolesterol telur?; b) mengapa daun katuk menurunkan kolesterol telur? Dan; c) bagaimana cara (mekanisme) daun katuk menurunkan kolesterol telur?Seringkali dosen pembimbing lupa akan hal tersebut, sehingga sering meminta mahasiswa meneliti lebih dari seharusnya. Apa alasannya? Pertama, mungkin dikarenakan ketidaktahuannya dan pengalamannya sebagai mahasiswa dulu juga seperti itu. Sebagai contoh, dosen pembimbing meminta mahasiswa S1 untuk menjawab selain apa juga mengapa. Kedua, dosen pembimbing sudah tahu hal ini tetapi dikarenakan ia menginginkan data penelitian lebih, maka ia memaksakannya pada mahasiswa bimbingannya. Mungkin sang dosen bermaksud data tersebut akan dipublikasikan dimana ia sebagai penulis utamanya. Mungkin juga dosen mempunyai alasan yang lain.

Apapun alasannya, sesungguhnya dosen tidak dibenarkan untuk memaksa mahasiswa di luar ketentuan atau kesepakatan yang berlaku. Jika menginginkan data yang lebih akurat dan lebih banyak untuk menjawab permasalahan yang ada, maka sebaiknya dosen membuat proposal penelitian sendiri dan mengajukannya ke Dikti atau ke penyandang dana lainnya. Ia harus berkompetisi untuk memperoleh dana penelitian.

Tabel 1.  Perbedaan Umum antara Skripsi, Tesis dan Disertasi

NoAspekSkripsiTesisDisertasi
1JenjangS1S2S3 (tertinggi)
2PermasalahanDapat diangkat dari pengalaman empirik, tidak mendalamDiangkat dari pengalaman empirik, dan teoritik, bersifat  mendalamDiangkat dari kajian teoritik yang didukung fakta empirik, bersifat sangat mendalam
3Kemandirian penulis60% peran penulis, 40% pembimbing80% peran penulis, 20% pembimbing90% peran penulis, 10% pembimbing
4Bobot IlmiahRendah – sedangSedang – tinggi.  Pendalaman / pengembangan terhadap teori dan penelitian yang adaTinggi, Tertinggi dibidang akademik.   Diwajibkan mencari terobosan dan teori baru dalam bidang ilmu pengetahuan
5PemaparanDominan deskriptifDeskriptif dan AnalitisDominan analitis
6Model AnalisisRendah – sedangSedang – tinggiTinggi
7Jumlah rumusan masalahSekitar 1-2Minimal 3Lebih dari 3
8Metode / Uji statistikBiasanya  memakai uji Kualitatif / Uji deskriptif, Uji statistik parametrik (uji 1 pihak, 2 pihak), atau Statistik non parametrik (test binomial, Chi kuadrat, run test), uji hipotesis komparatif, uji hipotesis asosiatif, Korelasi, Regresi, Uji beda, Uji Chi Square, dllBiasanya memakai uji Kualitatif  lanjut  /  regresi ganda, atau korelasi ganda, mulitivariate, multivariate lanjutan (regresi dummy, data panel, persamaan simultan, regresi logistic, Log linier analisis,  ekonometrika static & dinamik, time series ekonometrik) Path analysis, SEMSama dengan tesis dengan metode lebih kompleks, berbobot yang bertujuan mencari terobosan dan teori baru dalam bidang ilmu pengetahuan
9Jenjang Pembimbing/ PengujiMinimal MagisterMinimal Doktor dan Magister yang berpengalamanMinimal Profesor dan Doktor  yang berpengalaman
10Orisinalitas penelitianBisa replika penelitian orang lain, tempat kasus berbedaMengutamakan orisinalitasHarus orisinil
11Penemuan hal-hal yang baruTidak harusDiutamakanDiharuskan
12Publikasi hasil penelitianKampus Internal dan disarankan nasionalMinimal NasionalNasional dan Internasional
13Jumlah rujukan / daftar pustakaMinimal 20Minimal 40Minimal 60
14Metode / Program statistik yang biasa digunakanKualitatif / Manual, Excel, SPSS dllKualitatif lanjut / SPSS, Eview, Lisrel, Amos dllKualitatif lanjut / SPSS, Eview, Lisrel, Amos dll
Sumber :  Agung Wahyudi Biantoro,  Metode Penelitian Ekonomi Islam, 2009

Sabtu, 27 April 2013

Taura Syndrome Virus

Sindrom Taura adalah salah satu penyakit yang lebih dahsyat mempengaruhi udang budidaya industri di seluruh dunia.Sindrom Taura (TS) pertama kali dijelaskan di Ekuador selama musim panas 1992. Pada bulan Maret 1993, kembali sebagai epidemi utama dan menjadi obyek liputan media yang ekstensif. Studi retrospektif telah menyarankan kasus sindrom Taura mungkin terjadi pada tambak udang di Kolombia sedini tahun 1990 dan virus itu sudah hadir di Ekuador pada pertengahan 1991. Antara 1992 dan 1997, penyakit ini menyebar ke seluruh wilayah utama Amerika di mana whiteleg udang (Litopenaeus vannamei) yang dikultur. Dampak ekonomi dari TS di Amerika selama periode itu mungkin telah melebihi US $ 2 miliar oleh beberapa perkiraan.

Identifikasi dan deskripsi virus

Virus Taura syndrome pertama kali diklasifikasikan sebagai anggota mungkin dari keluarga Picornaviridae berdasarkan karakteristik biologis dan fisik. Ia kemudian direklasifikasi dalam keluarga Dicistroviridae, genus Cripavirus. Sejak saat itu telah dipindahkan ke genus kedua dalam keluarga yang sama - Aparavirus tersebut.
TSV adalah partikel yang tidak memiliki amplop nm 32 dengan morfologi ikosahedral dan kepadatan apung 1.338g/ml. [2] genom ini beruntai tunggal positif-sense dan memiliki 10.205 nukleotida (termasuk 3 'ekor poli-A). Kapsid terdiri dari tiga protein utama: CP1 (40 kDa), CP2 (55 kDa) dan CP3 (24 kDa) bersama protein kecil 58 kDa [3].
Audelo-del-Valle pada tahun 2003 melaporkan baris sel primata tertentu dapat digunakan untuk budaya TSV. Kemudian studi menunjukkan laporan mereka didasarkan pada data yang disalahartikan. TSV tidak muncul untuk menjadi zoonosis potensial. Semua amplifikasi virus memerlukan penggunaan udang hidup, [4] karena tidak ada garis sel terus menerus yang mendukung pertumbuhan virus udang.


Varian virus
RNA virus seperti TSV memiliki tingkat tinggi mutasi spontan. Ini angka yang sangat tinggi mungkin disebabkan karena kurangnya proofreading fungsi RNA polimerase RNA-dependent dan telah mengakibatkan munculnya beberapa varian genetik virus. Pada Mei 2009, empat kelompok genetik diakui: Belize (TSV-BZ), Amerika (TSV-HI), Asia Tenggara dan Venezuela. Belize regangan dianggap paling virulen. Mutasi titik di TSV protein kapsid mungkin memberikan isolat khusus dengan keunggulan selektif seperti adaptasi tuan rumah, peningkatan virulensi atau peningkatan kemampuan replikasi. Bahkan variasi kecil dalam genom TSV dapat mengakibatkan perbedaan besar dalam virulensi.

Semua varian TSV serupa dalam bentuk dan ukuran, dengan variasi cahaya. Ukuran rata-rata partikel virus TSV-BZ adalah 32,693 + / - 1,834 nm dibandingkan dengan TSV-HI dengan ukuran 31,485 + / - 1,187 nm. Wilayah perbedaan genetik tertinggi adalah dalam kapsid protein CP2, dengan perbandingan berpasangan dari nukleotida menunjukkan perbedaan 0-3,5% di antara isolat. Yang paling variasi CP2 terjadi pada urutan 3'-terminal, ini mungkin karena kurang dibatasi oleh persyaratan struktural dan lebih terbuka dibandingkan daerah lain dari protein.


Patologi dan penyakit siklus

Dalam situasi pertanian, TS sering menyebabkan kematian yang tinggi selama 15 sampai 40 hari tebar menjadi tambak udang. Perjalanan infeksi mungkin akut (5-20 hari) untuk kronis (lebih dari 120 hari) pada kolam dan tingkat petani. Penyakit ini memiliki tiga tahap yang berbeda yang terkadang tumpang tindih: akut, transisi dan kronis. Siklus penyakit telah ditandai secara rinci dalam P. vannamei.Setelah infeksi awal, fase akut berkembang. Tanda-tanda klinis dapat terjadi sedini 7 jam setelah infeksi pada beberapa individu dan berlangsung selama sekitar 4-7 hari. Terinfeksi udang tampilan anoreksia, lesu dan perilaku berenang menentu. Mereka juga kekeruhan kini ekor otot, kutikula lembut dan, di alami infeksi, ekor merah akibat perluasan chromatophores merah. Kematian selama fase ini dapat setinggi 95%. Fase akut ditandai histologi oleh daerah multifokal dari pyknosis nuklir / karyorrhexis dan berbagai badan inklusi sitoplasma di epitel kutikula dan subkutis dari permukaan tubuh secara umum, semua pelengkap, insang, hindgut, kerongkongan dan perut. The pyknosis dan karyorrhexis memberikan "gotri" penampilan ke jaringan dan dianggap patognomonik untuk penyakit ini. Pada infeksi parah antennal kelenjar epitel tubulus, jaringan hematopoietik dan testis juga terpengaruh. Hal ini terjadi terutama pada infeksi parah setelah injeksi partikel virus dan belum dilaporkan dari terinfeksi secara alami P. vannamei. Udang yang bertahan tahap akut memasuki tahap transisi.Udang dalam fase transisi menunjukkan didistribusikan secara acak, melanized (kecoklatan / hitam) lesi dalam dari kulit ari yang cepahlothorax dan daerah ekor. Ini fokus adalah situs lesi akut yang telah berkembang ke tahap berikutnya peradangan hemocytic, [8] kutikula regenerasi epitel dan penyembuhan dan yang mungkin infeksi sekunder dengan bakteri. Ini fokus negatif untuk TSV oleh hibridisasi in situ (ISH) menggunakan probe cDNA TSV-spesifik. Histologis, lesi ini hadir akut aktif fokus udang dan timbulnya spheroids organ limfoid (rugi) pembangunan. [9] Oleh ISH dengan probe TSV-spesifik, sinyal positif difus dapat diamati dalam dinding-dinding organ limfoid penampilan normal dengan atau tanpa sinyal penyelidikan fokus dalam mengembangkan Rugi. Udang ini akan lesu dan anoreksia, mungkin karena pengalihan energi dan sumber daya metabolik terhadap perbaikan luka dan pemulihan. Jika udang mengalami mabung lain yang sukses setelah fase transisi, mereka akan membuang lesi melanized dan memasuki fase kronis.Fase kronis pertama kali terlihat enam hari setelah infeksi dan bertahan selama setidaknya 12 bulan di bawah kondisi percobaan. Fase ini ditandai secara histologi oleh adanya lesi akut dan kehadiran LOS morfologi berturut-turut. Rugi ini positif oleh ISH untuk TSV. Sebuah prevalensi rendah spheroids ektopik juga dapat diamati dalam beberapa kasus. Rugi tidak dengan sendirinya karakteristik infeksi TSV dan dapat ditemukan pada penyakit lain virus udang seperti limfoid virus organ vakuolisasi (LOVV), virus parvo seperti limfoid (LPV), virus organ limfoid (LOV), rhabdovirus dari udang penaeid ( RPS) dan Yellowhead virus (YHV). Diagnosis penyakit selama fase kronis bermasalah, karena udang tidak menampilkan tanda-tanda lahiriah dari penyakit dan tidak menunjukkan kematian dari infeksi. Korban dapat menjadi operator bagi kehidupan. [10] Udang dengan infeksi TSV kronis tidak kuat seperti udang tidak terinfeksi, seperti yang ditunjukkan oleh ketidakmampuan mereka untuk mentolerir salinitas penurunan serta tidak terinfeksi udang. [11] Sebuah studi 2011 oleh Laxminath Tumburu memandang hubungan antara stressor lingkungan (pestisida endosulfan) dan virus Taura syndrome (TSV) dan interaksi mereka pada kerentanan dan molting laut penaeid udang L. vannamei dan menemukan gangguan endosulfan terkait stres menyebabkan kerentanan semakin tinggi pada tahap postmolt selama fase akut dari siklus penyakit TSV [12].

Diberdayakan oleh Blogger.