Sabtu, 15 Juni 2013

Polikultur Kian Menjamur

Terbukti sistem ini mampu mengendalikan kejadian penyakit, memperbaiki lingkungan, berbiaya rendah, dan utamanya memberikan hasil yang menggiurkan bagi petambak dan pembudidaya
Sebelumnya, 7 tahun sudahSaripudin menelantarkan 8 hektar areal tambak miliknyayang berlokasi di wilayah Bekasi. Iamembiarkan lahan tersebut tersapu abrasi, setelah 3 tahun berturut-turut usahanya membudidayakanikan bandeng secara monokultur (intensif) tak membuahkan hasil. Alih-alihmeraih untung, justruhutang dia ke pengepul menggunung hingga puluhan juta rupiah.
Tetapi sejak ia dikenalkan teknik dan manajemen budidaya polikultur pada 2007, kisah pahit itu tak lebih dari sekadar kenangan. Saat ini Saripudin tengah merasakan manisnya usaha budidaya polikultur rumput laut jenis Gracilaria sp, bersama ikan bandeng dan udang windu di tambak seluas 4 hektar. ”Alhamdulillah, berkat budidaya polikultur hutang saya lunas,” ungkapnya sumringah kepada Trobos Aqua. Ia pun berambisi,tahun ini akan menambah 4 hektar lagi untuk lahan polikultur.
Jodoh Saripudin dengan polikultur bermula kala ia dan rekan-rekannya mendapat pembinaan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau dan Laut (BBPBAPL) Karawang pada 2007. Pulang ke Bekasi, ia langsung menerapkan polikultur sekaligus menyosialisasikannya kepada pembudidaya lain.
Menurut Ketua Kelompok Mekar Bahagia ini, sekitar 30 % pembudidaya tambak di wilayah Bekasi sekarang menerapkan polikultur. ”Saya targetkan tahun depan mencapai 50 %,” tutur pria yang juga didapuk sebagai Ketua Bidang Teknis Budidaya Rumput Laut dari Perhimpunan Pembudidaya Tambak Pantura (PPTP) ini menggebu.
Ambisi besar Saripudin itu didorong oleh besarnya manfaat yang diperoleh pembudidaya tambak dari polikultur. Secara teknis, kata Saripudin, polikultur dapat menurunkan tingkat kejadian penyakit. Danrumput laut dapat berperan sebagai filter (penyaring) zat-zat pencemar.
Sementara secara ekonomis, polikultur lebih menguntungkan ketimbang monokultur. Biaya produksi lebih rendah, sebab tak ada biaya pakan dan untung lebih tinggi. ”Per periode, saya bisa dapat Rp 10 juta dari polikultur. Belum lagi ditambah dengan hasil penjualan udang alam yang masuk ke tambak polikultur yang bisamencapai Rp 1,5 juta per bulan. Jadi polikultur itu sangat menjanjikan,” ia buka kartu.
Sama halnya dengan di Bekasi, polikultur rumput laut Gracilaria sp, ikan bandeng, dan udang windu di Indramayu mulai diminati. MenurutWahudin, pembudidaya di Indramayu, rentang 2002 sampai 2006 polikultur dilakukan dengan2 komoditas saja, yaitu rumput laut Gracilaria sp dan ikan bandeng.Tapi setelah beberapa pembudidaya tambak mendapat pembinaan di BBPBAPL Karawang, polikultur 3 komoditas mulai marak.
Bedanya dengan Saripudin di Bekasi, Wahudinmenerapkan polikultur 4 komoditas sekaligus, yaitu rumput laut Gracilaria sp, ikan bandeng, udang windu, dan ikan kerapu lumpur. ”Di Jawa Barat belum ada yang melakukan seperti ini. Polikultur plus kerapu lumpur ini saya mulai sejak April 2012 lalu dan terbukti berhasil,” ungkapnyabangga. Menurut hitungan Wahudin, jumlah pembudidaya polikultur di wilayahnya sudah mencapai 60 % dari total pembudidaya tambak yang ada. Sisanya masih menerapkan monokultur ikan bandeng.
Sedangkan pembudidaya polikultur di daerah Langensari Balakan, Subang Jawa Barat, Syamsudin Adi Saputra mengungkapkan, hampir 90 % dari 227 pembudidaya tambak di wilayahnya yang tergabung dalam Koperasi Mina Langgeng Jaya menerapkan polikultur karena memberikan tambahan pendapatan. “Kalau tidak menguntungkan, tidak akan jalan polikultur ini. Apalagi jika dikombinasikan dengan pohon bakau, budidaya akan lebih ramah lingkungan,” ujar Ketua Koperasi Mina Langgeng Jaya ini.
Tren Polikultur
Saripudin, Wahudin, dan Syamsudin adalah contoh pembudidaya yang menerapkan polikultur di tambak. Dibenarkan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat Ahmad Hadadi, polikultur di tambak mulai menjamur sejak 2007 di Pantura(Pantai Utara), Jawa Barat.Fenomena ini dilatarbelakangi sejarah merebaknya penyakit virus pada udang windu seperti IMNV (Infectious Myo Necrotic Virus) dan WSSV (White Spot Syndrome Virus). ”Dengan mengombinasikan udang windu, ikan bandeng, dan Gracilaria sp ternyata hasilnya bagus,” ujarnya.
Selain di tambak, kata Hadadi, polikultur juga dilakukan di kolam dan KJA (Keramba Jaring Apung). Tak beda di tambak, polikultur di KJA juga berkembang sebagai respon kejadianpenyakit virus. Karena ikan mas rentan terserang KHV (Koi Herpes Virus), pembudidaya KJA lantas mencampurnya dengan ikan nila, nilem, dan tawes.
Ikan nila bermanfaat memakan plankton dan menekan penyakit KHV, sedangkan ikan nilem dan tawes dapat memakan lumut sehingga jaring jadi bersih. ”Praktiknya, semua ikan itu berada dalam 1 jaring. Konsekuensinya menambah pekerjaan bagi pembudidaya karena harus ada sortasi.Tapi ikan mas terhindar dari KHV,produksi pun jadi tinggi,” jelasnya.
Tidak Diabaikan
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Slamet Soebjakto menegaskan, pembudidaya polikultur tetap menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah sudah membuat pemetaan wilayah untuk pengembangan polikultur seperti di Aceh, Kalimantan Timur, dan sebagian Sulawesi Selatan. Sedangkan di Pantura Jawa seperti di Gresik, Sidoarjo, Subang, Karawang, Indramayu, dan Cirebon.
Pria yang akrab disapa Totok ini menambahkan, adanya program untuk pembudidaya tradisional melalui program PUMP (Pemberdayaan Usaha Mina Pedesaan) dengan polikultur. Bantuan berupa pengadaan pakan,benih rumput laut atau nener. Pembinaan terus dilakukan dengan membuat dempond(kolam/tambak percontohan) seperti yang ada di Jepara, Takalar, dan Aceh.
Lahan tambak tidak 100 % untuk pengembangan intensifikasi,tapi ada sebagian yang dimanfaatkan untuk lahan tradisional dan dimanfaatkan untuk polikultur. “Kebijakan kita untuk udang windu pun dengan polikutur,” tegasnya.
Ia menyebut sumbangsih polikultur terhadap produksi perikanan budidaya di 2012 mencapai 60 % dari total produksi sehingga tidak bisa diabaikan. “Di tahun ini sumbangsih dari semua lini seperti tambak tradisional, polikultur, tambak intensif, dan pemanfaatan tambak idle akan ditingkatkan. Khusus yang tradisional akan ditingkatkan menjadi tradisional plus,” jelas Totok.
Aplikasi Polikultur
Diterangkan Iskandar, pada dasarnya polikultur menerapkan konsep simbiosis mutualisme antar komoditas yang dipelihara. Awal mulanya di Indonesia, polikultur yang dicoba di tambak adalah kombinasi Gracilaria sp, ikan nila, dan kerang-kerangan. Lalu beralih dan yang kini berkembang adalah kombinasi Gracilaria sp, ikan bandeng, dan udang windu.
Dalam perkembangannya, pembudidaya tambak polikultur tidak terpaku pada 3 komoditas itu saja. Contohnya Wahudin di Indramayu yang menambahnya dengan ikan kerapu lumpur yang dipelihara dalam jaring tancap berukuran 5 m x 5 m. Lebih fantastis lagi Usup Supriatna di Karawang. Ia mengkombinasi 5 komoditas sekaligus, yaitu Gracilaria sp, ikan bandeng, udang windu, ikan kakap putih, dan kepiting soka.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.