Sabtu, 15 Juni 2013

Menyulap Tambang Pasir Jadi Kampung Vannamei


Puluhan hektar lahan bekas galian tambang pasir yang identik dengan bencana lingkungan diubah menjadi tambak Kampung Vannamei
Perjalanan nyaris 4 jam dari jembatan Suramadu menyusuri Pantai Selatan Madura, mengantar TROBOS Aqua sampai ke Kampung Talangsiring Desa Montok Kabupaten Pamekasan. “Lahan ini, 5 tahun lalu masih berupa kubangan bekas tambang pasir. Selama 15 tahun lahan seluas 30 ha ini mangkrak tak menghasilkan apa-apa,” kata Nonot Tri Waluyo,  General Manager Shrimp FeedCP Prima – Surabaya.
Seturunnya dari kendaraan disambut riuh mesin diesel penggerak kincir rangkai yang memberi napas si bongkok putih yang tersebar di 18 petakan milih HM Ihsan Abdullah.“Saya ini mantan penambang pasir. Dulu saya dan kawan-kawan yang mengeruk tanah di sini. Setelah jadi kubangan, bingung mau dibuat apa,” tutur Ihsan. Penambangan pasir di atas lahan 15 ha yang dibeli secara patungan itu dilakukannya dengan alat berat.
Mulai Bertambak
Menurut Ihsan, setelah penambangan pasir berhenti ia pernah menebari kubangan itu dengan ikan nila dan gurami, namun ia kurang puas. Padahal ia butuh usaha baru menggantikan pertambangan pasir.  Pada 2007 lalu ia bertemu dengan personil PT CPP yang membawa program Kampung Vannamei (Kave). “Saya diajari bertambak di dua petak lahan bekas kubangan. Luasnya 5.000 m2,dengan sistem tradisional plus. Padahal saya belum tahu sama sekali cara bertambak,” urainya.
Hanya berbekal dua buah pompa balik, lahan ditebari benur dengan kepadatan 20 ekor/m2. “Umur 70 hari pada ngambang,” kisahnya. Untuk menyelamatkan, Ihsan mencopot gardan mobil angkutan pakannya untuk dijadikan kincir rangkai. Saat itu iaberhasil panen 1 ton udang size 70 (ekor/kg).
Setelah tambak berkembang, seketika harga tanah di kawasan ini melonjak drastis. “Dulu tanah setara tambak sepetak hanya dibeli dengan satu-dua becak. Sekarang sudah puluhan bahkan ratusan juta,” ungkap Ihsan.
Satu desa dengan Ihsan, terhitung lebih ‘nekat’ H Muhyianto terhitung lebih ‘nekat’. Lubang bekas kerukan pasir di samping rumahnya yang cukup jauh dari Pantai disulapnya menjadi 2 petak tambak dan satu tandon. “Total habis Rp 140 juta untuk meratakan dasar, membuat tanggul dan membeli kincir. Tapi dalam 2 - 3 kali panen sudah balik modal,” ungkapnya. Sukses dengan 2 petakan itu, Muhyi membuka lagi 3 petak lahan di eks galian pasir 1 ha milik kawannya. Petakan ini dijalankan dengan sistem bagi hasil, pemilik lahan mendapat bagian 12,5%.
Jadi Kave
Setelah bertambak tradisional plus selama 1,5 tahun dan merasakan keuntungan bertambak vanamei, Ihsan membuka 7 petakan. Saat itu ia ‘naik kelas’ dengan menerapkan sistem semi intensif dengan padat tebar 60 – 80 ekor/m2.
Waktu masih awal bertambak semi intensif itu, Ihsan mengaku pernah menebar vanamei dengan kepadatan 100 ekor/m2. Walaupun, kata Ihsan, sekarang ia kembali ke padat tebar 60 – 80 ekor/m2. “Di sini sudah menjadi kawasan tambak karena banyak yang mengikuti saya. Sehingga air lautnya sudah lebih jenuh karena bukan teluk, meski masih sangat layak untuk budidaya. Sifatnya jaga ekosistem saja,” paparnya.
Menurut Nonot, keberhasilan Ihsan banting setir dari penambang pasir menjadi petambak udang memang membuat pemilik lahan bekas tambang pasir mengikuti jejaknya. “Kawasan ini sekarang masuk program Kave,” sebut Nonot.
Menutup pembicaraan, Nonot berkisah, dulu orang tidak menyangka di Pamekasan akan berkembang kawasan tambak. Apalagi membayangkan lingkungan rusak karena tambang pasir bisa berubah drastis menjadi lahan produktif. Di daerah lain, Kave terus ngopeni(mendampingi) petambak sekecil apapun skalanya. “Yang penting, ada petambaknya dan usahanya berjalan dulu. Kita dampingi sampai ‘naik kelas’, dan terus didampingi,” ungkap Nonot.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.