Terbukti sistem ini mampu mengendalikan kejadian penyakit,
memperbaiki lingkungan, berbiaya rendah, dan utamanya memberikan hasil
yang menggiurkan bagi petambak dan pembudidaya
Sebelumnya,
7 tahun sudahSaripudin menelantarkan 8 hektar areal tambak miliknyayang
berlokasi di wilayah Bekasi. Iamembiarkan lahan tersebut tersapu
abrasi, setelah 3 tahun berturut-turut usahanya membudidayakanikan
bandeng secara monokultur (intensif) tak membuahkan hasil.
Alih-alihmeraih untung, justruhutang dia ke pengepul menggunung hingga
puluhan juta rupiah.
Tetapi sejak ia dikenalkan teknik dan manajemen budidaya polikultur
pada 2007, kisah pahit itu tak lebih dari sekadar kenangan. Saat ini
Saripudin tengah merasakan manisnya usaha budidaya polikultur rumput
laut jenis Gracilaria sp, bersama ikan bandeng dan udang windu di tambak seluas 4 hektar. ”Alhamdulillah,
berkat budidaya polikultur hutang saya lunas,” ungkapnya sumringah
kepada Trobos Aqua. Ia pun berambisi,tahun ini akan menambah 4 hektar
lagi untuk lahan polikultur.
Jodoh Saripudin dengan polikultur bermula kala ia dan rekan-rekannya
mendapat pembinaan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau dan
Laut (BBPBAPL) Karawang pada 2007. Pulang ke Bekasi, ia langsung
menerapkan polikultur sekaligus menyosialisasikannya kepada pembudidaya
lain.
Menurut Ketua Kelompok Mekar Bahagia ini, sekitar 30 % pembudidaya
tambak di wilayah Bekasi sekarang menerapkan polikultur. ”Saya targetkan
tahun depan mencapai 50 %,” tutur pria yang juga didapuk sebagai Ketua
Bidang Teknis Budidaya Rumput Laut dari Perhimpunan Pembudidaya Tambak
Pantura (PPTP) ini menggebu.
Ambisi besar Saripudin itu didorong oleh besarnya manfaat yang
diperoleh pembudidaya tambak dari polikultur. Secara teknis, kata
Saripudin, polikultur dapat menurunkan tingkat kejadian penyakit.
Danrumput laut dapat berperan sebagai filter (penyaring) zat-zat pencemar.
Sementara secara ekonomis, polikultur lebih menguntungkan ketimbang
monokultur. Biaya produksi lebih rendah, sebab tak ada biaya pakan dan
untung lebih tinggi. ”Per periode, saya bisa dapat Rp 10 juta dari
polikultur. Belum lagi ditambah dengan hasil penjualan udang alam yang
masuk ke tambak polikultur yang bisamencapai Rp 1,5 juta per bulan. Jadi
polikultur itu sangat menjanjikan,” ia buka kartu.
Sama halnya dengan di Bekasi, polikultur rumput laut Gracilaria sp,
ikan bandeng, dan udang windu di Indramayu mulai diminati.
MenurutWahudin, pembudidaya di Indramayu, rentang 2002 sampai 2006
polikultur dilakukan dengan2 komoditas saja, yaitu rumput laut Gracilaria sp
dan ikan bandeng.Tapi setelah beberapa pembudidaya tambak mendapat
pembinaan di BBPBAPL Karawang, polikultur 3 komoditas mulai marak.
Bedanya dengan Saripudin di Bekasi, Wahudinmenerapkan polikultur 4 komoditas sekaligus, yaitu rumput laut Gracilaria sp,
ikan bandeng, udang windu, dan ikan kerapu lumpur. ”Di Jawa Barat belum
ada yang melakukan seperti ini. Polikultur plus kerapu lumpur ini saya
mulai sejak April 2012 lalu dan terbukti berhasil,” ungkapnyabangga.
Menurut hitungan Wahudin, jumlah pembudidaya polikultur di wilayahnya
sudah mencapai 60 % dari total pembudidaya tambak yang ada. Sisanya
masih menerapkan monokultur ikan bandeng.
Sedangkan pembudidaya polikultur di daerah Langensari Balakan, Subang
Jawa Barat, Syamsudin Adi Saputra mengungkapkan, hampir 90 % dari 227
pembudidaya tambak di wilayahnya yang tergabung dalam Koperasi Mina
Langgeng Jaya menerapkan polikultur karena memberikan tambahan
pendapatan. “Kalau tidak menguntungkan, tidak akan jalan polikultur ini.
Apalagi jika dikombinasikan dengan pohon bakau, budidaya akan lebih
ramah lingkungan,” ujar Ketua Koperasi Mina Langgeng Jaya ini.
Tren Polikultur
Saripudin, Wahudin, dan Syamsudin adalah contoh pembudidaya yang
menerapkan polikultur di tambak. Dibenarkan Kepala Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Jawa Barat Ahmad Hadadi, polikultur di tambak mulai
menjamur sejak 2007 di Pantura(Pantai Utara), Jawa Barat.Fenomena ini
dilatarbelakangi sejarah merebaknya penyakit virus pada udang windu
seperti IMNV (Infectious Myo Necrotic Virus) dan WSSV (White Spot Syndrome Virus). ”Dengan mengombinasikan udang windu, ikan bandeng, dan Gracilaria sp ternyata hasilnya bagus,” ujarnya.
Selain di tambak, kata Hadadi, polikultur juga dilakukan di kolam dan
KJA (Keramba Jaring Apung). Tak beda di tambak, polikultur di KJA juga
berkembang sebagai respon kejadianpenyakit virus. Karena ikan mas rentan
terserang KHV (Koi Herpes Virus), pembudidaya KJA lantas mencampurnya dengan ikan nila, nilem, dan tawes.
Ikan nila bermanfaat memakan plankton dan menekan penyakit KHV,
sedangkan ikan nilem dan tawes dapat memakan lumut sehingga jaring jadi
bersih. ”Praktiknya, semua ikan itu berada dalam 1 jaring.
Konsekuensinya menambah pekerjaan bagi pembudidaya karena harus ada
sortasi.Tapi ikan mas terhindar dari KHV,produksi pun jadi tinggi,”
jelasnya.
Tidak Diabaikan
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Slamet Soebjakto menegaskan, pembudidaya polikultur tetap
menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah sudah membuat pemetaan wilayah
untuk pengembangan polikultur seperti di Aceh, Kalimantan Timur, dan
sebagian Sulawesi Selatan. Sedangkan di Pantura Jawa seperti di Gresik,
Sidoarjo, Subang, Karawang, Indramayu, dan Cirebon.
Pria yang akrab disapa Totok ini menambahkan, adanya program untuk
pembudidaya tradisional melalui program PUMP (Pemberdayaan Usaha Mina
Pedesaan) dengan polikultur. Bantuan berupa pengadaan pakan,benih rumput
laut atau nener. Pembinaan terus dilakukan dengan membuat dempond(kolam/tambak percontohan) seperti yang ada di Jepara, Takalar, dan Aceh.
Lahan tambak tidak 100 % untuk pengembangan intensifikasi,tapi ada
sebagian yang dimanfaatkan untuk lahan tradisional dan dimanfaatkan
untuk polikultur. “Kebijakan kita untuk udang windu pun dengan
polikutur,” tegasnya.
Ia menyebut sumbangsih polikultur terhadap produksi perikanan budidaya
di 2012 mencapai 60 % dari total produksi sehingga tidak bisa diabaikan.
“Di tahun ini sumbangsih dari semua lini seperti tambak tradisional,
polikultur, tambak intensif, dan pemanfaatan tambak idle akan ditingkatkan. Khusus yang tradisional akan ditingkatkan menjadi tradisional plus,” jelas Totok.
Aplikasi Polikultur
Diterangkan Iskandar, pada dasarnya polikultur menerapkan konsep
simbiosis mutualisme antar komoditas yang dipelihara. Awal mulanya di
Indonesia, polikultur yang dicoba di tambak adalah kombinasi Gracilaria sp, ikan nila, dan kerang-kerangan. Lalu beralih dan yang kini berkembang adalah kombinasi Gracilaria sp, ikan bandeng, dan udang windu.
Dalam perkembangannya, pembudidaya tambak polikultur tidak terpaku pada
3 komoditas itu saja. Contohnya Wahudin di Indramayu yang menambahnya
dengan ikan kerapu lumpur yang dipelihara dalam jaring tancap berukuran 5
m x 5 m. Lebih fantastis lagi Usup Supriatna di Karawang. Ia
mengkombinasi 5 komoditas sekaligus, yaitu Gracilaria sp, ikan bandeng, udang windu, ikan kakap putih, dan kepiting soka.
Sabtu, 15 Juni 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar